SEMENJAKÂ sore, seluruh murid Jayengresmi sibuk bekerja di pendapa dan di dapur. Mereka yang ada di pendapa membersihkan lantai tanahnya dengan sapu lidi, sebelum tikar-tikar mendong digelar dengan rapi. Mereka yang ada di dapur memasak air dengan dandang dan menggodok ketela pohong dengan kuali. Sebagian mereka lainnya, membersihkan cangkir-cangkir dengan serbet, mempersiapkan teko-teko dan nampan-nampan kayu.
Menyaksikan kesibukan seluruh siswa padepokan Wanatawang, Kinanthi yang baru tuntas melakukan tapa di Sendang Klampeyan itu bertanya-tanya dalam hati. Lantaran tak menemukan jawabannya, ia memasuki pringgitan. Dimana Niken Turida dan Nyi Darsinah tetangga sebelah padepokan itu tengah mempersiapkan sesaji. Melihat sesaji berupa rangkaian nasi kuning, nasi tumpeng, nasi golong, gudangan, ingkung, setangkep pisang raja, jajan pasar, buah-buahan, empat jenang panca warna yang tertatap rapi di atas dua tampah beralas lembaran-lembaran daun jati itu, ia semakin terheran-heran.
"Ibu...."
"Kamu sudah terbangun Kinanthi? Apakah otot bebayu-mu sudah pulih kembali sesudah bersamadi di Sendang Klampeyan?"
"Sudah, Ibu."
"Syukurlah!" Niken Turida tersenyum lega. "Sekarang mandilah! Kenakan pakaian yang bagus!"
"Memangnya ada apa, Ibu?"
"Sudahlah, Kinanthi. Nanti kamu akan tahu sendiri."
Mendengar jawaban Niken Turida, Kinanthi tak lagi bertanya. Sekalipun rasa keingintahuannya tentang alasan kesibukan ibu angkatnya, Nyi Darsinah, dan seluruh siswa Jayengresmi di pendapa dan di dapur semakin mengganggu pikirannya. Terlebih saat ia diminta ibu angkatnya itu untuk segera mandi dan mengenakan pakaian yang bagus. Permintaan aneh yang tak pernah didengar sebelumnya.
"Kenapa kamu hanya berdiri termangu di situ, Kinanthi? Segeralah mandi dan kenakan pakaian yang bagus! Sebentar lagi senja."
Kinanthi mengangguk pelan. Meninggalkan pringgitan. Memasuki kamar pribadinya untuk mengambil kain jarik dan kebayanya yang bagus. Menuju sumur di belakang padepokan. Menimba air untuk dituang ke dalam lubang batang bambu yang menembus salah satu sisi tembok kamar mandi dan mengarah lempang di atas bak batu putih. Sesudah air memenuhi bak, ia memasuki kamar mandi yang berdinding gedeg dan beratap genting itu. Menutup pintunya. Melepas kebaya, kotang, dan jarik yang dikenakannya. Telanjang. Mengguyurkan air dengan gayung siwur dari bak ke seluruh tubuhnya. Seusai mandi, ia kembali memasuki kamar pribadinya. Mematut diri di depan kaca almari kayu.
***
SENJA yang turun menebarkan kabut dari puncak bukit. Bersama hari yang berganti malam, seorang siswa padepokan Wanatawang menyalakan empat lampu yang menggantung di atap pendapa. Sementara dua siswa lainnya mengeluarkan sesaji dari pringgitan. Meletakkannya di tengah ruangan pendapa.
Sehabis 'isya, para sesepuh di desa Wanatawang yang mengenakan blangkon, surjan, dan sarung itu mulai berdatangan di pendapa padepokan. Sebagaimana seluruh siswa Jayengresmi yang telah mengeluarkan hidangan teh panas dan pohong rebus, mereka duduk berkumpul di pendapa. Mereka duduk berjajar merapat pada setiap sisi bawah dinding pendapa itu.
Dari pintu yang menghubungkan ruang pringgitan dan pendapa itu muncullah Guru Jayengresmi, Niken Turida, dan Kinanthi. Anak semata wayang Centhini yang malam itu serupa bidadari turun dari kahyangan Jong Giri Saloka. Mereka duduk berjajar merapat di sisi bawah dinding yang menghadap pintu pendapa.
"Para sepuh yang kami hormati. Seluruh siswa padepokan Wanatawang yang kami kasihi." Jayengresmi membuka sambutan dengan nuansa ramah penuh kewibawaan. "Tak terhingga kebahagiaan kami atas kehadiran para sesepuh di pendapa padepokan Wanatawang. Demikian pula, kami mengucapkan terimakasih pada seluruh siswa yang semenjak sore tadi telah mempersiapkan segala perlengkapan atas terselenggaranya acara syukuran pada malam hari ini."
"Maaf, Nakmas!" Kaum Ki Amat Sentanu memenggal sambutan Jayengresmi. "Sudilah kiranya Nakmas Jayengresmi menjelaskan pada kami! Acara syukuran malam ini ditujukan pada siapa atau karena nadar apa?"
"Paman Sentanu...." Jayengresmi mengerlingkan pandangannya ke arah Kinanthi yang duduk bersimpuh di sampingnya. "Acara syukuran ini kami maksudkan sebagai ucapan terima kasih pada Gusti Kang Hamurbeng Jagad atas tersempurnanya laku tapa anak kami Kinanthi di sendang Klampeyan."
Para sesepuh dan seluruh siswa sontak mengarahkan wajahnya pada Kinanthi yang duduk di antara Jayengresmi dan Niken Turida itu. Sejak itulah, Kinanthi mengetahui alasan ibu angkatnya yang memintanya untuk segera mandi dan mengenakan pakaian bagus sore tadi. Alasan mengapa seluruh siswa padepokan Wanatawang sibuk di pendapa dan di dapur sebelum hingga selepas senja. Dalam hati, ia semakin menyayangi Jayengresmi dan Niken Turida. Kedua orang tua angkatnya yang telah menganggapnya sebagai darah daging mereka sendiri.
"Paman Sentanu!" Jayengresmi memecah kelengangan sejenak di ruangan pendapa. "Begitulah maksud acara malam ini. Karenanya, aku mohon pada Paman Sentanu untuk mengabulkan nadar kami itu!"
Ki Amat Sentanu sejenak merapikan surjannya. Menguraikan makna lambang dari bagian-bagian sesaji. Melafalkan doa yang diiringin kata 'amin' oleh para sesepuhlain, seluruh siswa, Jayengresmi, Niken Turida, dan Kinanthi. Seusai doa dilafalkan, mereka bersantap bersama. Selang beberapa saat, sesaji yang tertata di atas dua tampah itu ludhes tak tersisa.
***
WAKTU merayap. Para sesepuh desa Wanatawang itu berpamitan pada Jayengresmi, Niken Turida, dan Kinanthi untuk pulang ke rumah masing-masing. Selepas para sesepuh dari pendapa itu, Jayengresmi kembali duduk bersila di tempatnya semula. Menyapukan pandangan lembut ke seluruh wajah siswanya. "Para siswa. Aku meminta pada kalian untuk tetap berjaga di ruangan pendapa ini! Karena malam ini, aku dan kalian akan mendengar cerita dari Kinanthi tentang apa yang diperoleh selama melakukan tapa di sendang Klampeyan."
"Ayah...." Kinanthi bertanya pada Jayengresmi dengan penuh santun. "Apakah hasil dari laku tapa seseorang pantas diceritakan pada sesamanya? Apakah hal itu tidak tabu?"
"Tidak, anakku. Selama kamu tidak menambahi dan mengurangi atas apa yang kamu peroleh selama menempuh laku tapa itu. Bukankah berbagi sesuatu yang bermaslahat dengan sesamanya adalah tindakan mulia?"
"Baiklah, Ayah." Kinanthi menarik napas panjang sebelum dihembuskannya kuat-kuat. "Seluruh siswa padepokan Wanatawang yang budiman. Tiada yang pantas aku ceritakan pada kalian selain pesan sukma Syeh Amongraga yang tertangkap jaring indera ke enamku. Beliau berpesan, agar aku selalu menyampaikan kandungan kitab yang pernah ditulisnya pada orang-orang di sekitar hidupku. Apakah kalian bersedia mendengarnya hingga tuntas?"
"Sanggup." Seluruh siswa menjawab dengan serempak. "Kisahkan segera, Kinanthi! Kami akan menyimaknya."
Kinanthi beranjak dari ruangan pendapa. Memasuki ruang pribadinya untuk mengambil kitab yang ditulis Syeh Amongraga pada beberapa tahun silam. Sekembali di hadapan seluruh siswa, Jayengresmi, dan Niken Turida; ia membuka halaman pertama kitab tentang Prahara di Kasunanan Giri.
***
ORANG-ORANG Mataram bernapas lega, manakala pageblug yang menewaskan ribuan jiwa itu telah lenyap serupa debu tersapu angin kencang. Mereka menangkap langit Mataram di masa pemerintahan Sultan Agung Ing Ngalaga Senapati Abdurahman itu mulai memercikkan cahaya dari celah arakan awan.
Di pagelaran agung Mataram, Sultan Agung yang duduk di dampar kencana itu diapit dua permaisurinya -- Ratu Wetan dan Ratu Kilen. Dihadap seluruh punggawa -- Patih Singaranu, Tumenggung Alap Alap, dan Ki Juru Kiting. Dihadap kedua putranya -- Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari.
"Kakang Singaranu...." Sultan Agung mengawali sabda. "Kita ketahui bahwa Mataram telah dapat menaklukkan Madura, Surabaya, Wirasaba, Lasem, Pasuruhan, dan daerah-daerah kecil lainnya. Kita telah dapat mengatasi pemberontakan para ulama Tembayat serta orang-orang Sumedang dan Ukur. Bahkan, kita telah mampu mengatasi pemberontakan Giri Kedaton."
"Benar, Paduka." Patih Singaranu menegaskan kebenaran sabda Sultan Agung. "Kemudian rencana apa yang hendak Paduka sabdakan pada hamba dan seluruh punggawa di pagelaran ini?"
"Sayap kekuasaan Mataram di wilayah timur harus dikembangkan, Paman Singaranu. Kita harus menundukkan Kasunanan Giri yang kini berada di bawah kekuasaa Giri Parapen. Bagaimana pendapatmu?"
"Hamba setuju, Paduka. Karena dengan menundukkan Giri, Paduka akan semakin kokoh sebagai raja di Tanah Jawa." Patih Singaranu tersenyum kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Lantas siapakah punggawa yang akan dipercaya sebagai senapati, Paduka?"
Sultan Agung terdiam. Namun dari wajahnya terbaca bahwa sang raja tengah berpikir keras untuk memilih orang yang tepat sebagai senapati agung Mataram.
"Ampun, Paduka! Bila Paduka menghendaki hamba yang telah renta ini untuk dijagokan di medan laga, Hamba siap melaksanakannya."
"Kakang Singaranu!"
"Ya, Paduka."
"Aku tak akan menugaskan Kakang untuk menaklukkan Giri."
"Apakah Paduka sudah tak percaya lagi dengan kemampuan hamba berperang di medan laga?"
"Bukan begitu, Kakang. Karena aku tak ingin jauh-jauh dengan Kakang Singaranu. Pemikiran-pemikian Kakang Singaranu selalu aku butuhkan untuk mewujudkan rencana besar berikutnya. Menaklukkan VOC yang telah mencengkeramkan kuku-kuku harimau-nya di Batavia."
"Lantas siapa senapati yang akan Paduka percaya untuk menaklukkan Giri?"
"Ehm...." Sultan Agung mengalihkan pandangannya dari Patih Singaranu ke arah Tumenggung Alap Alap. "Kakang Alap Alap!"
"Ya, Paduka."
"Sebelum fajar pecah di ufuk timur, bawalah pasukan Mataram secukupnya untuk menyerbu Giri! Bawalah serta kedua puteraku -- Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari -- sebagai senapati pengapit kanan dan kiri!"
"Titah Paduka hamba laksanakan."
Selepas Tumenggung Alap Alap, Pangeran Pekik, dan Ratu Pandansari; pisowanan di pagelaran keraton Mataram itu dibubarkan. Sultan Agung, Ratu Kilen, dan Ratu Wetan memasuki kedaton. Patih Singaranu, dan Ki Juru Kiting berpulang ke tempat tinggalnya masing-masing.
***
DERAP kuda pasukan Mataram di bawah komando Tumenggung Alap Alap memecah pagi buta. Membangunkan orang-orang desa Pleret yang masih tertidur pulas. Mengepulkan debu musim kemarau di sepanjang perjalanan siang. Berderap, terus berderap. Seolah kuda-kuda itu tak mengenal rasa lelah selama berhari-hari melintasi desa demi desa. Keluar-masuk hutan. Mendaki dan menuruni perbukitan. Menyeberangi sungai dengan air sebatas paha.
Pada hari ke tujuh. Pasukan Mataram telah mencapai tepian tlatah Kasunanan Giri. Ambang senja, pasukan itu menghentikan langkah kuda-kuda mereka di kaki Gunung Giri yang tengah menurunkan kabut dari puncak bukit. Mereka membangun tenda-tenda. Membuat api unggun. Beristirahat malam sebelum fajar buta kembali membangunkan mereka.
Mega warna tembaga membentang di kaki langit timur. Pasukan Mataram yang telah terbangun itu kembali melajukan kuda mereka. Menuju istana Kasunanan Giri yang terbangun megah di atas bumi Sidamukti. Mendekati benteng istana, pasukan itu pecah menjadi tiga. Pasukan pertama di bawah pimpinan Tumenggung Alap-Alap menyerbu dari sisi depan. Pasukan kedua di bawah pimpinan Pangeran Pekik menyerbu dari sisi kiri. Pasukan ketiga di bawah pimpinan Ratu Pandansari menyerbu dari sisi kanan.
Ketiga pasukan Mataram yang telah berhasil melumpuhkan prajurit-prajurit jaga di pintu benteng itu telah memasuki alun-alun Kasunanan Giri. Dalam sekejap, pasukan Mataram mendapatkan perlawanan dari pasukan Giri. Karena tak siap untuk melakukan pertempuran, pasukan Giri dapat dilumpuhkan pasukan Mataram hanya dalam beberapa gebrakan. Mayat-mayat mereka berserakan di alun-alun. Mayat-mayat dengan kepala terpisah dari raga. Mayat-mayat dengan dada berlubang hingga menembus punggungnya. Mayat-mayat dengan usus menjurai keluar dari dalam perutnya. Darah menggenangi alun-alun.
Di atas gigir kuda, Tumenggung Alap Alap tampak pongah sembari mengacung-acungkan keris ligan ke langit. Sebelum ia memerintahkan pada prajurit untuk memasuki kedaton, Sunan Giri Parapen yang duduk di gigir kuda putih dengan pedang di tangan kanan itu menghadang di depan pintu gerbang pagelaran.
"Hei, Parapen!" Tumenggung Alap Alap berteriak lantang. "Akhirnya kamu muncul juga. Ketimbang tewas di tanganku, sebaiknya kamu menyerahkan diri saja! Tunduk di bawah kaki Paduka Sultan Agung! Menyerahkan Giri sebagai bawahan Mataram!"
"Cis!" Sunan Giri Parapen meludah ke tanah. "Jangan sombong, Alap Alap! Bila aku tunduk pada Mataram, maka tidak akan tenang sukma ayah dan kakekku yang telah bersemayam di alam keabadian. Seluruh orang di tanah Jawa akan mentertawai dan menudingku sebagai banci. Aku ini lelaki tulen yang memilih mati di medan laga ketimbang hidup sebagai boneka Sultan Agung."
"Cukup, Parapen!" Tumenggung Alap Alap membentak sekeras guntur yang sontak meledak di langit Giri. "Sekali lagi. Kamu bersedia menyerah pada Mataram atau tidak?"
"Ha..., ha..., ha...." Sunan Giri Parapen tertawa terbahak-bahak di atas gigir kuda. "Apakah kamu sudah tuli, Alap Alap? Sekali lagi. Bukalah kedua telingamu lebar-lebar! Lebih baik aku mati di medan laga sebagai ksatria ketimbang hidup sebagai boneka Sultan Agung."
Dengan amarah yang berkobar hingga ubun kepala, Tumenggung Alap Alap menerjangkan kudanya ke arah kuda putih Sunan Giri Parapen. Secepat kilat, penguasa Giri itu mengerlitkan kudanya sembari menyambarkan pedangnya ke pinggang Alap Alap. Baju zirah senapati Mataram itu robek bersama darah yang mengucur dari lukanya.
Menyaksikan Tumenggung Alap Alap terluka, Ratu Pandansari menerjangkan kudanya tepat di depan kuda Sunan Giri Parapen. Dengan pedang ligan di tangan, puteri Sultan Agung itu segera melayani krida sang lawan. Sementara prajurit-prajurit Mataram yang menyaksikan laga kedua senapati perang itu hanya terperangah. Takjub pada gerakan sepasang pedang yang menyerupai gerakan kilat itu. Berdentingan keras di udara hingga memekakkan telinga.
Pertarungan Sunan Giri Parapen dan Ratu Pandansari seolah tak mengenal akhir. Mereka tampak memiliki kepiawaian dalam olah pedang. Namun saat kuda penguasa Giri itu kelelahan, Ratu Pandansari mengerahkan kekuatan batinnya. Menebaskan pedangnya ke pedang lawan. Hingga pedang yang sontak patah itu terlempar bersama terjungkalnya Giri Parapen dari gigir kuda.
Dari gigir kuda, Ratu Pandansari mengarahkan pedangnya ke arah wajah Giri Parapen yang terjatuh duduk di tanah. "Katakan, hei Parapen! Bahwa kamu telah menyerah pada Mataram!"
"Sabda pendhita ratu, tan bisa wola-wali. Lebih baik aku mati ketimbang hidup sebagai boneka Sultan Agung. Bunuhlah aku, Pandansari! Sebagaimana kamu telah membunuh ayahku."
"Pantang bagiku untuk membunuh seorang senapati yang tak lagi bersenjata." Â
"Namun sampai bumi ini berakhir dilipat Tuhan, aku tak pernah menyerah pada Mataram!"
Mendengar pernyataan Sunan Giri Parapen, Ratu Pandansari memerintahkan pada sebagian prajurit untuk merangketnya. Tak lama kemudian; Ratu Pandansari yang tanpa disertai Pangeran Pekik, Tumenggung Alap Alap, dan seorang pun prajurit itu memasuki istana. Ia berhasrat menangkap ketiga putera Sunan Giri Parapen yang dikhawatirkan bakal mewarisi takhta ayahnya. Namun usahanya berakhir sia-sia. Lantaran ketiga putera Sunan Giri -- Jayengresmi, Jayengsari, dan Niken Rancangkapti -- telah meninggalkan istana selagi terjadi pertempuran di alun-alun.
"Gusti Ayu...." Tumenggung Alap Alap menyaksikan wajah Ratu Pandansari yang tampak berawan. "Tampaknya Gusti Ayu Pandansari tengah kecewa?"
"Benar, Paman. Ketiga putera Giri telah lolos dari istana."
"Kita harus mengejarnya, Gusti Ayu."
"Harus, Paman. Tapi sebaiknya, Paman Alap-Alap dan Kangmas Pekik pulang saja ke Mataram untuk menyerahkan Sunan Giri Parapen di hadapan Kanjeng Rama Sultan. Biarlah aku sendiri yang mengejar ketiga putera Sunan Giri Parapen itu."
"Jangan Diajeng!" Pangeran Pekik mencegah kemauan Ratu Pandansari. "Sebaiknya kita pulang dulu ke Mataram."
Tanpa sepatah kata yang meluncur dari setangkup bibirnya yang mawar, Ratu Pandansari menyeblakkan kendali kuda. Secepat kilat, kuda itu melaju meninggalkan alun-alun Kasunanan Giri. Menyaksikan sikap adiknya yang keras kepala itu, Pangeran Pekik hanya menggeleng-gelengkan kepala. Demikian pula, Tumenggung Alap Alap dan seluruh prajurit Mataram.
***
MATAHARI telah jauh bergeser dari titik puncak kubah langit. Pasukan Mataram yang telah berhasil menangkap Sunan Giri Parapen itu telah meninggalkan alun-alun. Melajukan kuda-kuda mereka menuju Mataram. Setiba di Mataram; Pangeran Pekik Tumenggung Alap Alap, dan beberapa prajurit menghadapkan Sunan Giri Parapen pada Sultan Agung di sitihinggil.
"Kakang Alap-Alap."
"Ya, Paduka."
"Bukankah seorang yang bersimpuh di sampingmu itu Giri Parapen?"
"Benar, Paduka."
"Kenapa tangannya terikat dengan tambang? Bukan lawe putih?"
"Ia tak mau menyerahkan diri pada Paduka Sultan. Baginya lebih baik mati ketimbang tunduk pada Mataram."
"Benarkah demikian, Giri Parapen?"
"Pertanyaanmu telah mengandung jawabannya, Sultan Agung."
"Baiklah!" Wajah Sultan Agung serupa lempengan tembaga terbakar. "Prajurit! Masukkan Parapen ke dalam penjara!"
"Perintah Paduka, hamba laksanakan."
Dengan wajah yang masih terbakar api amarah, Sultan Agung mengarahkan pandangan matanya pada Sunan Giri Parapen yang diseret kedua prajurit keluar dari sitihinggil untuk dimasukkan ke dalam penjara. Tak lama kemudian, pandangannya diarahkan pada Tumenggung Alap Alap. "Hei.... Kakang Alap Alap! Ada apa dengan pinggangmu yang terbalut kain dan berbecak darah kering itu?"
"Hamba terluka saat menandingi krida Giri Parapen, Paduka."
"Jadi kamu tak mampu menghadapinya?"
"Hamba masih mampu menghadapi Giri Parapen, Paduka. Namun sebelum hamba bergerak, Gusti Ayu Pandasari telah bergerak untuk menghadapinya. Puteri Paduka sendiri yang dapat menaklukkan Giri Parapen."
"Pandansari yang dapat menaklukkan Giri Parapen?"
"Benar, Paduka."
"Lantas sekarang dimana puteriku itu? Aku ingin memberikan anugerah kepadanya."
"Mohon ampun, Rama Sultan." Pangeran Pekik menggeser duduknya ke depan hingga mendekati singgasana Sultan Agung. "Seusai Sunan Giri Parapen dapat ditaklukkan, Diajeng Pandansari memasuki istana untuk menangkap ke tiga putera Giri. Namun, mereka telah lolos dari istana...."
"Lantas?"
"Tanpa bisa hamba cegah, Diajeng Pandansari memburu ketiga putera Giri itu."
"Pekik!"
"Ya, Ramanda Sultan."
"Kamu telah bersalah besar. Karenanya, tebuslah kesalahanmu itu dengan membawa Pandansari pulang ke Mataram! Jangan sekali-kali menghadapku, sebelum kamu membawa pulang adikmu itu!"
"Baiklah Rama, hamba mohon pamit."
"Segera pergi! Temukan dan bawalah pulang adikmu!" Sultan Agung memalingkan wajahnya ke arah Tumenggung Alap Alap. "Kakang!"
"Ya, Paduka."
"Sebarkan telik sandike seluruh tanah Jawa! Tangkap putera mahkota Giri!"
"Titah Paduka hamba laksanakan."
Selepas Tumenggung Alap Alap dari sitihinggil, Sultan Agung memasuki kedaton. Seusai duduk di kursi kayu jati berukir, ia terseret ke dalam perasaan tak menentu. Di satu sisi, ia merasa bahagia. Karena Kasunanan Giri telah dapat ditaklukkan. Di sisi lain, ia berduka. Karena Ratu Pandansari tak ikut kembali ke Mataram. Di sisi lainnya lagi, ia kecewa. Karena putera mahkota Giri dapat lolos dari tangkapan. Berulang kali, ia menghela napas panjang.
-Sri Wintala Achmad-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI