Laras menarik napas pelan dan memberanikan diri menghampiri Bima. "Bima, boleh aku duduk?"
Bima mendongak, sedikit terkejut melihat Laras. Tapi kemudian ia tersenyum ramah. "Tentu, silakan."
Laras duduk di kursi kosong di hadapan Bima. "Lagi baca apa?" tanyanya sambil melirik buku tebal di tangan Bima.
"Biografi Beethoven," jawab Bima. "Dia komponis favoritku."
"Beethoven? Wah, gak nyangka kamu suka musik klasik," ujar Laras, sedikit heran dengan pilihan Bima yang tak sesuai dengan citranya yang tegas dan disiplin.
Bima terkekeh pelan. "Jangan kaget, aku punya banyak sisi yang belum kamu tahu. Kamu sendiri suka musik apa?"
"Aku suka musik indie, yang penuh dengan lirik bercerita," jawab Laras, matanya berbinar.
Mereka berbincang tentang musik, buku, dan cita-cita masing-masing. Laras takjub dengan wawasan Bima yang luas dan cara berpikirnya yang analitis. Sebaliknya, Bima terpikat oleh semangat dan kreativitas Laras yang tak pernah padam.
Waktu seolah berlalu tanpa terasa. Mereka berdiskusi dengan antusias, sesekali diselingi tawa renyah yang memecah keheningan perpustakaan. Tanpa sadar, percikan ketertarikan mulai menyala di antara mereka.
"Eh, sudah jam 8 malam," Bima tersadar seraya melihat jam tangannya. "Kamu pasti lapar, ayo aku traktir makan malam."
Laras sempat ragu, namun ia tak ingin momen kebersamaan ini berakhir. "Boleh deh, tapi aku traktir balik nanti."