Laras tak bisa berkata-kata, air mata bahagia mengalir di pipinya. Ia mengangguk dengan penuh haru. "Iya, Bim. Aku mau."
Cinta Laras dan Bima yang teruji oleh jarak dan waktu akhirnya berujung pada kebahagiaan. Perpisahan mereka bukan akhir, melainkan awal dari kisah baru yang lebih indah, di mana mimpi dan cinta mereka bersatu dalam harmoni lukisan kehidupan.
Bab 6: Harmoni Baru, Kisah Tak Berakhir
Lima tahun berlalu sejak pernikahan Laras dan Bima. Mereka kini tinggal di New York, kota impian mereka berdua. Laras telah menjelma menjadi seniman kontemporer ternama, lukisannya tak hanya menghiasi galeri ternama, tapi juga menghiasi dinding-dinding museum internasional. Bima pun sukses meniti karir di bidang keuangan, keahliannya dalam bernegosiasi mengantarkannya pada posisi direktur di perusahaan multinasional.
Meski sibuk, mereka tetap mesra dan saling mendukung. Bima selalu menjadi pemandu sorak terdepan di setiap pameran Laras, tak segan ikut mengatur pencahayaan dan berdiskusi dengan para kritikus seni. Laras, di sisi lain, menjadi penasihat Bima untuk urusan investasi dan kerap memberi sentuhan artistik untuk presentasi penting Bima.
Suatu pagi, saat menikmati secangkir kopi di balkon apartemen mereka, Bima menatap Laras dengan penuh rasa sayang. "Laras, apa kamu pernah berpikir untuk punya anak?" tanyanya lembut.
Laras terdiam sejenak, seraya menikmati hangatnya matahari New York. "Aku suka anak-anak, tapi selama ini kami terlalu fokus pada karir. Apa kamu yakin?"
Bima tersenyum hangat. "Aku yakin kita bisa balancing keduanya. Anak akan melengkapi kebahagiaan kita, Laras."
Setelah berdiskusi panjang lebar, mereka pun memutuskan untuk memperluas keluarga kecil mereka. Kehamilan Laras membawa kebahagiaan tersendiri, meski diiringi sedikit kekhawatiran tentang karirnya.
Menjalani peran sebagai ibu ternyata lebih menantang dari yang Laras bayangkan. Waktu terasa kurang, inspirasi untuk melukis seolah terkurung di tengah popok dan susu. Bima menjadi sosok yang sangat suportif, membantu Laras mengurus bayi mereka sembari tetap menjalankan tugasnya di kantor.
Suatu hari, saat Laras frustrasi karena tak bisa menyelesaikan lukisannya, Bima mengajaknya jalan-jalan ke Central Park. Di sana, mereka melihat sekumpulan anak-anak yang sedang bermain riang. Senyum tulus mereka seperti menyadarkan Laras akan sesuatu.
"Lihat mereka, Laras," Bima menunjuk anak-anak itu. "Mereka adalah sumber inspirasi, sumber kebahagiaan yang tak pernah habis."