Sering kali orang awam heran dalam satu dapil DPT tidak jauh berbeda tapi kuota kursi sangat jauh, misal di dapil A DPT ada sekitar 2.000.000 kuota kursi 6 kursi, sedangkan di dapil B hanya lebih sedikit misalnya 2.300.000 DPT tapi kuota kursi 10 kursi. Hal ini sudah biasa, sebab di dapil B kemungkinan hanya 60% yang punya hak pilih penduduknya, sedangkan di dapil A sekitar 75% yang punya hak pilih.Â
Terkadang juga dalam satu kabupaten A hanya ada 250.000 DPT total kursi di DPRD ada 40 kursi sedangkan di kabupaten B ada 650.000 ada 50 kursi DPRD. Tentunya jauh harga satu kursi di kabupaten A dan B yang jika dirata-rata harga satu kursi kabupaten A hanya 6.250 dan kabupaten B harga satu kursi jauh lebih mahal dua kali lipat yakni 13.000 suara.Â
Sekali lagi ini bukan soal DPT tapi banyaknya penduduk di kabupaten A dan B sebenarnya sama secara proporsional tapi yang punya hak pilih di dapil A mungkin hanya 55% sedangkan di kabupaten B yang punya hak pilih lebih dari 75%.
Kembali pada pembahasan diatas, kuota kursi menurut semua penduduk di dapil tersebut, bukan menurut penduduk yang punya hak pilih/DPT. Tidak perlu membandingkan antar kabupaten tapi antar dapil satu kabupaten saja, misalnya di pemilu legislatif dalam suatu kabupaten di dapil 1 ada sekitar 150.000 DPT kuota 10 kursi DPRD, sedangkan di dapil 2 ada sekitar 210.000 DPT tapi juga 10 kursi kuotanya.
Sekali lagi sebab penduduknya pasti sama secara proporsional atau tidak beda jauh tapi yang punya hak pilih berbeda jauh di dapil 1 dan dapil 2.
Memahami itu bagi saya bukan suatu masalah sebab sudah benar secara prinsip proporsional yakni seluruh penduduk diwakili oleh anggota legislatif, mau itu baru lahir tidak punya hak pilih secara peraturan atau yang punya hak pilih, selama itu penduduk negara punya hak yang sama untuk diwakili kekuasaannya mengatur kebutuhan politiknya.
Apakah pemerintahan negara hanya mengatur kebutuhan orang yang punya hak pilih, bagaimana yang masih di kandungan mau lahir atau masih di sekolah dasar dan remaja sekolah menengah, prinsipnya pemerintahan negara mengatur semua kebutuhan politik warganya makanya harus proporsional sesuai penduduk bukan DPT.
Jadi bukan soal besar-kecil DPT yang tentunya berpengaruh pada sumber daya yang berbeda untuk mendapatkan suara setiap dapil atau sangat berpengaruh terhadap harga satu kursi, hal itu sudah menjadi resiko berapa sumber daya yang diperlukan setiap dapil untuk harga satu kursi, tidak perlu jadi kecemburuan disana sedikit kok disini banyak.Â
DPT setiap dapil untuk DPR RI rata-rata 335.354 suara, bisa lebih dari itu dan ada yang hanya 250.000 DPT rata-rata dalam satu dapil. Tingkat kehadiran pemilih sekitar 82% rata-rata nasional dan dari itu suara tidak sah rata-rata sekitar 10%, atau secara nasional ada sekitar 72% suara sah. Hal ini menjadi penting, sebab sebuah partai untuk lolos masuk ke parlemen harus punya 4% suara nasional dari suara sah tersebut.
Itu mengacu pada Pemilu legislatif 2019, dimana suara sah 139.970.810 (72%) dengan 158.012.506 (82%) yang menggunakan suara atau tingkat kehadiran, dari total 192.828.520 DPT. Artinya untuk lolos parliamentary threshold 4% dari suara sah itu minimal partai punya suara nasional minimal 5.598.832 suara dari suara sah nasional tersebut.Â
Tidak peduli partai baru atau lama jika tidak punya suara sah sekitar 5.598.832 secara akumulasi senasional maka tidak akan di ikutkan pendistribusian kursi DPR RI, tidak peduli di satu dapil suara cukup untuk dapat memenangkan 5 kursi misalnya tapi secara akumulasi suara nasional tidak mencapai 4% dari suara sah nasional tidak akan diikutsertakan dalam penghitungan dan pembagian (distribusi) kursi.Â