Bab 1: Bau Harmoni yang Menyengat
Udara Jakarta siang itu terasa pengap, seolah tersumbat oleh asap knalpot dan ambisi tak berkesudahan. Bagas, berbalut kemeja lusuh bekas wawancara kerja, berjalan gontai menyusuri koridor gedung pemerintahan yang megah namun kumuh. Aroma cat baru tak mampu menutupi bau menyengat lain - bau korupsi yang menjalar seperti benalu.
"Selamat siang, Bapak," sapa Bagas sopan pada pria berpostur tegap yang sedang mengobrol dengan suara berbisik di dekat ruang Kepala Dinas.
Pria itu menoleh, alisnya bertaut curiga. "Siapa kamu?"
"Bagas, Bapak. Saya baru diterima sebagai staf junior di Bagian Pengadaan."
"Oh, anak baru ya," pria itu mengumbar senyum penuh arti. "Kalau mau sukses di sini, ada aturan mainnya, mengerti?"
Bagas mengernyit bingung. "Aturan main? Maksud Bapak?"
Pria itu mencondongkan badan, suaranya merendah. "Uang pelicin, Nak. Biar proyek lancar, semua pihak senang."
Bagas tersentak. Ini baru hari pertamanya, tapi tawaran suap sudah terhidang di depan mata. Otaknya berputar cepat, mengingat idealisme yang dipegang teguh selama ini.
"Bapak, maaf kalau saya menolak. Saya tidak bisa terlibat dalam hal seperti itu," tegas Bagas, suaranya bergetar.
Pria itu tertawa sinis. "Naif kamu, Nak. Di sini semua makan uang haram. Mau kaya bersih? Mimpi!"
Kata-kata pria itu bagai tamparan keras. Bagas merasa pusing, mual, dan sesak. Harapannya untuk membangun negeri dengan tangan bersih tiba-tiba terasa hampa. Dia melangkah gontai lagi, langkahnya dibayangi keraguan.
"Tunggu!" panggil suara lembut namun tegas.
Bagas menoleh. Seorang wanita muda berpenampilan cerdas berdiri di ujung lorong, menatapnya dengan tatapan penuh arti.
"Kamu baru, ya?" tanyanya, suaranya ramah.
Bagas mengangguk pelan. "Laras, teman barumu," wanita itu mengulurkan tangan. "Dan sepertinya, kamu baru saja menolak suap," ujarnya sambil tersenyum misterius.
Senyum Laras entah kenapa membuat Bagas merasa tenang. Barangkali karena ada secercah cahaya di tengah kegelapan yang baru saja dilihatnya.
"Iya," Bagas mengaku. "Tapi apa gunanya? Semua orang di sini sepertinya sudah terbiasa."
Laras menggeleng. "Tidak semua, Bagas. Masih ada yang berjuang, meski berat. Mungkin kita bisa saling menguatkan," ujarnya, matanya berbinar.
"Maksudmu?" Bagas tertegun.
"Ayo, nanti kuceritakan di tempat lain," Laras berbisik, lalu berjalan dengan langkah penuh percaya diri.
Bagas ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya menyusul Laras. Mungkin, di tengah aroma Harmoni yang menyengat ini, dia menemukan secercah harapan untuk sebuah harmoni yang sesungguhnya.
Bab 2: Persekutuan Rahasia
Laras membawa Bagas ke sebuah kedai kopi sederhana di belakang gedung pemerintahan. Suasananya kontras dengan hiruk pikuk kantor, hening dan aroma kopi yang menenangkan.
"Mau coba kopinya?" Laras menawarkan sambil duduk di bangku kayu yang sudah lapuk.
Bagas mengangguk pelan, masih mencerna pertemuan singkat mereka. "Tadi di lorong...maksudmu apa soal orang yang berjuang?"
Laras tersenyum misterius. "Ada kelompok kecil yang berusaha melawan korupsi dari dalam. Kami menyebutnya 'Harmoni Sejati'."
Bagas terangkat alisnya. "Kelompok rahasia? Bukankah itu berbahaya?"
"Memang," Laras menghela napas. "Tapi diam saja juga sama bahayanya. Korupsi merampok masa depan kita semua. Harmoni Sejati mengumpulkan bukti, melaporkan penyelewengan, dan berupaya mengungkap jaringan koruptor."
Bagas terdiam, pikirannya berkecamuk. Dia ingin berbuat sesuatu, tapi ketakutan masih membayangi.
"Kamu ragu?" Laras seolah bisa membaca pikirannya.
Bagas mengangguk pelan. "Aku takut. Tawaran suap tadi baru permulaan, bukan? Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika melawan."
"Ketakutan itu wajar," Laras menepuk tangannya pelan. "Tapi kamu tidak sendirian. Di Harmoni Sejati, kita saling melindungi dan mendukung. Kita punya jaringan informan, pengacara, bahkan jurnalis yang siap membantu."
Mata Bagas berbinar. Harapan yang sempat redup mulai menyala kembali.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyanya mantap.
Laras tersenyum. "Selamat datang, Bagas. Pertama, kamu harus mengamati dan mengumpulkan informasi. Perhatikan setiap proyek, aliran dana, dan gelagat mencurigakan. Kedua, laporkan temuanmu ke kontak rahasia yang akan kuberikan. Ketiga, tetap berhati-hati dan jangan gegabah. keselamatanmu yang utama."
Bagas mengangguk serius. Dia tahu perjalanan ini tidak mudah, tapi tekadnya sudah bulat.
"Ini baru permulaan, Bagas," Laras berkata sambil menyeruput kopinya. "Perjuangan kita masih panjang, tapi percayalah, keadilan akan selalu menang."
Senja mulai turun, langit Jakarta berubah warna menjadi jingga keunguan. Bagas keluar dari kedai kopi, membawa secercah harapan di dadanya. Dia tidak lagi melihat Harmoni sebagai kota yang korup, tapi sebagai medan pertempuran untuk meraih harmoni yang sesungguhnya.
Bab 3: Jebakan Proyek Pengadaan Fiktif
Minggu pertama Bagas sebagai staf junior di Bagian Pengadaan terasa janggal. Dia kerap ditugaskan mengerjakan hal-hal remeh temeh, seolah dijauhkan dari proyek-proyek besar. Namun, instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Suatu hari, Bagas tak sengaja mendengar percakapan dua pejabat tinggi berbisik tentang "proyek fiktif". Rasa penasaran menguat, apalagi proyek tersebut nilainya fantastis. Dia mulai mengamati gerak-gerik kedua pejabat itu, mencatat setiap dokumen yang mereka sentuh, dan perlahan menyusun puzzle korupsi di balik proyek fiktif tersebut.
"Hei, baru?" suara seseorang mengejutkan Bagas yang sedang sibuk mencatat data.
Bagas mendongak, melihat Laras berdiri di ambang pintu dengan senyum penuh arti. "Iya, lagi sibuk ngurus laporan."
"Ngurus laporan apa?" Laras bertanya sambil mendekat.
Bagas ragu-ragu sejenak. "Proyek pembangunan jembatan di daerah terpencil. Tapi ada yang aneh..."
Laras mencondongkan badan, matanya berbinar. "Apa yang aneh?"
Bagas menceritakan semua yang dia dengar dan amati. "Proyeknya terkesan dipaksakan, detailnya samar, dan anggarannya terlalu besar. Sepertinya ada yang mau mengambil keuntungan besar."
Laras mengangguk pelan. "Instingmu tajam, Bagas. Proyek fiktif seperti ini sering dipakai untuk menggelapkan uang negara. Kita harus mencari bukti kuat."
Hari-hari berikutnya, Bagas dan Laras bekerja sama seperti detektif amatir. Mereka mencari celah informasi, meminta bantuan informan Harmoni Sejati, dan bahkan diam-diam menyusup ke lokasi proyek fiktif yang ternyata masih berupa lahan kosong.
"Ini gila," Bagas berbisik sambil mengamati lahan kosong itu. "Proyek apa yang mau dibangun di sini kalau masih hutan belantara?"
Laras mengeluarkan kamera kecil dari tasnya. "Bukti visual penting, Bagas. Ambil sebanyak mungkin."
Tiba-tiba, mereka dikejutkan oleh suara langkah kaki. Seorang pria berbadan tegap muncul dari balik pohon, menatap mereka dengan curiga.
"Siapa kalian? Mau apa di sini?" pria itu bertanya dengan nada mengancam.
Laras sigap beraksi. "Kami wartawan sedang wawancara," ujarnya sambil menunjukkan ID pers palsu yang sudah dia siapkan.
Pria itu ragu-ragu, tapi akhirnya membiarkan mereka pergi dengan peringatan keras.
Lolos dari situasi menegangkan itu, Bagas dan Laras semakin yakin harus segera membongkar skandal proyek fiktif. Mereka kembali ke basecamp Harmoni Sejati, membawa bukti berupa rekaman percakapan, foto lahan kosong, dan dokumen janggal yang berhasil mereka dapatkan.
"Ini cukup kuat," kata Anton, anggota senior Harmoni Sejati, setelah memeriksa semua bukti. "Tapi kita perlu strategi jitu untuk mengungkapnya ke publik."
Diskusi pun berlanjut, rencana disusun, dan langkah selanjutnya ditentukan. Perjuangan Bagas dan Harmoni Sejati baru saja dimulai. Mereka tahu perjalanan ini penuh risiko, tapi mereka tidak akan tinggal diam melihat uang rakyat dirampok terang-terangan.
Bab 4: Serangan Balik dan Dilema Moral
Berita penggerebekan lokasi proyek fiktif oleh tim investigasi KPK beredar luas, menggemparkan seluruh negeri. Para koruptor panik, saling tuding, dan berusaha mencari kambing hitam. Di antara mereka, Bagas menjadi target utama.
"Sialan! Siapa yang bocorkan informasi?" bentak Kepala Dinas, wajahnya merah padam.
"Ada mata-mata di internal kita," bisik anak buahnya, melirik ke arah Bagas yang pura-pura sibuk bekerja.
Bagas merasakan tatapan tajam tertuju padanya, tapi dia tetap tenang, mengingat pesan Laras untuk berhati-hati.
Malam harinya, saat Bagas hendak pulang, dua pria berbadan tegap mencegatnya di parkiran. "Kau yang ngadu ke KPK, ya?" salah satu dari mereka bertanya dengan nada mengancam.
Bagas menggeleng ketakutan. "Tidak...saya tidak tahu apa-apa."
Mereka tidak percaya, melayangkan tinju dan tendangan brutal. Bagas meringis kesakitan, tapi tak mau mengaku.
Tiba-tiba, suara sirine memecah ketegangan. Mobil patroli polisi datang dengan sigap, membubarkan para preman itu. Bagas dilarikan ke rumah sakit, luka lebam menghiasi tubuhnya.
Di ruang perawatan, Laras menjenguknya dengan raut wajah cemas. "Kau baik-baik saja, Bagas?"
Bagas mengangguk lemah. "Mereka tahu ada mata-mata, Laras. Aku takut ini baru permulaan."
Laras mengelus tangannya dengan lembut. "Aku tahu ini berat, tapi jangan menyerah. Kita sudah sejauh ini, tidak bisa mundur sekarang."
Bagas terdiam, dilema melanda dirinya. Dia takut, tapi dia juga tidak ingin meninggalkan perjuangan.
Keesokan harinya, Bagas dipanggil menghadap atasannya. Suasana tegang, tuduhan dilontarkan tanpa henti.
"Kau pasti mata-mata KPK! Kau pengkhianat!" bentak Kepala Dinas.
Bagas tetap bungkam, tidak ingin terpancing emosi. Dia tahu ini jebakan untuk memancing pengakuan.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Seorang wartawan senior masuk dengan langkah tegas, diikuti beberapa kameramen.
"Maaf mengganggu," kata wartawan itu. "Tapi kami mendapat informasi, ada praktik suap di instansi ini. Benarkah itu?"
Pertanyaan itu bagai petir di siang bolong. Para pejabat saling pandang, bingung harus bereaksi bagaimana.
Bagas melihat kesempatan ini. Dia mengumpulkan keberanian, lalu bersuara lantang.
"Bukan suap saja, Pak. Ada proyek fiktif yang merugikan negara!"
Ruangan hening seketika. Semua mata tertuju pada Bagas. Dia telah memilih jalannya, meski berisiko.
Bab 5: Di Balik Jeruji dan Sinar Harapan
Pengakuan Bagas bagai bom waktu yang meledak. Para pejabat kalang kabut, berusaha menutupi jejak dan mencari cara untuk membungkamnya. Tuduhan dibalikkan, Bagas difitnah sebagai pelaku utama korupsi proyek fiktif. Dia ditangkap, dijebloskan ke penjara, dan dunianya seketika runtuh.
"Kau gila, Bagas! Kenapa kau mengaku?" Laras berbisik cemas saat menjenguk Bagas di penjara.
Bagas menatapnya dengan tatapan lelah. "Aku tidak bisa diam lagi, Laras. Aku muak melihat mereka merampok hak rakyat."
Penjara terasa sunyi dan mencekam. Bagas dijauhi sesama tahanan yang takut terpancing kasusnya. Di balik jeruji, dia merasa putus asa, seolah perjuangannya sia-sia.
Suatu malam, seorang narapidana tua mendekati Bagas. "Kau anak muda pemberani," katanya dengan suara serak. "Jangan menyerah. Kebenaran selalu menang, walau terkadang butuh waktu."
Narapidana itu, mantan aktivis yang dipenjara karena melawan korupsi, memberikan Bagas secercah harapan. Dia berbagi pengalaman, strategi, dan pesan-pesan tentang pentingnya keadilan.
Sementara itu, di luar penjara, Laras dan Harmoni Sejati bergerak. Mereka mengumpulkan bukti tambahan, menggalang dukungan masyarakat, dan bekerja sama dengan wartawan senior yang terus menyoroti kasus Bagas. Tekanan publik semakin kuat, mendesak pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus ini.
Di ruang sidang, Bagas dengan tegas membela diri, meski tekanan dari pihak lawan sangat kuat. Dia bersaksi tentang praktik korupsi yang disaksikannya, didukung oleh bukti yang dikumpulkan Harmoni Sejati.
Sidang berlangsung alot, penuh drama dan intrik. Saksi kunci dihadirkan, fakta terungkap satu per satu, dan perlahan kebenaran mulai terlihat.
"Anda yakin tuduhan Anda benar?" Hakim menatap Bagas dengan tajam.
"Ya, Yang Mulia. Saya bersaksi untuk keadilan, meski nyawa saya terancam," jawab Bagas mantap.
Akhirnya, setelah melalui persidangan yang panjang dan melelahkan, keadilan ditegakkan. Para koruptor dijatuhi hukuman setimpal, Bagas dibebaskan dari segala tuduhan, dan namanya dipuji sebagai pahlawan pemberantas korupsi.
Keluar dari penjara, Bagas disambut sorak sorai dan pelukan hangat dari Laras dan para anggota Harmoni Sejati.
"Kau melakukannya, Bagas," Laras berbisik sambil menangis haru. "Kau membuktikan bahwa kebenaran bisa menang."
Bagas tersenyum, meski lelah tergambar jelas di wajahnya.
Perjuangan Bagas belum berakhir. Dia sadar korupsi masih merajalela, dan masih banyak yang harus diperjuangkan. Tapi pengalamannya memberinya kekuatan dan harapan. Dia tahu, bersama orang-orang yang memiliki keyakinan yang sama, dia bisa terus berjuang membangun negeri yang lebih bersih dan adil.
Bab 6: Gema Harmoni yang Menggema
Bebas dari jeruji besi, Bagas keluar dengan status pahlawan. Kisahnya sebagai whistleblower yang berani melawan korupsi menggema seantero negeri. Namun, euforia kemenangan bercampur dengan kewaspadaan. Dia tahu jaringan mafia korup belum sepenuhnya lumpuh, dendam mereka masih membara.
"Kau harus berhati-hati, Bagas," Laras memperingatkan, tatapannya penuh khawatir. "Mereka tidak akan tinggal diam."
Bagas mengangguk, memahami risiko yang dihadapi. Tapi tekadnya untuk terus berjuang tak surut.
Berita pembebasan Bagas memicu gerakan anti-korupsi yang lebih masif. Di berbagai penjuru, masyarakat turun ke jalan, menuntut transparansi dan keadilan. Harmoni Sejati pun semakin berkembang, anggotanya bertambah, aksinya meluas, tak hanya membongkar skandal, tapi juga mengedukasi masyarakat tentang bahaya korupsi.
Dalam sebuah diskusi bersama aktivis muda, Bagas berkata, "Korupsi bukan hanya masalah sistem, tapi juga masalah moral. Kita harus membangun kesadaran kolektif, menolak suap, dan berani bersuara."
Kata-katanya disambut antusias. Semangat perubahan membuncah, harapan akan masa depan yang bersih dari korupsi mulai terlihat nyata.
Namun, perjuangan tidak selalu mulus. Ancaman dan teror terus mengintai Bagas dan Harmoni Sejati. Aktivis mereka diintimidasi, kantor mereka dirusak, bahkan beberapa anggota menerima suap untuk tutup mulut.
"Mereka mencoba menakuti kita," ujar Anton, anggota senior Harmoni Sejati. "Tapi kita tidak boleh gentar. Justru ini bukti bahwa mereka terdesak."
Kejadian itu semakin menyatukan mereka. Strategi dibahas, pengamanan ditingkatkan, dan jaringan solidaritas diperkuat. Mereka sadar, melawan korupsi bukan pertempuran individu, tapi perjuangan kolektif.
Suatu hari, Bagas menerima informasi rahasia tentang rencana para koruptor untuk menguras dana proyek infrastruktur besar. Dia langsung menghubungi Laras dan Anton.
Mereka bekerja cepat, mengumpulkan bukti, dan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum. Langkah mereka sigap, berhasil menggagalkan rencana tersebut sebelum terlaksana. Keberhasilan ini menjadi pukulan telak bagi jaringan koruptor.
Di media massa, pemberitaan tentang keberhasilan Bagas dan Harmoni Sejati menjadi sorotan utama. Masyarakat semakin percaya diri untuk ikut melawan korupsi. Bahkan, beberapa pejabat yang tadinya menutup mata, mulai berani bersikap transparan dan akuntabel.
Perlahan tapi pasti, harmoni sejati mulai terwujud. Korupsi belum sepenuhnya hilang, namun semangat perlawanan masyarakat menjadi kekuatan yang tak bisa diremehkan. Bagas, Laras, dan Harmoni Sejati terus berjuang, langkah mereka diikuti oleh semakin banyak orang. Mereka percaya, suatu hari nanti, Indonesia akan bebas dari korupsi, dan harmoni yang sesungguhnya akan terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H