Mereka tidak percaya, melayangkan tinju dan tendangan brutal. Bagas meringis kesakitan, tapi tak mau mengaku.
Tiba-tiba, suara sirine memecah ketegangan. Mobil patroli polisi datang dengan sigap, membubarkan para preman itu. Bagas dilarikan ke rumah sakit, luka lebam menghiasi tubuhnya.
Di ruang perawatan, Laras menjenguknya dengan raut wajah cemas. "Kau baik-baik saja, Bagas?"
Bagas mengangguk lemah. "Mereka tahu ada mata-mata, Laras. Aku takut ini baru permulaan."
Laras mengelus tangannya dengan lembut. "Aku tahu ini berat, tapi jangan menyerah. Kita sudah sejauh ini, tidak bisa mundur sekarang."
Bagas terdiam, dilema melanda dirinya. Dia takut, tapi dia juga tidak ingin meninggalkan perjuangan.
Keesokan harinya, Bagas dipanggil menghadap atasannya. Suasana tegang, tuduhan dilontarkan tanpa henti.
"Kau pasti mata-mata KPK! Kau pengkhianat!" bentak Kepala Dinas.
Bagas tetap bungkam, tidak ingin terpancing emosi. Dia tahu ini jebakan untuk memancing pengakuan.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Seorang wartawan senior masuk dengan langkah tegas, diikuti beberapa kameramen.
"Maaf mengganggu," kata wartawan itu. "Tapi kami mendapat informasi, ada praktik suap di instansi ini. Benarkah itu?"