Mohon tunggu...
Adinda Putri Septiana
Adinda Putri Septiana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 6

SMAN 1 PADALARANG

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Greematsa

24 Februari 2022   19:11 Diperbarui: 24 Februari 2022   19:17 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan, salah satu musim yang disukai Marvel. Anak lelaki bungsu dari dua bersaudara. Berada dalam keluarga kaya raya, keturunan konglomerat. Marvel bisa melakukan apa saja yang dia mau, yang dia sukai, dan dia bisa mendapatkan apa saja dengan lebih mudah.

Suatu hari, Marvel menginginkan sesuatu yang tak lazim dan sangat-sangat aneh. Marvel menginginkan seorang ibu baru. Ya, ibu tiri maksud Marvel. Keluarganya jelas sangat terkejut dengan hal yang diinginkan Marvel. Tak mungkin mereka dapat mengabulkan itu jika ibu kandung Marvel saja masih hidup dan tidak rela merasa diduakan oleh suaminya alias ayahnya Marvel, Hera.

Marvel ini anak laki-laki berumur 14 tahun namun dia termasuk anak yang jenius. Jenius dalam hal apa? Dalam akademik maupun kegiatan olahraga ataupun kesenian dan yang lainnya. Marvel menginginkan seorang adik juga dari ibu tiri yang diimpikannya. Entah apa yang ada di pikiran Marvel sampai-sampai dia menginginkan seorang ibu baru. Hubungan Marvel dan orang tuanya pun baik-baik saja, menurut ibu kandungnya.

Kakak Marvel, Tio, pria berumur 20 tahun, memiliki kekasih yang akan dinikahinya sekitaran 6 atau 8 tahun lagi, katanya. "Kak, bolehkah Marvel bertanya sesuatu kepada kakak?" tanya Marvel tiba-tiba. "Bertanya soal apa? Dan kenapa juga ekspresimu seperti itu?" tanya Tio. "Kenapa kakak mencintai kak Luna?" tanyanya. Sontak Tio terkejut mendengar pertanyaan dari adiknya tersebut yang sangat tak terduga. "Apakah ini pertanyaan yang wajib dijawab, Vel?" "Terserah kakak, aku tak peduli juga jika kakak tidak mau menjawabnya, aku hanya penasaran".

"Cinta itu tak memerlukan alasan, Marvel" jawab Tio. "Kenapa tidak memerlukan alasan? Apakah itu benar-benar perasaan yang nyata?" "Tentu saja nyata, kamu mungkin belum mengerti karena kamu masih kecil" jawab Tio. "Cinta tak memerlukan alasan dan itu adalah perasaan yang nyata.." gumam Marvel. Tio sang kakak hanya tersenyum menatapnya. "Sudah tak perlu kamu pikirkan soal cinta, kembali ke kamarmu dan lanjutkan belajarnya" pinta Tio. Marvel pun mengikuti perkataan kakaknya untuk kembali ke kamar.

Marvel menulis dalam buku hariannya tentang gumamamnya tadi. "Aneh" ucapnya.

"Ibu, bolehkah aku bertanya?" ucap Marvel sekitar 3 jam kemudian, dan kini sedang berada di kamar ibunya. "Mengapa aku dilahirkan, bu?" tanyanya. Tentu saja ibunya terkejut mendengar pertanyaan tak biasa yang dilontarkan anaknya secara tiba-tiba seperti itu. "Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini, nak? Apakah ada hal yang mengganggumu?" tanya ibunya khawatir.

6 tahun kemudian.

Marvel kini sudah berusia 20 tahun, dimana dia kini sedang menuntut ilmu di negeri sakura. Dia tidak memiliki teman dekat. Sedari dulu, Marvel memang belum pernah memiliki teman. Tidak ada yang mengganggapnya teman. Setiap hari, Marvel mengerjakan tugas-tugasnya sendiri, di apartemen berlantai 20.

Setiap malam, bintang-bintang selalu bersinar. Marvel menyukai langit, terlebih lagi langit malam. Dia sangat menyukai bintang, dia selalu memandangi langit ketika dia sedang stres atau tidak baik-baik saja. Baik itu langit malam ataupun siang. "Aku senang berada disini" gumam Marvel. "Jauh dari keluarga palsu. Mungkin mereka bahagia karena telah berhasil mengasingkan diriku disini. Setidaknya aku masih diberi uang jajan, haha" suara tawa yang hambar keluar dari sosok pemuda 20 tahun yang bisa dibilang sedang merantau ini.

"Kamu membenci mereka?" tiba-tiba ada suara yang mengajaknya berbincang. Marvel berbalik badan menghadap ke kamarnya. Ada Marvel. Marvel yang lain. Wajahnya persis seperti dirinya. "Apakah ini mimpi?" "Aku pasti sedang bermimpi" gumam Marvel sendiri.

"Tidak, kamu tidak sedang bermimpi Marvel" ucapnya. "Hah?! Kau berbicara kepadaku?" sontak Marvel terkejut dan tanpa aba-aba langsung melontarkan pertanyaan tersebut.

"Kau siapa? Mengapa kau bisa masuk ke apartemenku?" tanya Marvel setelah menenangkan diri dan mencoba memperbaiki karisma pemberaninya.

"Kamu tidak mengenaliku ya? Jelas-jelas wajah kita sama persis" ucapnya sembari mengeluarkan tawa hambar.

"Aku tidak mengenalmu! Dan kenapa juga kita memiliki wajah yang sama?!" ucap Marvel sedikit menaikkan nada bicaranya itu. Marvel tak panik namun merasa sedikit terancam karena ada seseorang selain dirinya berada di dalam apartemennya yang sebelumnya belum pernah dimasuki oleh siapapun selain dirinya.

"Kau datang dari mana?" tanya Marvel.

"Tentu saja dari rahim ibumu" ucapnya bercanda.

"Jangan bercanda denganku! Apalagi kau bercanda dengan menyangkutpautkan ibuku!"

"Tenang, kamu tidak perlu marah seperti itu. Nama aku Gree, tapi asalku tidak bisa aku beritahu karena yang jelas asalku bukan dari duniamu"

"Aku sebenarnya perempuan, wujud asliku ini tidak seperti wujud yang aku tunjukkan kepadamu saat ini" tambahnya.

"Tentu saja, itu kan wujud diriku!" ucap Marvel.

"Tenang, aku tidak akan menyakitimu" ucap Gree. "Nama lengkapku Greematsa, aku lahir jauh beratus-ratus tahun sebelum kamu dilahirkan" Gree mengulurkan lengannya mengisyaratkan Marvel untuk menjadi lebih akrab dengannya.

"Berarti kau sudah tua?" tanya Marvel.

"Sembarangan! Mungkin umurku sudah tua, tapi wujud asliku aku masih seperti gadis berusia 18 tahun" jelasnya.

"Lalu mengapa kau tidak menggunakan wujud aslimu?" tanya Marvel.

"Aku khawatir bahwa kamu akan menyukaiku"

Tiba-tiba saja wajah Marvel berubah menjadi kecut sekecut jeruk nipis.

Padahal Marvel sudah serius mendengar penjelasannya, dan tidak dipungkiri bahwa Gree ini mengajaknya bercanda.

"Hey kau! Aku sudah serius mendengarkanmu tapi tak kusangka kau bercanda denganku"

"Mengapa kamu selalu menggunakan kata 'kau' sih? Seperti pejuang kemerdekaan negaramu saja" ucapnya bercanda lagi.

Marvel memasang muka masam mendengar perkataan yang diucapkan 'sosok gadis 18 tahun' yang menyamar menggunakan wujudnya di hadapannya ini.

"Lalu kau berasal dari negeri ini?" tanya Marvel.

"Sudah kubilang aku bukan berasal dari duniamu! Tentu saja aku bukan berasal dari negeri tempat kamu menuntut ilmu ini!"

"Dipikir-pikir aku merasa geli juga mengobrol dengan diriku sendiri"

"Bukannya biasanya juga seperti itu?" tanya Gree sedikit menohok.

"Hey! Jika kau bukan berasal dari duniaku mengapa kau tau seluk-beluk dari kehidupanku dan dunia ini?" tanya Marvel.

"Rahasia haha..!" ucap Gree seraya tertawa kecil nan manis sembari merubah wujudnya ke dalam wujud aslinya yang benar-benar seperti gadis berusia 18 tahun.

Bagaikan bunga-bunga sakura indah yang berterbangan karena tertiup angin di musim semi yang cerah ini. Bagaikan pula ada angin-angin lembut yang menabrak jiwa dan tubuh Marvel di dalam apartemennya. Marvel jelas-jelas terpesona. "Cantik sekali.." gumam Marvel tanpa sadar, namun Gree sadar dan mendengar Marvel mengatakan itu. Gree tersenyum kecil menampakkan pipinya yang sedikit kemerahan.

"Kalo kamu lahir beratus-ratus tahun lalu, aku harus memanggilmu apa?" tanya Marvel yang tiba-tiba merubah tata bahasanya.

"Terserah kamu" ucap Gree.

Jam analog di rak kecil samping tempat tidurnya sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan Marvel bertanya lagi.

"Apa kamu akan tetap berada di apartemenku?"

"Ya, aku akan berada di sini sementara waktu sampai urusanku selesai"

"Kamu punya urusan apa? Sama siapa? Kenapa juga harus diamnya di apartemenku?"

"Aku punya urusan denganmu, Marvel" ucap Gree dengan tatapan tajam nan serius. Namun malah membuat Marvel jatuh hati karena tatapannya.

"Hah?!"

3 hari kemudian. Gree belum muncul lagi sejak malam perbincangan dan pertemuan pertamanya dengan Marvel.

"Kemana dia? Kenapa dia belum muncul lagi? Aku ingin melihat wajah cantikny---"

"OH TIDAK! MENGAPA AKU MENGKHAWATIRKANNYA?! SIAL!" umpatnya kepada dirinya sendiri.

Beberapa menit kemudian.

"Kamu nyariin aku?" muncul Gree dari luar jendela apartemen Marvel. Pakaiannya sama seperti kemarin.

"Siapa yang nyariin kamu?! Ga usah kegeeran!"

"Kenapa kamu salah tingkah?" tanya Gree yang membuat pipi Marvel semakin memerah dari yang sebelumnya.

"Sekali lagi kuperingkatkan, jangan sampai kamu jatuh cinta denganku. Ini serius" ucap Gree dengan mantap.

"Jatuh cinta katamu? Mana mungkin aku jatuh cinta" Marvel memperbaiki harga dirinya. Gengsi Marvel juga bisa dibilang tinggi. "Lagipula, aku belum pernah jatuh cinta!"

"Pantas saja" ucap Gree yang membuat Marvel sangat tertohok. "Menyedihkan" tambahnya.

"Bagaimana kabar ibu tirimu?" tanya Gree tiba-tiba.

"Ibu tiri? Tau dari mana kamu aku punya ibu tiri? Kamu penguntit ya?!"

"Stop being childish, Marvel! Jawab saja pertanyaanku" ucap Gree serius.

Marvel terdiam.

"Mungkin dia baik-baik saja. Aku sudah lama tidak mendengar kabar tentangnya" jelas Marvel.

"Kenapa?"

"Dia tidak suka jika aku menghubunginya duluan. Lagipula dia sudah berpisah dengan ayahku. Mereka menikah hanya selama 5 tahun, sesuai kontrak yang mereka sepakati. Mereka menikah hanya demi keinginanku dulu. Mereka sama sekali tidak memiliki perasaan cinta yang tidak aku mengerti itu. Sepertinya aku yang egois disini. Waktu itu umurku baru 14 tahun dan orang tuaku sempat menolak permintaanku, padahal aku hanya memintanya sekali. Walaupun mereka menolak permintaanku, mereka tetap mengabulkannya. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka" ucapnya.

Diam. Nampak Gree sedang memikirkan sesuatu sejak Gree melontarkan pertanyaan kenapa kepada Marvel.

"Ngomong-ngomong," Marvel bersuara.

Gree menoleh.

"I'm not childish" ucapnya.

Gree membuang nafas panjang. Lelah akan ulah Marvel yang seperti anak kecil. Padahal, selama Gree mengawasi Marvel sejak kecil tidak seperti ini.

"Kamu punya teman?" tanya Gree. Mata Marvel sedikit membelalak. "Tidak" jawabnya.

"Kasihan sekali"

Seminggu kemudian, tanggal 04 Februari 2020.

"Marvel, saranku kamu harus pulang ke negeri asalmu besok" ucap Gree mengatakannya kepada Marvel yang masih separuh sadar dari tidurnya pada jam 5 pagi.

"Apa maksudmu?" Marvel terduduk dari tidurnya mengusap-usap wajahnya menggunakan lengannya dengan rambut hitamnya yang menyuncung ke atas seperti sapu ijuk.

"Aku punya firasat" ucap Gree.

"Apakah firasatmu dapat kupercaya?" tanya Marvel penuh ragu.

"Percayalah kepadaku" katanya.

"Tapi apakah bisa memesan tiket pesawat secara mendadak seperti ini?"

"Bisa. Jika tidak bisa akan kubantu"

"Hm?" Marvel menatap wajah Gree dengan tatapan bingung dan dengan muka bantalnya.

"Kakak akan menikah" ucap Tio sesampainya Marvel di negeri asalnya.

"Wah kakakku ini sudah mau menikah ya, berapa umur kakak sekarang?" tanya Marvel.

"Apakah karena kau telah belajar lama di sana dan kau lupa ingatan tentang tanggal ulang tahunku?!" ucap Tio sedikit mengajak adiknya berkelahi.

"Hahaha kak maafkan aku, aku hanya bercanda" Tio melepaskan lingkaran lengan pada adiknya yang tadinya Tio melakukan 'penguncian'. "Sebenarnya, aku memang lupa kak" ucap Marvel lagi.

"Dasar kamu ini!!!" Tio kembali melakukan penguncian terhadap leher adiknya agar adiknya tidak bisa bergerak.

"Aduh! Lepaskan, kak! Aku minta maaf" ucap Marvel. Tio pun melepaskan lingkaran lengannya. "Ngomong-ngomong, kakak akan menikah dengan kak Luna?"

"Tidak" jawab Tio dengan wajah datar.

"Lalu dengan siapa?"

"Eh! Marvel! Apa kabar kamu? Sudah lama ibu tidak meneleponmu ya, haha, maafkan ibu ya nak, ibu sibuk akhir-akhir ini" sapa ibu tirinya, Nayla, sembari memeluk anak tirinya tersebut.

Ibu kandung Marvel dan Tio telah tiada beberapa tahun yang lalu. Dan ini yang membuat Marvel bertanya-tanya. Mengapa Nayla ada di rumah ini.

Tio memasang wajah datar sembari melihat adiknya dan Nayla berpelukkan.

"Bagaimana kabar ibu?" tanya Marvel. "Si Julio kemana, bu? Dia sehat juga kan bu?"

"Hahaha, Julio sehat kok, sehat sekali. Dia pasti sedang bersenang-senang" ucap Nayla selalu dengan senyum hangatnya.

"Bersenang-senang dimana, bu?" Aku akan menemuinya. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, aku sangat merindukannya" ucap Marvel.

"Dia sedang bersenang-senang di atas sana, Marvel" ucap Nayla masih dengan senyuman hangatnya.

"Di atas? Di ruang keluarga? Oh dia sedang menonton televisi, ya? Dia kan suka sekali menonton televisi dari dulu" tanya Marvel yang tidak memerlukan jawaban. Marvel segera menuju ruang keluarga setelah menyimpan barang-barang yang dibawanya dari negeri sakura di kamarnya yang sudah lama tidak dia ditempati. "Kamarku tetap bersih dari sebelum aku berangkat ke sana. Tidak ada yang berubah sama sekali. Haha, aduh, aku merindukan diriku yang 'jenius' dulu sedang belajar di meja belajarku itu, haha, nostalgia sekali"

Jarak yang ditempuh Marvel dari pintu depan rumah lalu ke kamarnya lalu ke ruang keluarga lumayan jauh, karena seperti yang kalian tau rumah keluarga Marvel ini tergolong sangat luas. Termasuk rumah terluas dan termewah ke 10 di dunia. "Julio pasti sekarang sudah berumur 14 tahun, atau dia masih 10 tahun, ya?" tanya Marvel kepada dirinya sendiri saat sedang berjalan santai menuju  ruang keluarga yang berada di lantai 3 sebelah timur, sementara kamarnya berada di lantai 2 namun di sebelah barat.

"Julio?"

"Julio?"

"Julio?" panggil Marvel seraya mencari-cari keberadaan Julio.

"Julio kamu dimana? Kamu tau kan kakakmu ini mengambil cuti kuliah dan pulang ke negeri kesayangannya ini?"

"Julio? Kamu jangan bermain petak umpet denganku. Sudah besar masih suka bermain petak umpet ya!"

Sementara di bawah, terjadi percakapan mendalam di antara Tio dan Nayla.

"Apa yang harus kita katakan mengenai Julio?" tanya Tio pada Nayla.

"Dia mungkin salah paham dan sekarang sedang mencari-cari Julio di ruang keluarga."

"Ayah dimana?" tanya Tio.

"Mana aku tau" ucap Nayla.

Sesegera mungkin Tio menyusuli adiknya tersebut ke lantai 3.

"Marvel! Kau dimana?" seru Tio sesampainya di lantai 3.

Kosong, tidak ada siapa-siapa di ruang keluarga. "Haduh, dimana anak itu?" gumam Tio dengan nada sedikit khawatir.

Tio mencoba menghubungi Marvel melalui ponselnya. Tak berselang lama, terdengar suara nada dering dari ponsel adiknya itu. Tergeletak di sofa biru mewah ruang keluarga. Dengan televisi yang tiba-tiba menyala sendirinya menayangkan acara anak kecil yang lucu namun tiba-tiba berubah menjadi film horor yang menyeramkan.

Lantai 3 yang hening menimbulkan kecurigaan. Segera Tio mengambil ponsel adiknya tersebut lalu mematikan televisi yang tiba-tiba menyala itu dan segera turun ke lantai dasar untuk menghampiri Nayla.

Sementara Marvel kini sedang berada di gudang belakang rumahnya yang luas itu, gudang berukuran 5x5 meter. Marvel juga tidak tahu mengapa dirinya tiba-tiba berada di gudang belakang ini.

"Kak Marvel" panggil seorang anak kecil sekitaran berusia 10 tahun dengan wajah tampan yang putih sedikit pucat, anak kecil itu menarik-narik kemeja putih yang dikenakan Marvel.

"Hey Julio!" Kamu di mana dari saja? Kakak mencarimu, tau!"

"Kakak ikut aku deh" ucap Julio tak menanggapi pertanyaan dari kakak tirinya itu.

Marvel hanya mengikut saja sama apa yang diminta Julio tanpa memikirkan akan dibawa kemana dia.

"SSSSTT!! SSSTT!!" tiba-tiba saja ada yang berbisik seperti ular di telinga Marvel. Marvel pun menoleh dan dikejutkan oleh sosok gadis cantik yang dia temui di negeri tempat ia menuntut ilmu. Gree. Ya, itu Gree.

"GREE?! APA YANG KAMU LAKUKAN DISINI?!" Marvel seperti yang berteriak namun sebenarnya dia itu sedang bisik-bisik.

"Dengarkan aku! Kamu jangan mengikuti apapun yang diminta Julio, jangan mau diajak ke tempat yang kamu tidak tau itu dimana. Berhenti disitu atau kamu akan mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan. Firasatku tidak enak!" ucap Gree.

Marvel tentu saja bingung terhadap apa yang dibicarakan Gree padanya tadi. "Aku harus apa?" gumam Marvel kebingungan. Marvel masih ditarik tangannya oleh Julio menuju ke tempat yang baru ia sadar bahwa sedari tadi itu Julio hanya mengajaknya mengelilingi rumahnya yang luas itu sebanyak 3 kali.

Tanpa sadar Marvel merasa sangat letih.

"Huh? Mengapa aku sangat Lelah?" gumamnya.

"Dia tak nyata" ucap Gree lalu menghilang.

Dia siapa, pikir Marvel.

Lalu Julio pun berbalik badan menghadap Marvel dengan wajah pucatnya.

"Kakak kenapa seperti habis berlari-lari? Kakak terlihat sangat kelelahan" tanyanya.

Marvel masih menghela nafas berat karena ia tiba-tiba sekali merasa sangat lelah.

"Duduk dulu, kak" pinta Julio.

Selang beberapa menit, Tio bersama Nayla menghampiri Marvel yang tengah berada di depan pintu gudang belakang sembari berlarian.

"Sedang apa kamu disini?" tanya Tio seraya menghela nafas berat, begitu pun juga Nayla.

"Aku diajak ke sini sama Julio, kak. Kenapa?" ucap Marvel.

"Julio? Bicara apa kamu!" ucap Tio sedikit membentak.

"Julio itu.. sudah tidak ada, Marvel" tambah Nayla dengan wajah sedih.

"Apa yang kalian bicarakan? Jelas-jelas Julio berada di sampingku" ucap Marvel seraya menoleh ke samping kanannya untuk memastikan bahwa Julio ada di sampingnya. "Eh? Julio? Kok ga ada?"

"Tadi ada kok" bela Marvel.

Ponsel Tio berdering, muncul nama 'ayah' di ponselnya. "Ini ponselmu!" ucap Tio melemparkan ponsel Marvel kepada pemiliknya. "Mengapa kau meninggalkannya di ruang keluarga"

Tio segera mengangkat telepon dari ayahnya. "Halo, yah? Ada apa?"

Namun suara yang menjawab itu bukan suara ayahnya. "Maaf, apakah ini dengan anggota keluarganya Pak Hera?" "Iya betul, saya dengan putranya Pak Hera. Ini siapa, ya?" tanya Tio.

"Saya mau memberitahukan bahwa ini.. baru saja, Pak Hera mengalami kecelak---" tut tut tut..

Sambungan telepon tiba-tiba terputus.

"Halo? Halo? Halooo?!" ucap Tio lalu mencoba menghubungi kembali nomor ayahnya tersebut namun tidak berhasil.

Marvel dan Nayla saling memandang menyiratkan kebingungan, "Apa yang terjadi dengan ayah, kak?" tanya Marvel.

"Aku tidak bisa mendengarnya karena suara di sana berisik dan jaringannya buruk"

"Tapi jika aku tidak salah dengar, aku mendengar orang ini mengatakan bahwa ayah mengalami kecelakaan.. TIDAK! TIDAK! ITU TIDAK MUNGKIN DAN TIDAK BOLEH TERJADI!" ucap Tio.

"Tapi bagaimana jika ayah benar-benar mengalami kecelakaan? Kita harus apa?"

"Tenanglah, tidak mungkin ayah kalian mengalami kecelakaan" ucap Nayla mencoba menenangkan mereka berdua. "Pertama-tama, ayo kita kembali dulu ke dalam rumah, kita dinginkan pikiran kita di sana. Ayo! Jangan lama-lama di sini, perasaanku tidak enak" ucapnya.

Nayla ini termasuk masih muda, kini dia masih berumur 36 tahun. Dia menikah dengan ayahnya Marvel pada umur 23 tahun dan mempunyai anak yaitu Julio yang berumur 10 tahun. Sementara ayahnya Marvel dan Tio yaitu Pak Hera kini berumur 56 tahun. Umur mereka terpaut sangat jauh.

Sesampainya mereka di dalam rumah untuk beristirahat dan mendinginkan pikiran, Marvel bertanya. "Oh iya, aku lupa bertanya, ibu mengapa ada di sini? Sedang apa di sini? Hanya berduaan pula dengan kak Tio, eh tidak, kalian kan bertiga dengan Juli--- eh. APA IBU TADI BILANG KALO JULIO SUDAH TIDAK ADA?!! APA MAKSUD IBU?! JULIO SUDAH MENINGGAL MAKSUD IBU?! MENGAPA KALIAN TIDAK MENGABARIKU KETIKA JULIO SUDAH TIDAK ADA? MENGAPA AKU BARU MENGETAHUINYA SEKARANG? INI SANGAT MENYAKITKAN BAGIKU. BAHKAN AKU SUDAH LAMA TIDAK BERTEMU DENGANNYA, MENGAPA DIA KINI SUDAH TIDAK ADA?!" Marvel sedikit meneteskan air matanya. Siapa yang tidak sedih jika ditinggalkan oleh adik kesayangan yang sudah lama tidak ia jumpai. "Aku akan ke kamar" kata Marvel.

"Tidak kusangka mereka bersikap seperti itu kepadaku, aku benar-benar sudah tidak dianggap anggota keluarga lagi sama mereka" ucap Marvel di dalam perjalanan menuju ke kamarnya yang di lantai 2 itu. Sesampainya di depan pintu kamar, Marvel menemukan secarik kertas di lantai di depan pintu kamarnya. Marvel mengambil kertas itu, kertas yang bertuliskan

'ADA YANG MEREKA SEMBUNYIKAN'

dengan lumuran darah.

Marvel sedikit ketakutan. Namun rasa takut itu tidak lebih besar dari rasa kecurigaan Marvel kepada Tio dan Nayla. "Benar, mereka memang sangat mencurigakan. Aku harus mencari sesuatu" Marvel pun masuk ke kamarnya dan membawa kertas tersebut. Saat Marvel mencoba merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya yang sudah lama tidak dia gunakan, wangi melati tiba-tiba menyerbak di kamarnya. Marvel seketika terbangun dari rebahannya dan langsung membuka jendela agar wangi melati itu cepat hilang.

Melati itu memang wangi, tetapi aura yang dibawanya sangat menyeramkan.

Saat Marvel berbalik badan setelah membuka jendelanya. Muncul Julio di hadapannya. Marvel terkejut dan sontak sedikit berteriak. Untung saja, di lantai 2 hanya ada dia seorang. Jadi tidak ada yang mendengar teriakannya. Marvel ini sangat mudah terkejut.

Marvel bertanya kepada Julio, "Apakah ini kamu yang menulisnya?" Julio mengangguk dan menunjuk ke gudang belakang yang dia ajak Marvel tadi. Memang Marvel tadi belum sempat melihat ke dalam gudang. Jadi Marvel tidak tau ada apa di dalam gudang itu. Dan Ketika Marvel melirik ke gudang tersebut, ada Gree di sana yang ingin mencoba masuk ke dalam gudang namun rasa takutnya juga tidak kalah besar dari Marvel.

"Baiklah, nanti malam antar aku ke gudang itu, ya?"

Julio mengangguk, lalu menghilang.

"Fyuh.." Marvel membuang nafas berat seraya mengusap dadanya untuk menenangkan dirinya.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore.

Ada yang menyentuh Pundak Marvel dari balik jendela. Marvel melotot karena melihat bayangan yang menyentuhnya di balik jendela itu. Bayangannya besar, hitam pekat, dan berbentuk menyeramkan. Marvel maju beberapa langkah terlebih dahulu baru membalikkan badannya secara paksa untuk melihat sosok apa sebenarnya yang menyentuk pundaknya tadi.

"Oalah" ucap Marvel. "Kamu ternyata"

Gree tertawa kecil menunjukkan senyum manisnya.

"Kenapa bayangan kamu sangat besar dan menyeramkan tadi?" tanya Marvel.

"Apa maksudmu?"

Mereka berdua sama-sama kebingungan.

"Kamu nanti malam mau ke gudang itu?" tanya Gree. "Aku ikut ya" katanya.

Lagian juga jika Marvel menolaknya tentu saja Gree akan tetap ikut, jadi percuma saja jika Marvel menolak permintaan Gree itu.

Jam 7 malam pun tiba. Tio mengetuk pintu kamar Marvel. Marvel membuka pintu kamarnya.

"Ayo makan malam, para koki sudah menyiapkan makan malam untuk kita" ucap Tio.

"Baiklah, aku akan segera menyusul ke bawah" jawab Marvel lalu menutup pintu kamar.

"Hah? Kau bercanda! Apa yang kau maksud, kak? Kau akan menikah dengan ibu tiriku? Bu Nayla? Yang benar saja!" protes Marvel. "Apakah itu benar, bu?" tanya Marvel kepada Nayla untuk memastikan.

"Maaf tapi itu benar, Marvel. Ibu harap kamu menyetujui pernikahan ini" ucapnya dengan tampang putus asa yang menjijikan itu.

"Jika kalian meminta izinku, tentu aku larang! Kalian juga tidak memberitahuku Ketika Julio meninggal! Kenapa?! Apa aku sudah tidak dianggap lagi di keluarga ini?! Oh iya! Memang aku sudah tidak dianggap sebagai keluarga bukan? Aku sengaja diasingkan ke negeri sakura dengan embel-embel menuntut ilmu di universitas bergengsi di dunia! Tapi aku bersyukur soal itu, terima kasih masih mau membiayai biaya kuliahku dan biaya hidupku di sana, haha!" Marvel bangkit dari kursinya setelah menimbulkan keributan di meja makan.

"Sebelum itu! Aku juga tau mengapa ayah belum pulang sampai malam ini!" Tio dan Nayla bersamaan menatap Marvel.

"Kalian sengaja mencelakai ayah supaya ayah tidak bisa bertemu denganku selama aku disini, kan?! Tidak usah berbohong! Aku sudah tau siasat busuk kalian berdua!" bentak Marvel seraya meninggalkan ruang makan. "Ibu kandungku juga meninggal gara-gara kalian!" ucapnya pelan.

Nayla dan Tio saling bertatapan dan memikirkan apa yang harus mereka lakukan setelah dituduh begitu oleh Marvel.

"Marvel yang dulu pendiam, tidak peduli dan tidak banyak omong, ya" ucap Nayla tiba-tiba. Tio hanya termenung lalu tersenyum licik.

Tak lama Gree muncul di depan mereka berdua, duduk di kursi yang tadi Marvel duduki. Gree muncul dalam wujud ayahnya Marvel yang sangat berwibawa itu.

Nayla dan Tio yang tadinya tertawa jahat tiba-tiba terdiam karena sangat terkejut tiba-tiba ada Pak Hera di depan mereka.

"Apa yang kalian telah lakukan selama ini?" tanya Gree, tentu dengan suara khas Pak Hera.

"Kalian telah merusak keluarga ini! Apa yang kalian rencanakan? Kalian telah membunuh istriku, Julio, anakmu sendiri, dan sekarang berencana untuk membunuhku. Sungguh bejat perbuatan kalian. Kalian ingin merebut hartaku? Katakan saja jika itu benar! Kalian bisanya hanya berbuat licik selama Marvel tidak ada di sini. Patut Marvel di sana sendirian, terbebas dari perilaku jahat dan busuk kalian!"

"A-ayah.. apa yang ayah maksud.. kami tidak membunuh siapa-siapa di sini" ucap Tio gugup.

"Kalian pikir ayah bodoh? Ayah sudah tau perbuatan kalian selama Marvel tidak ada. Kamu, Tio! Kamu hanya iri kan bahwa ayah akan meneruskan perusahaan ayah kepada Marvel?"

Tio terbelalak. "Apa? Bahkan aku saja tidak tahu kalo ayah akan meneruskan perusahaan kepada Marvel! Ayah sebegitu teganya ya terhadapku! Aku tidak tahu apa-apa sampai ayah mengatakan semua itu!"

"Busuk sekali perkataanmu"

Nayla mengambil pisau dan mengarahkannya kepada tubuh Gree yang menggunakan wujud Pak Hera. Untung saja Gree bisa bergerak lincah untuk menghindari pisau tajam yang ditujukan kepadanya.

"Lihat, Tio! Nayla ini hanya seorang psikopat sialan! Dan kau mencintainya katamu?! Lihat perlakuan dia yang sebenarnya! Lihat diri dia yang sebenarnya! Dia itu hanya seorang psikopat yang mencoba merebut harta keluarga ini! Aneh sekali Marvel bisa sangat menyayangi psikopat ini. Lebih baik kamu menjauh dari orang ini, Tio!"

Tio memasang muka kebingungan. Semua perkataan yang diucapkan ayahnya sedang diolah kuat-kuat di dalam pikirannya. Hatinya yang mencintai Nayla, dan perkataan ayahnya yang bilang bahwa Nayla ini psikopat matre, beradu di kepala Tio.

Tio tidak tau apa yang harus dia lakukan. Sementara Marvel sedang bersama Julio menuju ke gudang belakang rumahnya itu. Marvel bersusah payah membuka gembok dan rantai yang mengunci gudang tersebut. Karena Marvel tidak memiliki kuncinya, Marvel diminta Julio untuk menghancurkan gemboknya sekalian. Gembok tersebut pun berhasil dirusak oleh Marvel, dan apa yang Marvel temukan di dalam gudang itu benar-benar membuatnya terkejut dan merasakan rasa kesedihan yang sangat kuat, timbul juga perasaan marah, sangat marah bagaikan ada iblis di dalam dirinya.

Marvel menemukan jasad-jasad Julio dan ibu kandungnya di dalam gudang itu. Jasad-jasad itu adalah jasad yang sudah difermentasi, sehingga tidak menimbulkan bau. Anehnya, "Mengapa Tio dan Nayla menyimpannya di dalam gudang? Mereka sungguh tidak mengeluarkan modal untuk kejahatan yang mereka lakukan sendiri!" ucap Marvel seraya menahan air matanya yang hendak menetes deras. Marvel mencoba kuat.

Namun, terdapat bau yang sangat menyengat pula di gudang itu. Baunya terdapat di pojok gudang. Ada jasad baru yang masih berlumuran darah. "Ini.. tubuh ayah..?" Marvel shock. Marvel hampir tidak bisa menahan air matanya yang akan mengucur deras tersebut, Marvel pun menyerah dan membiarkan air matanya mengucur deras di pipinya. Matanya sangat merah dan bengkak walau Marvel belum menangis selama itu. Marvel menemukan tubuh ayahnya yang berlumuran darah, namun, sudah terpotong-potong menjadi bagian-bagian kecil. Marvel melihat dengan jelas. Masih terpasang cincin pernikahan yang indah. Cincin pernikahan ayahnya dengan ibu kandungnya yang sangat cantik.

Marvel menangis sekencang-kencangnya karena sangat sangat terkejut melihat kondisi keluarganya saat ini. Tak lama, Gree datang dan memeluk Marvel dari belakang untuk menenangkannya walaupun itu tidak akan mengurangi kesedihan dan kemarahan yang dirasakan Marvel. Gree turut bersedih melihat kondisi keluarga Wirawan menjadi hancur seperti ini.

Tio. Dia masih bisa diselamatkan asalkan dia bisa jauh-jauh dari Nayla itu. Tio menjadi seperti ini karena Tio terbawa dan terhasut oleh perkataan dan tipu daya Nayla yang layaknya iblis yang sangat jahat.

Gree kembali meninggalkan Nayla dan Tio di ruang makan tadi. Gree membiarkan mereka berdua untuk berbicara sedikit mengenai apa yang telah terjadi. Walaupun Gree tidak bisa memastikan bahwa Tio akan tetap hidup setelah pembicaraannya dengan Nayla.

Hantu Julio pun telah pergi dan menghilang. Nampak bahwa jasad ibu kandungnya Marvel mengeluarkan air mata.

"Marvel, apakah kamu tau nama lengkap ibu kandungmu?" tanya Gree.

"Queen Ainsley Wirawan, kan?" ucap Marvel.

"Nama lahir ibumu, kamu tau?"

"Memang nama lahirnya berbeda dengan namanya yang sekarang?" tanya Marvel dengan nada sendu dan air mata yang sangat membasahi pipinya tersebut.

Gree menghapus air mata yang membasahi pipi Marvel dengan sangat deras itu.

"Maaf Gree, tapi ini waktunya aku tuk balas dendam" ucap Marvel tiba-tiba terbangun dari duduknya.

"Balas dendam? Kepada siapa?!" tanya Gree panik dan khawatir sembari mengejar Marvel yang sudah keluar dari gudang dengan berlari. "Mengapa anak itu larinya cepat sekali!" Kejar Gree.

"Hey, Tio! Kemari kau!" tantang Marvel dengan suara yang berat dan mata yang merah sembari menggeret palu besar di tangannya. Suara geretan itu terdengar dari jauh sebelum Marvel menemukan Tio di matanya. Suara geretan itu sangat mengerikan.

Tio yang panik karena sedang menangani kegilaan Nayla di depannya, ditambah adiknya datang dari arah belakang membawa palu yang sangat besar, yang mempunyai peluang tinggi membuatnya meninggal dalam sekali pukul.

"Ini gila!" ucap Tio yang berusaha kabur ke arah lain rumahnya. Terdapat darah-darah merah gelap membanjiri lantai seluruh rumah. Entah ini hanya ilunasi Tio semata atau memang darah-darah merah gelap ini sungguh ada di lantai rumahnya.

"Oh tidak! Aku harus kabur kemana?! Tidak ada jalan keluar di sini" sialnya Tio salah masuk ke ruangan yang tidak ada pintu keluarnya. Tio terlalu panik sampai dia tidak mengingat denah rumahnya sendiri. Tio masuk ke dapur ART di lantai dasar. "Oh! Ada pintu!" Tio menunjuk pintu kayu yang ada di ujung dapur.

Saat Tio akan membuka pintu itu, suara geretan palu itu terdengar sangat jelas dan suaranya semakin cepat seperti di bawa berlari oleh sang penggenggamnya. "OH TIDAK! PINTU INI TERKUNCI! AKU HARUS BAGAIMANA!" Tio berusaha keras untuk membuka knop pintu itu, berusaha menghancurkan knopnya agar dia bisa keluar dari sana. Tio juga berusaha keras mendobrak pintu itu sekuat tenaga. Namun, usahanya sia-sia karena Marvel yang penuh amarah, Marvel yang Nampak berisi iblis di dalam dirinya sudah ada di depan Tio. Sudah siap untuk membunuh Tio, sang kakaknya yang telah mengkhianati dan menyakiti hatinya. Marvel mengangkat palu besar itu kuat-kuat, namun Gree berhasil sampai tepat pada waktunya. Gree menahan palu besar yang diangkat Marvel untuk membunuh kakaknya dengan cara memukulnya.

"MARVEL!!! SADAR!!! TIDAK SEHARUSNYA KAMU MEMBUNUH KAKAKMU SEPERTI INI!!! MEMBALAS DENDAM TIDAK AKAN MEMBUAT HATI DAN OTAKMU LEGA!!! YANG ADA KAMU AKAN MENYESALINYA SUATU HARI NANTI!! DAN INI SEMUA BUKAN SALAH KAKAKMU SEPENUHNYA, MARVEL!!! SADAR!!!"

Marvel sedikit tersadar dan menjatuhkan palu itu sampai timbul suara berdentang seisi rumah. Suara itu memancing kedatangan si psikopat Nayla. Dia jadi dapat mengetahui keberadaan mereka sekarang.

Marvel terjatuh pasrah dan lemah di hadapan kakaknya.

"Aku.. minta maaf" ucap Marvel kepada Tio.

"TIDAK! TIDAK! KAMU TIDAK PERLU MINTA MAAF. KAKAK YANG MEMINTA MAAF SEPENUHNYA SAMA KAMU, INI SEMUA SALAH KAKAK KARENA TELAH MENGHANCURKAN KELUARGA KITA. KAKAK MINTA MAAF, KAKAK PANTAS MATI DEMI MELUNASKAN RASA BALAS DENDAMMU, MARVEL! SALAH KAKAK JUGA KARENA TELAH MEMBIARKAN NAYLA MASUK KE KEHIDUPAN KITA. MAAF KARENA KAKAK SALAH MEMBAWA CALON IBU TIRI KAMU SAAT ITU!"

"LAGI NGOMONGIN APA SIH?! HAHAHAHAHHAHAHAHA!!!" terdengar suara tawa mengerikan di belakang sana. Marvel, Gree, dan Tio menatap seakan-akan menunggu kedatangan suara yang mengerikan itu.

"KALIAN NGOMONGIN AKU YA????!! HAHAHAHHAHAHA!!!" ucap psikopat gila Nayla.

"MENJAUH KAMU DARI MEREKA, NAYLA!!!" teriak Gree.

"JIKA KAMU MAU MEMBUNUH MEREKA, BUNUH SAJA AKU SEBAGAI GANTINYA!!!" teriak Gree demi melindungi Marvel dan Tio.

"HUH?" Nayla memasang muka psikopat bingung.

"JADI KAMU MAU DIBUNUH JUGA YA???!!!" tanya Nayla seraya menyeringai ngeri.

Nayla membawa semua macam-macam pisau yang ada di meja makan tadi. Semua ada di tubuh Nayla. Karena saku pakaiannya tidak cukup untuk menaruh semua pisau itu. Nayla menusukkan pisau itu ke tubuhnya sendiri.

"Sini kamu maju! Lagipula kamu siapa bisa menyuruhku untuk membunuh kamu dibanding membunuh mereka?!!! Aku bahkan tidak kenal denganmu!! BERANI-BERANINYA!!!" suara tusukan pada tubuh Gree yang sangat memuaskan bagi Nayla itu terdengar seperti sebuah alunan musik yang indah baginya.

"GREEEEEEEEE!!!!!" teriak Marvel yang berhasil membuat seisi rumah penuh dengan teriakan histerisnya.

"Ma-marvel... maafkan aku..." ucap Gree terpatah-terpatah.

"KENAPA KAMU MEMINTA MAAF SIALAN?!!!"

Marvel mengangkat tubuh Gree ke pangkuannya. Marvel menangis namun amarahnya juga tak kalah kuat. Tapi yang bisa Marvel lakukan hanyalah menatap Gree yang sudah terkulai lemas di pangkuannya.

"Marvel... dengarkan aku baik-baik... sebelumnya aku meminta maaf..." ucap Gree terpatah-patah mencoba untuk memberitahu Marvel sesuatu.

"MENGAPA KAMU MEMINTA MAAF, GREE?!!! HARUSNYA AKU YANG MEMINTA MAAF!!!" bentak Marvel yang sudah tidak kuasa menahan air matanya. Air mata Marvel terkucur deras tak terhentikan.

Tio berusaha sendirian untuk melawan Nayla si 'pujaan hatinya' dulu. Tio rela jika harus mati demi memberikan waktu dan ruang untuk Marvel dan Gree berbicara.

"Marvel... ayah dan ibu kandungmu itu sebenarnya... sangat menyayangimu sejak kamu dilahirkan... tidak seharusnya.. kamu.. membenci mereka... dan Tio itu.. sebenarnya.. bukan kakak kandungmu... dia adalah.. anak dari kekasih ayahmu.. sebelum menikah dengan ibumu..."

"Hah? Apa yang kamu katakan?! Jangan berbicara yang aneh-aneh, Gree!"

"Aku.. tidak berbicara yang aneh-aneh.. aku membicarakan fakta..." Marvel terus menangis seraya menatap wajah cantik Gree yang penuh goresan luka dan darah yang mengotori wajah cantiknya itu.

"Kamu.. mau tau siapa aku sebenarnya...?" tanya Greematsa.

"Aku ini.. adalah kekasihmu.. di kehidupanmu yang sebelumnya..."

Marvel terdiam.

"Kamu ga lagi berimajinasi, kan?!" tanya Marvel.

"Mana sempat aku berimajinasi saat keadaanku sedang sekarat begini!" Gree berusaha keras untuk bisa menjitak Marvel untuk yang pertama kali dan terakhir kalinya di kehidupan kali ini.

Setelah mendapat jitakan yang sama sekali tak sakit dari Gree itu, membuat Marvel menangis semakin kencang.

"Kamu masih sama seperti dulu..." ucap Gree.

"Oh iya... alasan aku terkadang seperti jin atau hantu itu karena aku memang diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah di hidupmu yang bahkan kamu saja tidak tau apa itu masalahnya... aku tidak bisa menemanimu selamanya di kehidupanmu yang sekarang... dan sekarang waktunya aku untuk pergi... semoga kamu bahagia selalu... Marvel... aku menyayangimu sedari dulu... sangat sangat menyayangimu... terima.. kasih.. Marvel..." Gree telah meninggalkan seluruh kehidupan Marvel di kehidupannya saat ini.

Gree hanya diberi kesempatan untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi kekasihnya di masa lalu itu.

Marvel menangis sangat keras sehingga satu dunia pun tau apa yang sedang dirasakannya saat ini. Patah hati terberat, tersakit, luka yang sangat dalam yang membuat dunia Marvel hancur seketika. Rasa sakit ketika ditinggalkan, dikhianati oleh keluarga terdekatnya, dan kini muncul seorang gadis dengan wujud dirinya pada awalnya yang mengaku sebagai kekasihnya di masa lalu, dan gadis yang bernama Greematsa ini juga telah meninggalkan kehidupannya saat ini.

Marvel membuka matanya dan melihat kakaknya sendiri telah terbaring di lantai dengan berlumuran darah di sekujur tubuhnya. Tio juga telah meninggalkan kehidupan Marvel yang sekejap ini. Marvel bersandar lemas di dinding, dan si Nayla itu, mendekatinya secara perlahan demi perlahan lalu memotong tubuh Marvel menggunakan gergaji mesin yang entah didapatnya dari mana.

--- TAMAT ---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun