Laras tersenyum pilu. "Aku berjanji, Bim. Dan aku akan menunggumu pulang."
Mereka berpelukan erat, air mata tak bisa mereka bendung lagi. Deru pesawat yang mengantar Bima ke negeri jauh membawa serta sebagian kebahagiaan Laras.
Hari-hari berikutnya terasa hampa bagi Laras. Ia fokus pada pameran dan kuliahnya, tapi bayang Bima selalu hadir dalam benaknya. Ia terus berkarya, menuangkan rindu dan harapannya ke dalam setiap lukisan.
Beberapa tahun berlalu. Laras telah menjadi seniman yang diperhitungkan, karyanya dipamerkan di berbagai galeri ternama. Bima pun telah menyelesaikan pendidikannya dan bekerja di perusahaan internasional.
Suatu hari, Laras menerima undangan pameran seni di kota tempat Bima tinggal. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk pergi.
Saat pembukaan pameran, Laras dikejutkan dengan kehadiran Bima. Mereka berpelukan dengan haru, rindu bertahun-tahun tertumpah dalam pelukan itu.
"Laras, kamu semakin cantik dan sukses," ucap Bima dengan mata berbinar.
Laras tersenyum. "Kamu juga, Bim. Dan kamu sudah mewujudkan mimpimu."
Mereka bercerita tentang pengalaman masing-masing, tertawa bersama mengenang masa lalu, dan berdiskusi tentang rencana masa depan.
Malam harinya, Bima mengajak Laras ke tempat khusus. Di bawah langit berbintang, Bima berlutut di hadapan Laras, sebuah kotak cincin di tangannya.
"Laras, maukah kamu menikah denganku dan mewujudkan mimpi kita bersama?"