“Ssst, ini masih sore Zen, dan di situ ada masjid, banyak orang-orang sedang mengaji juga. Gak usah takut.” Aku masih ke sana kemari mengarahkan senter. “Ah itu dia. Sini Zen.”
Kami mendekat ke salah satu nisan, berjongkok di kanan-kirinya. Aku mengusap-usap nisan yang tulisannya sudah mengabur itu, tertutup debu dan tanah. Di situ tertulis satu kata singkat diikuti dua tanggal di bawahnya. “ASA. 1 Juni 1990 – 21 Maret 2005”
“Eh, ia meninggal bahkan sebelum berulang tahun yang ke-15.” Zen menyeletuk setelah membaca nisan itu.
Aku menatap batu itu dengan seksama. Dikubur di sini seseorang yang cukup kuat menghadapi hidup yang singkat telah menjadi bagian kecil dalam hidupku. Aku bersihkan makamnya dari daun-daun. “Kita berdo’a dulu Zen.”
Kami berdo’a sejenak, hening dalam kegelapan. Dari jauh hanya terdengar samar-samar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan dari masjid. Sumber cahaya satu-satunya yang paling dekat hanyalah handphone kami berdua. Hening dan sepi yang membuat semua memori itu menyatu kembali. Pikiranku mendadak menjadi sangat tenang.
Setelah kami selesai, aku mengeluarkan buku merah kecil yang sejak dari rumah aku simpan di kantong celana. Buku catatan yang dulu Asa terakhir berikan padaku, yang isinya memberikanku banyak kebijaksanaan hidup. Mungkin sebaiknya aku kembalikan pada yang punya.
“Fin...” Ucap Zen dalam keheningan. “Kau yakin masalah satu tahun itu?”
“Zen, kau tahu aku selalu menuliskan tanggal aku mendapatkan suatu buku pada tiap buku yang ku punya kan?”
Aku menatapnya sejenak. Tanpa berbicara lebih lanjut, aku membuka buku merah yang ku pegang di halaman pertama, menunjukkan padanya sebuah tanggal tertulis dipojok kanan atas.
Tertulis sedikit kabur dengan tinta biru : “22/05/2006”
Aku menutup buku itu, merapikannya. “Sekarang percaya?” Aku meliriknya sambil tersenyum.