"Ini bukan sekadar pesta, Laras. Ini tentang membangun relasi," Bima tetap berpendirian.
Debat mereka berlanjut hingga nada suara meninggi. Laras merasa Bima terlalu kaku dan tidak menghargai idenya, sedangkan Bima merasa Laras kurang memahami pentingnya pencitraan dalam dunia profesional.
Hening mencekam menyelimuti mereka. Bima menghela napas berat. "Maaf, Laras. Aku terlalu fokus dengan keinginanku sendiri," akunya.
Laras menatap Bima dengan tatapan sedih. "Tidak apa, Bima. Mungkin kita memang berbeda," ucapnya lirih.
Malam itu, mereka bertengkar untuk pertama kalinya. Kehangatan yang biasa mereka rasakan sirna, digantikan oleh perasaan gundah dan ketidakpastian.
Keesokan harinya, Bima datang ke kos Laras membawa seikat bunga dan kue ulang tahun. "Laras, aku minta maaf atas perlakuanku kemarin," ucapnya tulus.
Laras menerima permintaan maaf Bima, tapi suasana masih terasa canggung. Bima kemudian mengeluarkan kotak kecil dari sakunya.
"Apa ini?" tanya Laras penasaran.
Bima membukanya, memperlihatkan cincin perak dengan ukiran sederhana. "Ini cincin percintaan. Aku harap ini bisa mengingatkan kita bahwa apapun perbedaan kita, percintaan kita harus tetap terjaga," ujarnya lembut.
Laras tersentuh oleh perhatian Bima. Ia menerima cincin itu dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Bima. Aku juga menghargai perasaan kita."
Hari itu, mereka berdamai. Pertengkaran mereka menjadi titik balik bagi hubungan mereka. Laras dan Bima mulai belajar untuk memahami dan menghargai perbedaan satu sama lain. Mereka tetap berpacaran, tapi dengan kompromi dan komunikasi yang lebih terbuka.