Tahun ajaran baru dimulai. Aku resmi menjadi salahsatu murid kelas VII B. kelasku ini terletak di lantai dua. Kelasnya lebih kecil dibandingkan dengan kelasku saat di SD, jumlah siswa per kelas nya 40 orang. Anak-anak lain sepertinya sudah saling kenal. Ya,
tentu saja, karena mereka kebanyakan berasal dari sekolah yang sama. Hanya aku sendiri yang berasal dari madrasah ibtidaiyyah. Dari sekian banyak murid, siswi yang memakai kerudung hanya dua orang. Aku lebih banyak diam dan memperhatikan kelakuan teman- teman. Kadang, ada satu atau dua orang teman yang mengajak kenalan, aku mengangguk dan tersenyum pada mereka.
"Assalamualaikum, boleh aku duduk disini?" sapa seorang anak perempuan. Dia cantik, kulitnya putih. Sepertinya, dia juga tidak punya banyak teman. Aku tersenyum, lalu mengangguk dengan cepat.
"Waalaikum salam, namaku Faza. Kamu, siapa?" "Aku Sarah..." jawabnya.
Kami kemudian ngobrol tentang asal sekolah dan tempat tinggal masing-masing. Bagiku, ini teman yang pertama di sekolah baru ini. Adzan Dzuhur
berkumandang. Aku  bergegas  mengemasi  barang- barangku.
"Sarah, aku harus sholat. Kita cari mushola, yuk!" "Tadiakusempatbertanyakekakakkelas, dimana musholanya. Ternyata ada di seberang kelas
kita, Za. Yuk, aku tau tempatnya."
Aku dan Sarah segera menuju mushola. Ternyata, sudah banyak anak-anak lain yang mau sholat juga. Mushola ini kecil, ada di lantai dua. Dibawahnya, ada tempat wudhu dan kantin sekolah. Beda banget dengan tempat sholat di sekolahku yang dulu. Ada masjid besar dan megah, yang letaknya tepat di tengah kompleks sekolahan. Aaah, jangan membandingkan dengan yang lama, terima apa adanya, Zaaa. Aku lagi-lagi bicara sendiri di dalam hati.
Sejak hari itu, Sarah menjadi teman terbaikku. Selain dia, ada lima orang teman lainnya yang juga baik, tapi mereka beda kelas. Kami kenal satu sama lain, karena sama-sama menjadi anggota ekskul kerohanian di sekolah ini.
*****
Suasana kelas  ribut  banget. Guru  Bahasa  Indonesia yang seharusnya mengajar, tidak datang karena sakit.  Sebenarnya,  ada  tugas  yang  harus dikerjakan anak-anak. Tapi, mereka sepertinya tidak peduli. Hanya aku, sarah dan Ilham yang mengerjakan tugas ini. Kelas semakin ribut tak terkendali. Beberapa anak laki-laki bermain bola di kelas.
"Panggilan... untuk KM kelas VII B, harap segera menemui guru piket." Pengeras suara diatas papan tulis berbunyi sangat keras.  Anak-anak  yang dari  tadi membuat keributan, langsung berlarian ke kursinya masing-masing. Mereka terburu-buru mengambil buku tugasnya masing-masing. Ilham yang jadi KM, bergegas pergi ke ruang piket.
"Kalian, yang namanya ada dalam kertas  ini ditunggu oleh Bapak Irawan. Temui beliau di dekat tiang bendera." Kata Ilham. Kertas yang dipegangnya segera diserahkan kepada Indri, sekretaris KM. Indri membacakan nama  Sanusi,  Burhan,  Rizal,  Fahmi, Amira, Nida, Fauzi, dan entah siapa lagi, aku lupa. Hanya ada empat nama yang tidak ada dalam daftar yang dibacakan Indri.
Tiba-tiba, Burhan keluar dari tempat duduknya. Dia berjalan kearah meja Ilham. Tangannya langsung menjambak baju Ilham. Dengan marah, dia menarik Ilham keluar dari kursinya.
"Dasar tukang lapor! Temen apaan, gak solider!" teriak Burhan.
"Aku hanya menjalankan perintah guru!" Balas Ilham. Dia berusaha melepaskan cengkraman Burhan.
Seperti dikomando saja, anak-anak  yang tadi bermain bola langsung mengerubungi Ilham. Mereka ikut marah juga.  Keributan  di  kelas  ini  semakin memanas. Indri berteriakiteriak panik, mencoba membela KM nya. Teriakannya itu ternyata diabaikan.
"DIAAAM!!!" Teriak Pak Irawan. Kami tidak menyadari kehadiran beliau. Tiba-tiba saja pak Irawan sudah berdiri di depan pintu kelas.
Semua anak terdiam, mereka langsung berjalan ke kursinya masing-masing dengan wajah cemas. Siapa sih yang gak kenal Pak Irawan, Pembina ekskul yang terkenal sangat disiplin.
"Siapa yang masih mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, acungkan tangan yang tinggi!" perintahnya tegas. Aku, Sarah, Indri dan Ilham mengangkat tangan.
"Baiklah... anak yang mengacungkan tangan, tetap tinggal di kelas. Lanjutkan pekerjaan kalian. Yang lainnya, ikuti bapak sekarang juga!" kata Pak Irawan sambil berjalan keluar kelas. Anak-anak lain bergegas keluar kelas. Mata mereka menatap sinis kearah kami, yang masih terdiam dengan bukunya masing-masing. Aku pura-pura  tidak  melihat  mereka,  buru-buru  menulis.
*****
Hari ini ada ulangan Matematika. Ketika aku datang, anak-anak sudah ribut kasak kusuk, membuat catatan kecil berisi rumus-rumus matematika. Aku tidak peduli, dan berusaha duduk tenang.
"Sudah siap untuk ulangan, Za?" tanya Sarah yang baru datang dari mushola. Aku mengangguk mantap.
"Aku belum siap. Bisakah kau ajari? Ada beberapa bagian yang belum ku mengerti"
Sarah membuka buku latihan soal. Dia menunjukkan soal-soal  yang  belum  dikerjakannya. Dengan senang hati, aku mengerjakan soal-soal itu satu persatu sambil mencoba menjelaskan sebisaku. Sarah mengangguk-anggukkan kepalanya. Kadang, dia bertanya ini dan itu.
"Assalamualaikum..." sapa Bu Ida, guru Matematika.
"Waalaikum salam Bu..." kami menjawab serentak. Kelas langsung senyap. Aku dan Sarah, buru- buru membereskan buku kami masing-masing.
"Kumpulkan buku paket dan buku catatan kalian di meja depan. Ibu harap, kalian bisa mengerjakan soal ulangan ini dengan baik. Jangan ada yang mencoba berbuat curang. Mengerti?"
"Mengerti Buuu..." kami berteriak nyaring.
Ibu Ida membagikan kertas ulangan. Kami semua langsung sibuk mengerjakan ulangan. Setengah jam berlalu, aku baru mengerjakan setengah bagian dari soal yang diberikan bu guru. Dari arah samping, aku melihat Hilda menarik rok nya. Dia mencontek. Aku pura-pura tidak melihatnya.
"Za... aku gak bisa. Minta contekan dong," Sarah yang duduk disampingku berbisik. Aku menggelengkan kepala, kembali berusaha mengerjakan soal-soal itu.
Satu jam kemudian, terdengar suara bel pergantian jam pelajaran. Kami segera mengumpulkan kertas ulangan  matematika.  Tidak  berapa  lama kemudian, guru IPS datang. Bu Ida langsung keluar kelas.
Ketika bel tanda pulang, Sarah masih cemberut.
Aku jadi tidak enak hati.
"Sarah, maafkan aku. Sampai kapanpun, aku tak bisa membantu memberikan contekan. Tapi, aku akan membantu menjelaskan pelajaran  sebisaku, sebelum ulangan dimulai. Aku tidak biasa mencontek dan tidak akan pernah memberikan contean pada siapapun. Ini prinsip hidupku. Jadi, tolong fahamilah."
"Ya, tidak apa-apa" jawab Sarah pendek.
*****
Seminggu kemudian, bu Ida membagikan kertas ulangan. Dari empat puluh orang, hanya dua orang siswa yang mendapat nilai 10, aku dan Hilda. Hilda tersenyum senang ketika teman-teman bertepuk tangan
dan menatap bangga kearahnya. Aku hanya tersenyum saja. Sarah mendapat nilai 65.
"Faza, maaf ya. Waktu itu aku marah sama kamu. Kata Umi, kamu benar. Tidak sepantasnya aku marah," kata Sarah. Aku mengangguk dan menyalaminya.
"Kita belajar  lebih  semangat.  Kalau  perlu  bantuanku, jangan sungkan untuk bertanya. Tapi tidak pada saat ulangan."
Sarah mengangguk. Hari ini ada ulangan Bahasa Sunda. Aku harus belajar ektra, karena banyak kosa kata bahasa  sunda  yang tidak kufahami.  Sarah membantuku mengajari bahasa sunda.  Dia memang jagonya. Ketika ulangan, sarah mengerjakan soal dengan riang. Aku sendiri lebih sering mengernyitkan alis, karena banyak yang tidak bisa. Lagi-lagi, aku melihat Hilda dan teman sebangkunya mencontek. Aku menghembuskan nafas kesal.
*****
Dadaku sesak menahan tangis. Nilai ulangan Bahasa Sunda dan PKn ku dibawah angka 60. Hilda, seperti biasa memiliki nilai sempurna. Aku pulang ke
rumah lebih siang dari biasanya. Ajakan kumpul untuk persiapan pembuatan film dari Sarah, kuabaikan.
Saat aku datang, Ibu ternyata sudah ada di rumah. Ibu tidak kerja, karena adikku sakit. Melihat aku datang dengan wajah kusut, ibu hanya tersenyum.
"Kenapa, mukanya ditekuk seperti itu?" tanya ibu. "Aku kesal. Kenapa orang-orang terbiasa bersikap
tidak jujur  pada  dirinya,  juga  pada  guru-guru. Sepertinya, kecurangan yang dibuat mereka  itu dibiarkan."
"Urusan apalagi?"
"Soal ulangan, bu. Hilda dan teman-temannya dapat nilai sempurna. Aku hanya dapat nilai 60 untuk PKn dan 45 untuk Bahasa Sunda," kataku.
"Ibu tanya, teteh marah karena nilai kecil, Atau karena kebiasaan teman-teman yang mencontek?"
"Karena keduanya."
"Sayang, jika marah mu karena nilai, maka kemarahan mu itu akan hilang saat nilaimu besar. Ketika kau belajar maksimal, nilai besar itu datang dengan sendirinya."
"Untuk punya nilai besar, aku harus belajar keras. Sementara teman-teman, mereka sepertinya tidak perlu belajar seperti yang aku lakukan."
"Jika teteh sudah belajar maksimal, maka teteh termasuk orang yang beruntung. Teteh akan punya nilai besar dan mendapat pemahaman terhadap pelajaran itu. Sedangkan mereka, hanya dapat nilai besar saja. Sekarang, siapa yang beruntung?. Nak, hidup itu penuh perjuangan. Jika kau membiasakan diri untuk menjadi pejuang, maka kelak kau akan menjadi pejuang yang tangguh. Pemenang itu lahir karena proses latihan yang keras. Kalau kau marah pada teman-teman, itu gak ada artinya. Teteh malah meracuni diri sendiri dengan fikiran negative."
"Trus, aku harus bagaimana?"
"Lupakan kebiasaan  buruk  teman-temanmu.  Biarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Mereka sendiri yang akan memetik buahnya. Dalam setiap perlombaan, pemenang itu tidak banyak. Orang bermental pemenang, biasanya akan bekerja lebih keras dibandingkan peserta lainnya. Pada ahir pertandingan, hasil yang diterima oleh pemenang dan peserta tentunya
berbeda, walaupun apa yang dikerjakan mereka pada awalnya mungkin saja sama. Za, Hidup itu sebuah pilihan. Apapun  pilihan  kita,  pada  ahirnya  akan dipertanggungjawabkan kepada  Sang  pencipta kehidupan."
Aku diam, berusaha menerima apa yang ibu  katakan.
"Sudahlah, sekarang teteh makan dulu. Ibu sudah masak sayur asem dan penjelan pedas kesukaanmu. Makan yang banyak, terus temani ade. Ibu ingin mandi dulu."
Aku mengangguk dan tersenyum, membayangkan sedapnya makanan yang disebutkan ibu. Ya, mulai sekarang, aku harus belajar lebih rajin dan tidak usah peduli pada kebiasaan buruk teman-teman.
*****