“Eh?”
Belum sempat bertanya siapa, ibuku sudah pergi ke dapur. Ku lihat dari jendela sebuah motor terparkir di depan. Aku menerka-nerka. Jarang ada orang yang berkunjung ke rumah hanya untk menemuiku, apalagi teman sekolah, tak ada yang tahu dimana aku tinggal. Bergegas, aku merapikan diri dan melangkah keluar.
Seorang anak muda berdiri di depan pagar. Ia melambai. “Han! Ah, dasar pemalas, pasti kau baru bangun tidur.” Ujarnya begitu melihatku keluar.
Yang ku sadari pertama kali adalah rambutku masih cukup jadi indikator bahwa aku dalam keadaan baru bangun tidur, baru berikutnya ku sadari siapa anak itu.
“Ray? Darimana kau tahu rumahku?” Aku mendekatinya sambil merapikan rambut.
“Dari sini.” Ia mengangkat sebuah buku.
Aku memperhatikan apa yang sebenarnya dipegang Rayya. Butuh waktu beberapa detik untuk membuat otakku mengenali benda tersebut. Aku tersentak. “Itu...”
“Ini bukumu kan? Aku temukan di tumpukan barang bekas sepupuku kemarin. Aku cukup kaget melihat namanya, kebetulan alamatmu tertulis di sini.” Ia membuka halaman pertama dan memperlihatkan namaku tertulis jelas dipojok atas halamannya. “Dasar kau han, buku saja ditulisi alamat.”
Aku masih melongo. Berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Itu adalah novel yang ku berikan Asa beberapa waktu lalu.
“Hei, ini benar bukumu kan?” Rayya bertanya lagi memutus rantai tanda tanya yang sedari tadi mengalir deras dalam lamunan sejak detik pertama melihat buku itu.
“Eh? Eh? Iya, iya, itu bukuku.” Ujarku spontan. “Tapi bagaimana mungkin...”