"Ya, Paduka."
"Sebelum fajar pecah di ufuk timur, bawalah pasukan Mataram secukupnya untuk menyerbu Giri! Bawalah serta kedua puteraku -- Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari -- sebagai senapati pengapit kanan dan kiri!"
"Titah Paduka hamba laksanakan."
Selepas Tumenggung Alap Alap, Pangeran Pekik, dan Ratu Pandansari; pisowanan di pagelaran keraton Mataram itu dibubarkan. Sultan Agung, Ratu Kilen, dan Ratu Wetan memasuki kedaton. Patih Singaranu, dan Ki Juru Kiting berpulang ke tempat tinggalnya masing-masing.
***
DERAP kuda pasukan Mataram di bawah komando Tumenggung Alap Alap memecah pagi buta. Membangunkan orang-orang desa Pleret yang masih tertidur pulas. Mengepulkan debu musim kemarau di sepanjang perjalanan siang. Berderap, terus berderap. Seolah kuda-kuda itu tak mengenal rasa lelah selama berhari-hari melintasi desa demi desa. Keluar-masuk hutan. Mendaki dan menuruni perbukitan. Menyeberangi sungai dengan air sebatas paha.
Pada hari ke tujuh. Pasukan Mataram telah mencapai tepian tlatah Kasunanan Giri. Ambang senja, pasukan itu menghentikan langkah kuda-kuda mereka di kaki Gunung Giri yang tengah menurunkan kabut dari puncak bukit. Mereka membangun tenda-tenda. Membuat api unggun. Beristirahat malam sebelum fajar buta kembali membangunkan mereka.
Mega warna tembaga membentang di kaki langit timur. Pasukan Mataram yang telah terbangun itu kembali melajukan kuda mereka. Menuju istana Kasunanan Giri yang terbangun megah di atas bumi Sidamukti. Mendekati benteng istana, pasukan itu pecah menjadi tiga. Pasukan pertama di bawah pimpinan Tumenggung Alap-Alap menyerbu dari sisi depan. Pasukan kedua di bawah pimpinan Pangeran Pekik menyerbu dari sisi kiri. Pasukan ketiga di bawah pimpinan Ratu Pandansari menyerbu dari sisi kanan.
Ketiga pasukan Mataram yang telah berhasil melumpuhkan prajurit-prajurit jaga di pintu benteng itu telah memasuki alun-alun Kasunanan Giri. Dalam sekejap, pasukan Mataram mendapatkan perlawanan dari pasukan Giri. Karena tak siap untuk melakukan pertempuran, pasukan Giri dapat dilumpuhkan pasukan Mataram hanya dalam beberapa gebrakan. Mayat-mayat mereka berserakan di alun-alun. Mayat-mayat dengan kepala terpisah dari raga. Mayat-mayat dengan dada berlubang hingga menembus punggungnya. Mayat-mayat dengan usus menjurai keluar dari dalam perutnya. Darah menggenangi alun-alun.
Di atas gigir kuda, Tumenggung Alap Alap tampak pongah sembari mengacung-acungkan keris ligan ke langit. Sebelum ia memerintahkan pada prajurit untuk memasuki kedaton, Sunan Giri Parapen yang duduk di gigir kuda putih dengan pedang di tangan kanan itu menghadang di depan pintu gerbang pagelaran.
"Hei, Parapen!" Tumenggung Alap Alap berteriak lantang. "Akhirnya kamu muncul juga. Ketimbang tewas di tanganku, sebaiknya kamu menyerahkan diri saja! Tunduk di bawah kaki Paduka Sultan Agung! Menyerahkan Giri sebagai bawahan Mataram!"