"Cis!" Sunan Giri Parapen meludah ke tanah. "Jangan sombong, Alap Alap! Bila aku tunduk pada Mataram, maka tidak akan tenang sukma ayah dan kakekku yang telah bersemayam di alam keabadian. Seluruh orang di tanah Jawa akan mentertawai dan menudingku sebagai banci. Aku ini lelaki tulen yang memilih mati di medan laga ketimbang hidup sebagai boneka Sultan Agung."
"Cukup, Parapen!" Tumenggung Alap Alap membentak sekeras guntur yang sontak meledak di langit Giri. "Sekali lagi. Kamu bersedia menyerah pada Mataram atau tidak?"
"Ha..., ha..., ha...." Sunan Giri Parapen tertawa terbahak-bahak di atas gigir kuda. "Apakah kamu sudah tuli, Alap Alap? Sekali lagi. Bukalah kedua telingamu lebar-lebar! Lebih baik aku mati di medan laga sebagai ksatria ketimbang hidup sebagai boneka Sultan Agung."
Dengan amarah yang berkobar hingga ubun kepala, Tumenggung Alap Alap menerjangkan kudanya ke arah kuda putih Sunan Giri Parapen. Secepat kilat, penguasa Giri itu mengerlitkan kudanya sembari menyambarkan pedangnya ke pinggang Alap Alap. Baju zirah senapati Mataram itu robek bersama darah yang mengucur dari lukanya.
Menyaksikan Tumenggung Alap Alap terluka, Ratu Pandansari menerjangkan kudanya tepat di depan kuda Sunan Giri Parapen. Dengan pedang ligan di tangan, puteri Sultan Agung itu segera melayani krida sang lawan. Sementara prajurit-prajurit Mataram yang menyaksikan laga kedua senapati perang itu hanya terperangah. Takjub pada gerakan sepasang pedang yang menyerupai gerakan kilat itu. Berdentingan keras di udara hingga memekakkan telinga.
Pertarungan Sunan Giri Parapen dan Ratu Pandansari seolah tak mengenal akhir. Mereka tampak memiliki kepiawaian dalam olah pedang. Namun saat kuda penguasa Giri itu kelelahan, Ratu Pandansari mengerahkan kekuatan batinnya. Menebaskan pedangnya ke pedang lawan. Hingga pedang yang sontak patah itu terlempar bersama terjungkalnya Giri Parapen dari gigir kuda.
Dari gigir kuda, Ratu Pandansari mengarahkan pedangnya ke arah wajah Giri Parapen yang terjatuh duduk di tanah. "Katakan, hei Parapen! Bahwa kamu telah menyerah pada Mataram!"
"Sabda pendhita ratu, tan bisa wola-wali. Lebih baik aku mati ketimbang hidup sebagai boneka Sultan Agung. Bunuhlah aku, Pandansari! Sebagaimana kamu telah membunuh ayahku."
"Pantang bagiku untuk membunuh seorang senapati yang tak lagi bersenjata." Â
"Namun sampai bumi ini berakhir dilipat Tuhan, aku tak pernah menyerah pada Mataram!"
Mendengar pernyataan Sunan Giri Parapen, Ratu Pandansari memerintahkan pada sebagian prajurit untuk merangketnya. Tak lama kemudian; Ratu Pandansari yang tanpa disertai Pangeran Pekik, Tumenggung Alap Alap, dan seorang pun prajurit itu memasuki istana. Ia berhasrat menangkap ketiga putera Sunan Giri Parapen yang dikhawatirkan bakal mewarisi takhta ayahnya. Namun usahanya berakhir sia-sia. Lantaran ketiga putera Sunan Giri -- Jayengresmi, Jayengsari, dan Niken Rancangkapti -- telah meninggalkan istana selagi terjadi pertempuran di alun-alun.