***
SENJA yang turun menebarkan kabut dari puncak bukit. Bersama hari yang berganti malam, seorang siswa padepokan Wanatawang menyalakan empat lampu yang menggantung di atap pendapa. Sementara dua siswa lainnya mengeluarkan sesaji dari pringgitan. Meletakkannya di tengah ruangan pendapa.
Sehabis 'isya, para sesepuh di desa Wanatawang yang mengenakan blangkon, surjan, dan sarung itu mulai berdatangan di pendapa padepokan. Sebagaimana seluruh siswa Jayengresmi yang telah mengeluarkan hidangan teh panas dan pohong rebus, mereka duduk berkumpul di pendapa. Mereka duduk berjajar merapat pada setiap sisi bawah dinding pendapa itu.
Dari pintu yang menghubungkan ruang pringgitan dan pendapa itu muncullah Guru Jayengresmi, Niken Turida, dan Kinanthi. Anak semata wayang Centhini yang malam itu serupa bidadari turun dari kahyangan Jong Giri Saloka. Mereka duduk berjajar merapat di sisi bawah dinding yang menghadap pintu pendapa.
"Para sepuh yang kami hormati. Seluruh siswa padepokan Wanatawang yang kami kasihi." Jayengresmi membuka sambutan dengan nuansa ramah penuh kewibawaan. "Tak terhingga kebahagiaan kami atas kehadiran para sesepuh di pendapa padepokan Wanatawang. Demikian pula, kami mengucapkan terimakasih pada seluruh siswa yang semenjak sore tadi telah mempersiapkan segala perlengkapan atas terselenggaranya acara syukuran pada malam hari ini."
"Maaf, Nakmas!" Kaum Ki Amat Sentanu memenggal sambutan Jayengresmi. "Sudilah kiranya Nakmas Jayengresmi menjelaskan pada kami! Acara syukuran malam ini ditujukan pada siapa atau karena nadar apa?"
"Paman Sentanu...." Jayengresmi mengerlingkan pandangannya ke arah Kinanthi yang duduk bersimpuh di sampingnya. "Acara syukuran ini kami maksudkan sebagai ucapan terima kasih pada Gusti Kang Hamurbeng Jagad atas tersempurnanya laku tapa anak kami Kinanthi di sendang Klampeyan."
Para sesepuh dan seluruh siswa sontak mengarahkan wajahnya pada Kinanthi yang duduk di antara Jayengresmi dan Niken Turida itu. Sejak itulah, Kinanthi mengetahui alasan ibu angkatnya yang memintanya untuk segera mandi dan mengenakan pakaian bagus sore tadi. Alasan mengapa seluruh siswa padepokan Wanatawang sibuk di pendapa dan di dapur sebelum hingga selepas senja. Dalam hati, ia semakin menyayangi Jayengresmi dan Niken Turida. Kedua orang tua angkatnya yang telah menganggapnya sebagai darah daging mereka sendiri.
"Paman Sentanu!" Jayengresmi memecah kelengangan sejenak di ruangan pendapa. "Begitulah maksud acara malam ini. Karenanya, aku mohon pada Paman Sentanu untuk mengabulkan nadar kami itu!"
Ki Amat Sentanu sejenak merapikan surjannya. Menguraikan makna lambang dari bagian-bagian sesaji. Melafalkan doa yang diiringin kata 'amin' oleh para sesepuhlain, seluruh siswa, Jayengresmi, Niken Turida, dan Kinanthi. Seusai doa dilafalkan, mereka bersantap bersama. Selang beberapa saat, sesaji yang tertata di atas dua tampah itu ludhes tak tersisa.
***