"Aku senang bisa membantu," sahut Bima. "Ngomong-ngomong, kamu ingat percakapan kita tentang musik dan buku?"
Laras mengangguk, bingung ke mana arah pembicaraan Bima.
"Aku punya ide. Bagaimana kalau kita kolaborasi untuk acara amal kampus bulan depan? Kamu buat pameran lukisan bertema musik, dan aku akan hibur dengan penampilan piano," usul Bima dengan mata berbinar.
Laras terkejut sekaligus antusias. Ide itu tidak pernah terlintas di benaknya, tapi terasa sangat menarik. "Wah, ide yang keren, Bima! Tapi kamu yakin?"
Bima tersenyum percaya diri. "Tentu saja. Aku percaya padamu, Laras. Dan aku yakin kolaborasi kita akan sukses."
Laras tak kuasa menolak tawaran Bima. Ia tahu ini kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya dan lebih mengenal Bima. Mereka pun sepakat untuk mulai merencanakan pameran kolaborasi mereka.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan diskusi, rapat, dan persiapan. Laras dan Bima bekerja sama dengan kompak, saling melengkapi ide dan keahlian masing-masing. Mereka tak segan bertukar pikiran hingga larut malam, obrolan tentang seni, musik, dan mimpi masa depan mengalir dengan lancar.
Dalam proses kerjasama tersebut, perasaan mereka semakin tumbuh. Bima tak lagi segan menunjukkan perhatiannya, sesekali menggoda Laras dengan humor khasnya. Laras pun tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya setiap kali berdekatan dengan Bima.
Suatu sore, saat mereka sedang mempersiapkan venue pameran, Bima tiba-tiba berdiri di depan Laras, menatapnya dengan intens. "Laras," panggilnya lembut.
Laras mendongak, jantungnya berdegup kencang. "Ya, Bima?"
"Ada yang ingin aku katakan," Bima melanjutkan, suaranya sedikit gemetar. "Sejak pertemuan kita di kafe dulu, kamu selalu ada di pikiranku. Aku kagum dengan semangat dan kreativitasmu. Dan... aku rasa aku mulai... menyukaimu."