Mohon tunggu...
Aditya Firman Ihsan
Aditya Firman Ihsan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

deus, homines, veritas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Just Go(d) - Bagian 5

3 Agustus 2014   22:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:31 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terkekeh. “Begitulah, tapi aku sempat membaca suatu hal yang menarik mengenai itu.  Hmm...”

Pikiranku mengingat-ingat. Terlintas sejenak suatu hal yang membuatku langsung mengambil tas. “Sebentar, sepertinya aku bawa bukunya.”

“Ah ini dia. Tulisannya Lie Zu. Dalam bukunya mengenai Tao, ia sempat menulis suatu percakapan antara Usaha dengan Takdir.” Aku membolak-balik sebuah buku kecil hingga akhirnya berhenti pada suatu bagian.

“Pada suatu hari Usaha berkata pada Takdir, ‘Pencapaianku lebih besar daripada pencapaianmu.’ Takdir  tidak setuju. Ia segera menantang, “Apa yang telah kau lakukan sehingga pencapaianmu melampaui aku?’

Aku melirik Asa sejenak sebelum lanjut berbicara. Ia sepertinya serius mendengarkan.

“Usaha menyahut, ‘Apakah seseorang berumur panjang atau mati muda, kaya atau miskin, berhasil atau gagal, tergantung padaku.’ Takdir langsung menukas, ‘Kepandaian Si Tua Peng  tidak sebanding dengan kepandaian Kaisar Yao dan Kaisar Shun, tapi ia berumur panjang dan hidup sehat. Di lain pihak, Yen-hui, siswa Konfusius yang terbaik meninggal pada usia 18 tahun. Kebajikan Konfusius jauh melampaui para tuan tanah. Tapi, dibandingkan para tuan tanah itu Konfusius miskin dan papa. Kaisar Shang-t’sou kejam dan biadab tapi hidup makmur dan berumur panjang. Sebaliknya, para menterinya yang penuh kebajikan justru mati mengenaskan. Ada seorang pria yang mengorbankan kekayaan dan keberuntungannya agar adiknya bisa bekerja pada tuan tanah Cheng. Orang ini tetap miskin dan tidak dikenal sepanjang hidupnya. Lalu ada orang lain yang tidak punya kebajikan maupun kemampuan dan menjadi tuan tanah Chi’i.Bagaimana dengan Po-Yi dan Shu-ch;i yang mati kelaparan di gunung karena tidak mau menjual kejujuran dan kehormatan mereka untuk melayani tuan tanah musuh mereka? Apa yang bisa kau katakan tentang pejabat-pejabat korup yang kaya serta orang-orang pekerja keras yang miskin?’”

“...dan bagaimana dengan seorang wanita muda tanpa daya harus segera meninggalkan dunia di saat anak-anak lain masih bisa melihat cerahnya masa depan.”

Aku berhenti. Tak ku sangka ia akan menanggapi seperti itu. Aku menatapnya beberapa detik, hingga akhirnya ku putuskan untuk lanjut membaca.

“Usaha tak menyangka pernyataannya dihujani bukti-bukti bertubi-tubi. Dahinya berkerut. Namun, Takdir melanjutkan, ‘Jika kau seefektif yang kau katakan, mengapa tak kau buat para pekerja keras menjadi kaya? Mengapa tak kau beri orang yang penuh kebajikan dengan hidup makmur dan umur panjang? Mengapa orang pandai dan terampil menganggur serta mengapa orang bodoh mendapat tempat penting di pemerintahan?’

“Dihadapkan tantangan ini Usaha tak bisa berkata apa-apa. Dengan malu-malu ia berkata pada Takdir, ‘Kau benar. Aku tak berdampak terlalu besar. Tapi aku berani berkata bahwa banyak hal terjadi karena kau berniat mengacaukan, memutar balik takdir orang-orang dan menikmatinya.’  Takdir lalu berkata, ‘Aku tidak bisa memaksa arah terjadinya suatu hal. Aku hanya membuka pintu agar mereka bisa lewat. Jika sesuatu berjalan lurus, aku akan membiarkannya mengikuti jalan yang lurus. Jika sesuatu berbelok, aku tidak menghalanginya. Tak sesuatu pun, tidak kau atau aku, bisa mengatur arah jalan suatu hal. Umur panjang atau pendek, kaya atau miskin, berhasil atau gagal, untung atau sial, semua datang dengan sendirinya. Bagaimana aku bisa mengarahkan suatu kejadian atau bahkan tahu di mana suatu hal akan berakhir?”

Aku menutup buku yang ku pegang. Menatap lurus ke depan, sekali lagi membiarkan semua citra gambar itu bertubi-tubi memasuki mataku yang kosong, berusaha menyerap tiap keadaan. Tak ada satu pun dari kami yang berbicara setelah itu. Menyerap tiap makna dalam semesta pikiran masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun