"Ketakutan itu wajar," Laras menepuk tangannya pelan. "Tapi kamu tidak sendirian. Di Harmoni Sejati, kita saling melindungi dan mendukung. Kita punya jaringan informan, pengacara, bahkan jurnalis yang siap membantu."
Mata Bagas berbinar. Harapan yang sempat redup mulai menyala kembali.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyanya mantap.
Laras tersenyum. "Selamat datang, Bagas. Pertama, kamu harus mengamati dan mengumpulkan informasi. Perhatikan setiap proyek, aliran dana, dan gelagat mencurigakan. Kedua, laporkan temuanmu ke kontak rahasia yang akan kuberikan. Ketiga, tetap berhati-hati dan jangan gegabah. keselamatanmu yang utama."
Bagas mengangguk serius. Dia tahu perjalanan ini tidak mudah, tapi tekadnya sudah bulat.
"Ini baru permulaan, Bagas," Laras berkata sambil menyeruput kopinya. "Perjuangan kita masih panjang, tapi percayalah, keadilan akan selalu menang."
Senja mulai turun, langit Jakarta berubah warna menjadi jingga keunguan. Bagas keluar dari kedai kopi, membawa secercah harapan di dadanya. Dia tidak lagi melihat Harmoni sebagai kota yang korup, tapi sebagai medan pertempuran untuk meraih harmoni yang sesungguhnya.
Bab 3: Jebakan Proyek Pengadaan Fiktif
Minggu pertama Bagas sebagai staf junior di Bagian Pengadaan terasa janggal. Dia kerap ditugaskan mengerjakan hal-hal remeh temeh, seolah dijauhkan dari proyek-proyek besar. Namun, instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Suatu hari, Bagas tak sengaja mendengar percakapan dua pejabat tinggi berbisik tentang "proyek fiktif". Rasa penasaran menguat, apalagi proyek tersebut nilainya fantastis. Dia mulai mengamati gerak-gerik kedua pejabat itu, mencatat setiap dokumen yang mereka sentuh, dan perlahan menyusun puzzle korupsi di balik proyek fiktif tersebut.
"Hei, baru?" suara seseorang mengejutkan Bagas yang sedang sibuk mencatat data.