"Emosi yang kamu rasakan saat ini, frustrasi, bingung, tapi ada keinginan kuat untuk mencari jalan keluar. Coba tuangkan itu ke dalam canvas," saran Bima dengan nada rendah.
Kata-kata Bima bagaikan hentakan drum yang membangunkan irama yang terhenti. Laras seolah tersadar. Benar! Selama ini ia fokus pada objek gambar, bukan emosi yang ingin disampaikan.
Dengan semangat baru, Laras meraih pensil warna. Garis demi garis mengalir dengan bebas, tak lagi terpaku pada bentuk, tapi mengekspresikan perasaan gundah yang bercampur dengan harapan.
Tak terasa, waktu berlalu hingga kafe mulai tutup. Laras tersentak kaget saat menyadari Bima masih setia menemani dan sesekali memberikan masukan yang tajam namun solutif.
"Wah, sudah larut. Aku antar kamu pulang, ya?" Bima menawarkan dengan nada ramah.
Laras sempat ragu, tapi ketulusan dalam sorot mata Bima membuatnya luluh. Mereka berjalan beriringan di bawah langit senja, langkah mereka seirama dengan detak jantung Laras yang berpacu tak karuan.
"Terima kasih banyak, Bima," ucap Laras tulus saat mereka sampai di depan kosnya.
Bima tersenyum hangat. "Sama-sama. Dan, gambarmu tadi... luar biasa. Kamu punya bakat yang hebat."
Bab 2: Percikan di Perpustakaan
Semenjak pertemuan di kafe, ada yang berbeda dalam diri Laras. Bima, si ketua BEM yang dingin itu, kini sering melintas di benaknya. Kata-katanya tentang melukiskan perasaan terus bergaung, membawanya bereksperimen dengan gaya baru yang lebih ekspresif.
Suatu sore, Laras sedang mencari referensi untuk presentasinya di perpustakaan kampus. Tanpa sengaja, matanya menangkap sosok Bima duduk di pojok, serius membaca buku tebal. Rasa gugup bercampur penasaran menggelitik hatinya.