"Sejak lahir, kau memang special bagi ibu. Kau bayi mungil yang cantik, putih dengan suara tangisan yang telat terdengar. Itulah sebabnya, kenapa para dokter dan  bidan  yang  membantu  persalinan  ibu menjadi panik. Ibu masih ingat, bagaimana mereka dengan susah  payah  menepuk-nepuk  pantat  dan  punggung mu. Mereka berusaha keras agar kau bisa menangis secepatnya. Setelah sepuluh menit, barulah suara tangismu pecah dan langsung disambut sujud syukur Ayah dan Emak." Kalimat panjang ini  diucapkan ibu saat aku bertanya bagaimana proses kelahiranku. Ibu  juga bercerita tentang  bagaimana sedihnya hati ibu yang setiap hari menjelang magrib sampai jam sepuluh malam harus berusaha menenangkan tangisanku karena bayi mungilnya lapar, tapi tidak bisa menghisap ASI dengan leluasa. Ya, menurut dokter anak, aku mengidap penyakit jantung bawaan. Sekat-sekat di jantungku tidak tertutup dengan sempurna saat aku dilahirkan, sehingga suplay oksigen dalam jantung ku berkurang.
Dengan kondisi jantung yang kurang sempurna itu, maka  dokter menyarankan agar ibu harus mengupayakan supaya aku tidak boleh sakit. Aku harus mendapat asupan gizi  yang cukup supaya tumbuh  kembang jantungku sempurna dengan cepat.
Aaah... ibu tentunya mengalami masa-masa yang sulit saat mengurus aku yang sangat ringkih. Tapi, ibu tidak pernah mengeluh. Dia dibantu  Bi Elis, merawatku dengan penuh cinta kasih hingga ahirnya aku bisa tumbuh sehat dan kuat.
*****
Semilir angin Sabtu pagi yang cerah ini membuat semua orang dewasa dirumahku sibuk dengan kegiatan beres-beres rumah. Ibu mencuci setumpuk baju-baju kotor yang ditabungnya seminggu ini, Bi Elis bersih- bersih di halaman luar dan ayah merapihkan semua kamar.
Aku sendiri tidak punya tugas megurus rumah. Jadi, pagi ini aku sibuk sendiri memilih buku-buku koleksi keluarga kami. SI PUTIH YANG CERDIK adalah judul buku kesayanganku. Buku ini, sebenarnya sudah berulang kali dibaca. Rasanya... setiap
membacanya, buku ini masih saja bisa membuat tawaku lepas.
Mungkin, kali  ini  suara  tawa  itu  mengusik pendengaran ibu. Hingga ibu yang sedang asyik mencuci baju pun berlari ke kamar.
" Apa yang membuatmu tertawa, teh?" Tanya ibu di balik pintu kamar.
" Ini bu... si putih. Dia pandai sekali menipu  kucing nakal".
" Boleh ibu lihat, apa judul buku yang kamu
baca?"
Akumenyerahkanbukuyangtadikubaca.
Judulnya Si putih yang cerdik. Buku ini menjadi buku kesayanganku sejak dua tahun terahir, karena hampir setiap malam buku ini jadi pengantar tidur kami.
"Teteh bisa baca buku  ini?"  Ibuku  bertanya dengan wajah yang tampak tak percaya.
"Iya... kasian deh. Ibu baru tau ya?" Kataku bercanda.
"Coba, ibu  ingin  dengar  bagaimana  caramu membaca." Lagi-lagi, ibu  sepertinya tidak  percaya dengan kemampuan membaca yang ku miliki. Untuk
membuktikan kemampuanku  ini, mulailah  kubaca halaman pertama.
" Si putih bersembunyi di balik pintu. Matanya yang hijau cerah bergerak liar, mencari bola kesayangannya..."
Tiba-tiba, ibu menepuk bahuku dengan lembut sambil berkata..."Sebentar teh, baca halaman tujuh ya..." Tanpa protes, aku menuruti keinginan ibu. Ku buka halaman tujuh, " Hai! Jangan lari kesitu. Ada  banyak Kucing jahat. Si Putih berlari kencang menjauh dari gerombolan kucing liar yang menghadangnya. Aduuuh, lari kemana lagi ini? aku sudah letih berlari. Ya Allah, bantulah hamba. Si Putih semakin terpojok. Gerombolan kucing liar makin mendekatinya. Tiba-tiba, si putih menginjak bongkahan kayu. KRAAAAAKKKK... BUUUUMMM. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya tong-tong besar yang menggelinding itu. Gerombolan kucing liar itu kemudian lintang pukang menghindari gerak liar tong-tong besar. Jeritan kucing mulai terdengar bersahutan. Meoong... meooong ... meooong..." Aku berhenti membaca dan langsung tertawa lepas. Ibu masih diam dan memperhatikan aku yang tertawa.
"Jadi... kenapa teteh tertawa?" Tanya ibuku.
" Aku tertawa karena Si Putih pintar bu. Dalam kondisi terdesak, dia menginjak kayu yang menjadi alas tong-tong besar. Gerombolan kucing liar bukan kalah oleh Si Putih, tapi kalah oleh tong tong besar yang tentu saja itu di luar perkiraan musuhnya".
"Subhanallah..." ibu memelukku erat.
Allah Maha Pemberi Ilmu. Dia menebar ilmu kepada semua hambaNya. Aku yang saat itu berumur tiga tahun tujuh bulan sudah bisa membaca dengan pemahaman yang cukup  bagus, tanpa  ada  yang mengajariku secara khusus.  Kalian  tentu  bingung, kenapa bisa seperti itu?
Sttt... aku kasih bocorannya ya. Begini, ketika Ibu atau Bi Elis mengajak Aa yang berumur empat tahun bermain kartu huruf, aku yang saat itu berumur dua tahun sangat tertarik dengan kartu-kartu berwarna merah yang dibaca dengan suara riang oleh ibu atau Bi Elis. Apa yang dibaca Ibu atau Bi Elis, Aa pasti  menirukan bacaannya  dan  diam-diam  aku  ikutan meniru membaca kartu-kartu merah itu juga lho.
Ibu juga biasa mengajak aku dan Aa Faqih ke toko buku. Biasanya, sebelum berangkat kami buat perjanjian tentang berapa banyak buku yang boleh kami beli. Seingatku, dalam satu bulan, setiap anak punya lima buku baru. Belanja buku menjadi tamasya yang paling menyenangkan. Selain buku, lego, balok-balok  dan permainan edukatif lainnya menjadi barang-barang yang sangat penting bagiku.
Ibuku memang hebat, disela-sela kesibukannya mengajar dan mengurusi dua anak balitanya, beliau selalu menyempatkan waktu untuk mengajari Aa Faqih untuk membaca  dengan  metoda  Glan  Dommand.  Padahal, saat itu Aa masih berumur empat tahun. Ibu dan Bi Elis juga rajin membacakan buku cerita bagi kami. Ada perpustakaan mini di sudut kamar, dan itu menjadi tempat yang paling menyenangkan bagi kami sekeluarga.
*****
Minggu pagi yang cerah, semua anggota keluarga kali ini berjalan-jalan ke Batu Kuda, di lereng Gunung Manglayang. Jarak dari rumah kesana sekitar 5 KM. Aku yang saat itu masih berumur kurang dari 4 tahun,
hanya mampu berjalan setengah perjalanan. Sisanya, melanjutkan perjalanan dengan bergelayut manja di gendongan Ayah.
Batu Kuda itu hutan pinus di pinggir kota yang masih alami  dengan  pemandangan  asri,  menjadi  suguhan mewah bagi orang-orang kota yang biasa menghirup udara kotor. Aku dan Aa bermain petak umpet, berlari-lari di sela-sela bongkahan batu besar. sementara itu, ibu dan ayah mendirikan tenda kecil.
Bosan dengan  permainan  petak  umpet, Aa mengajak aku untuk bermain di mata air yang letaknya tidak jauh dari tempat Ayah dan Ibu mendirikan tenda.
"Za... ada kecebong! Kita tangkap yuk!"
"Pake apa?  Sepertinya  susah  nangkapnya. Kecebong itu bergerak dengan cepat. Minta bantuan ayah, yuk!"
"Aaah... lama. Aku coba tangkap pake gelas plastik bekas aja. Kamu cari botol air mineral di tumpukan sampah, buat nampung kecebong yang kita tangkap."
Kami memulai petualangan kecebong. Aa dengan penuh semangat  menangkap  kecebong di  mata air,
sedangkan aku berusaha mencari botol air mineral bekas. Ahirnya, setelah bersusah payah, botol mineral itu bisa ku peroleh juga.
Hampir satu  jam  aku  dan Aa  berusaha menangkap kecebong. Sialnya, setelah lelah berusaha, kami hanya mampu menangkap tiga ekor saja. Ayah dan ibu yang sudah beres  mendirikan tenda  mulai memanggil. Saking asyiknya, panggilan mereka diabaikan.
"Aduuuh, sampai capek rasanya tenggorokan ini memanggil nama kalian berdua. Apa yang sedang kalian lakukan?"
Ayah memperhatikan kegiatan kami. Dia tersenyum melihat tiga ekor kecebong  dalam  botol plastic yang aku pegang.
"Mengapa kalian menangkap kecebong?"
"Suka aja, lihat ekornya yang terus bergerak. Bikin gemes. Bolehkah kami bawa pulang, yah?" tanyaku penuh harap.
"Untuk apa?"
"Mau dipelihara, Yah" kata Aa dengan penuh semangat.
"Kecebong itu  lucu  saat  masih  kecil.  Kalo dipelihara, maka kecebong itu membesar. Apa kalian sanggup memeliharanya?"
"Sanggup, Yah. Makin besar kan pastinya jadi lucu. Ekornya mungkin tambah besar. aku suka melihat matanya yang kecil. Kalo sudah besar, mata kecebong mungkin ikut membesar juga." aku menjawab dengan penuh keyakinan. Ayah tertawa mendengar jawabanku.
"Kalian fikir, bentuk kecebong tidak akan berubah jika mereka membesar?"
"Enggak" jawab kami kompak.
Ayah kembali tertawa. Kali ini tawanya makin
keras.
"Berhenti dulu nangkap kecebongnya. Sekarang
waktunya makan siang. Sebelumnya, bersihkan dulu tangan kalian. Ibu sudah menunggu di tenda, ada banyak makanan yang bisa kalian habiskan."
Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya, kami berlarian menuju tenda. Aa yang lebih besar dan kuat, berhasil sampai ke tenda lebih dulu.
"Aduuuh... bajunya kotor sekali. Apa yang kalian lakukan?" ibu bertanya dengan penuh keheranan.
"Aku nangkep kecebong, bu. Nih... dapet tiga!" kataku dengan bangga.
"Yey... ngaku-ngaku. Faza cuma duduk di pinggir kolam. Aku yang berusaha nangkepnya bu. Kecebong ini mau kita bawa pulang." Aa Faqih mendelik kearahku. Aku nyengir.
" Sudah  ah.  Berhenti  ngurusin  kecebong. Sekarang kalian makan siang dulu. Kalo sudah makan, boleh bergabung sama ayah. Kalian bisa tiduran di tenda."
Tanpa harus diperintah untuk kedua kalinya, kami langsung menyantap makanan yang sudah ibu siapkan. Hmmm... ada nasi uduk, ayam goreng, sosis panggang, wortel dan buncis rebus, kentang goreng dan pindang telur puyuh kesukaan kami.
"Coba bayangkan, seandainya kalian yang ada di dalam botol itu. Bagaimana perasaan kalian, dipisahkan dari orangtua, teman-teman dan tempat tinggalmu?"
"Kenapa ibu bertanya seperti itu?" kata Aa Faqih. "Kalo aku, gak mau pisah dari orang-orang yang
ada di rumah kita."
"Terus, kenapa kalian menangkap kecebong ini?"
Kami berdua diam, mulai mencari jawaban yang bisa diterima oleh ibu.
"Aku mau  tau,  kecebong kalo  sudah  besar, bentuknya seperti apa..." kata Aa Faqih. Ibu tersenyum menatap aku yang bingung.
"Naah, ini jawaban yang hebat. Kalau itu alasannya, ibu mengijinkan kalian membawa kecebong ke rumah. Jangan lupa, kalian sendiri yang harus mengurus kecebong itu dibantu Bi Elis.
"Yeeeey... asiiik. Makasih Ibuuu"
Aku dan Aa langsung memeluk ibu. Seharian itu, kami berada di Batu Kuda. Tenda menjadi tempat tidur siang bagi kami berempat. Banyak hal yang kami lakukan disana, semua sangat menyenangkan.
*****
Ibu pulang kerja lebih siang dari biasanya. Dia membawa setumpuk buku bacaan yang menarik. Aku bersorak riang melihat satu buku bergambar kecebong. Hmmm... jadi ingat kecebong yang pernah kami tangkap di Batu Kuda. Sayang, umurnya tidak lama. Dia hanya bertahan dua hari saja di akuarium. Keburu di makan kucing, sih.