Pipi Laras merona merah. Ia tak bisa berkata-kata, perasaannya campur aduk antara terkejut, senang, dan gugup.
Bima mengulurkan tangannya. "Maukah kamu menjadi lebih dari sekedar rekan kolaborasi, Laras?"
Laras menatap mata Bima yang penuh harap. Perlahan, ia membalas uluran tangan itu. "Aku... aku juga menyukaimu, Bima," ucapnya lirih.
Senyum bahagia terkembang di wajah Bima. Mereka berpegangan tangan, menandai awal kisah cinta mereka yang lahir dari sebuah kolaborasi seni yang tak terduga.
Bab 4: Tantangan dan Kejutan
Pameran kolaborasi Laras dan Bima sukses besar. Lukisan Laras yang penuh emosi berpadu harmonis dengan alunan piano Bima yang memukau, menciptakan suasana magis yang menyentuh hati para pengunjung. Dana yang terkumpul pun melebihi target, membuat mereka berdua bangga dan puas.
Kedekatan Laras dan Bima semakin meningkat setelah pameran. Mereka tak sungkan untuk menghabiskan waktu bersama, belajar bersama, bahkan sesekali terlihat berpegangan tangan di sekitar kampus. Kabar tentang hubungan mereka menjadi perbincangan hangat di kalangan mahasiswa, ada yang mendukung dan ada yang iri.
Namun, kisah cinta mereka tak semulus jalan tol. Perbedaan karakter dan latar belakang mulai menimbulkan konflik. Laras yang spontan dan artistik sering berbenturan dengan Bima yang terstruktur dan logis. Bima yang terbiasa dengan penjadwalan ketat dan target terukur terkadang bingung menghadapi sikap Laras yang lebih mengalir dan bebas.
Suatu hari, mereka berdebat tentang konsep perayaan ulang tahun Bima. Laras menginginkan pesta kecil dengan suasana santai dan musik live, sedangkan Bima menginginkan acara resmi dengan undangan terbatas.
"Laras, ulang tahunku ini penting. Banyak relasi penting yang harus aku undang," tegas Bima dengan nada serius.
"Tapi, Bima, kamu tidak bisa terus-menerus memikirkan pencitraan. Nikmati saja pestanya dengan orang terdekat," Laras mencoba bernegosiasi dengan lembut.