Bab 1: Bau Harmoni yang Menyengat
Udara Jakarta siang itu terasa pengap, seolah tersumbat oleh asap knalpot dan ambisi tak berkesudahan. Bagas, berbalut kemeja lusuh bekas wawancara kerja, berjalan gontai menyusuri koridor gedung pemerintahan yang megah namun kumuh. Aroma cat baru tak mampu menutupi bau menyengat lain - bau korupsi yang menjalar seperti benalu.
"Selamat siang, Bapak," sapa Bagas sopan pada pria berpostur tegap yang sedang mengobrol dengan suara berbisik di dekat ruang Kepala Dinas.
Pria itu menoleh, alisnya bertaut curiga. "Siapa kamu?"
"Bagas, Bapak. Saya baru diterima sebagai staf junior di Bagian Pengadaan."
"Oh, anak baru ya," pria itu mengumbar senyum penuh arti. "Kalau mau sukses di sini, ada aturan mainnya, mengerti?"
Bagas mengernyit bingung. "Aturan main? Maksud Bapak?"
Pria itu mencondongkan badan, suaranya merendah. "Uang pelicin, Nak. Biar proyek lancar, semua pihak senang."
Bagas tersentak. Ini baru hari pertamanya, tapi tawaran suap sudah terhidang di depan mata. Otaknya berputar cepat, mengingat idealisme yang dipegang teguh selama ini.
"Bapak, maaf kalau saya menolak. Saya tidak bisa terlibat dalam hal seperti itu," tegas Bagas, suaranya bergetar.