Saat kalian menang lomba bikin film, aku marah besar. Kenapa kalian tidak mengajak aku?"
"Hilda... aku gak bermaksud buat kamu marah. Maafin aku," kataku pelan. "Yang punya ide awal untuk film itu Taufik. Dia ngajakin kita bertiga karena kami sama-sama aktif di DKM Mesjid sekolah. Jadi..." aku tidak melanjutkan omonganku, karena Hilda mengangkat wajahnya dan mulai bicara dengan nada makin tinggi.
"Karena aku tukang nyontek, pemalas, miskin, dan gak pernah sholat. Begitu maksudmu?" Hilda kembali berbicara dengan nada suara meninggi.
"Duuuh. Bukan  begitu.  Maksud  Faza,  kami bertiga tidak punya kapasitas ngajakin kamu, karena itu ide Taufik. Kita juga diajak Taufik. Kalau kamu masih marah, ya udah, kita pulang aja. Ayuk Faza, Sarah, kita pulang!. Susah punya temen yang pendendam. Kalau lama disini, kita bisa kebawa jadi pemarah!" kali ini Ilham bicara sambil berdiri, nada bicaranya sangat keras. Sarah dan aku langsung ikut berdiri dan keluar rumah. Kami tidak bisa pamit pada mamahnya Hilda, karena beliau ada di bagian dalam rumah. Hilda sendiri
sepertinya langsung berlari masuk kamar dan membanting pintu.
"Tuuuh, apa yang ku bilang benar, kan?" Ilham bersungut-sungut marah.
"Maafin aku, ya. Tadinya niatku baik. Aku gak nyangka kalau seperti ini jadinya." Kataku sedih.
"Kita sudah berusaha. Hilda sekarang tahu, kalau kita teman yang peduli padanya. Kita doakan, semoga Allah segera  beri  kemudahan  bagi  dia  menerima takdirNya. Kebayang sih, betapa malunya dia. Tiap tahun juara kelas, tapi mendapat NEM yang kurang memuaskan. Wajar kalau sekarang ini dia marah." Sarah menjawab perkataanku.
Kali ini, Ilham yang kelihatan bingung mendengar kalimat panjang keluar dari bibir mungil Sarah. Mulut usilnya kambuh, lalu berkata; "Za, tumben dia ngomong bener. Tadi, yang nangis di rumah Hilda, siapa ya?".
"Yey... Ilham nyebelin!" Sarah nonjok Ilham. Dia berusaha menghindar sambil tertawa ngakak. Kami bertiga kembali ke sekolah. Ada janji untuk ikut kajian al Quran di masjid.
*****
Siang ini kami berlima berkumpul di masjid sekolah. Semua terdiam, masih larut dengan suasana haru. Ini hari terahir kita bisa berkumpul bareng dengan formasi lengkap.
"Gak terasa, tiga tahun kita ngumpul. Sekarang saatnya memilih sekolah yang sesuai dengan harapannya. Taufik dan Faza enak, gak perlu takut memilih sekolah  mana.  NEM mereka begitu  sakti. Kemanapun, pasti diterima," Nadya membuka pembicaraan.
"Alhamdulillah. Aku senang bersahabat dengan kalian semua. Walaupun aku anak paling bodoh disini, tapi persahabatan kita membuat otakku sedikit berisi. Kalian sudah sabar ngajari aku banyak hal. Makasih ya." Sarah  berkata  seperti  itu  sambil  memegang tanganku dengan erat.
"Masing-masing punya keistimewaan dalam dirinya. Kamu gak bodoh, Sarah. Aku belajar banyak hal dari kamu. Diantara kita semua, kamu yang paling tenang dan sabar menghadapi kejahilan Ilham. Makasih, sudah mau jadi teman sebangku selama tiga tahun." Aku menjawab.
"Bener, walaupun kita akan berpisah, In Syaa Allah kita akan tetap jadi saudara yang akan saling bantu." Taufik kali ini ikut bicara.
"Pik, sampai sekarang aku masih penasaran. Boleh tanya sesuatu? Mumpung kita masih bisa leluasa ngomong." Ilham angkat bicara.
""Apa?" Taufik menjawab dengan nada heran. "Apa rahasia otak encermu?"
Kita semua tertawa mendengar pertanyaan Ilham.
Taufik lalu menjawab,
"Kamu juga pinter. Otakmu encer menghafal tanggal,tahun, nama tempat dan semua yang berbau IPS dengan cepat. Aku hanya bisa Fisika. Pelajaran yang lainnya tidak. Menurutku, semua orang punya bakatnya masing-masing. Kalau kita bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki, sepertinya semua orang bisa jadi hebat. Di sekolah ini, aku bahagia karena punya sahabat yang baik. Kalian banyak membantu aku buat mempelajari hal lain diluar Fisika."
"Yup. Aku setuju. Sekarang, aku mau tanya satu- satu... apa cita-cita kalian? Dari tadi pembahasannya
melankolis, capek  ah."  Nadya  mengalihkan  topic  pembicaraan.
"Aku mau jadi ahli fisika nuklir!" jawab Taufik mantap.
"Aku mau jadi ahli sejarah!" Ilham menjawab penuh keyakinan.
"Aku mau kuliah ke ITB. Tapi gak tau jurusan apa. Mahasiswa ITB itu selalu terlihat keren dimataku," kataku jujur sambil nyengir.
"Cita-citanya?" tanya Nadya.
"Belum kepikiran. Nanti cita-citanya nyusul" jawabku.
"Aku sama seperti Faza," kata Sarah cepat. "Yey...meng copy jawaban. Gak boleh!" Ilham
menggoda Sarah.
"Biarin, yey!" Sarah menjawab sambil tertawa. "Kamu sendiri mau jadi apa?" Sarah bertanya
pada Nadya.
"Aku mau ke Jepang. Jadi mungkin kuliah ke sastra Jepang UNPAD."
"Ngapain ke Jepang?" Ilham bertanya penasaran.
"Enggak tau, suka aja." Jawabnya asal. Sarah tertawa menggoda Ilham.
"Pik, tinggal kamu yang belum menyebutkan cita- cita," kata Nadya sambil melirik Taufik yang duduk disampingnya.
"Aku ingin jadi ahli fisika nuklir. Diluar sana, banyak orang yang berusaha mempelajari fisika nuklir dengan tujuan menguasai dunia. Kalau orang Islam bodoh, maka celakalah umat. Jadi, aku merasa wajib menguasai fisika."
"AJIIP, SETUJU BANGET!" Ilham langsung mengangkat dua jempolnya.
"Oke, cita-cita sudah pada jelas nih. Nah... untuk melanjutkan sekolah, bagaimana nih? Hanya Taufik yang sudah jelas. Faza jadi ke SMA 3?" tanya Nadya. Aku mengangguk, sambil menjawab "In Syaa Allah."
"Oke, Ilham dan aku ke SMA 8. Tinggal Sarah nih.
Gimana?" Nadya kembali angkat bicara.
"Aku maunya sekolah bareng Faza terus. Tapi, Umi dan Abi gak kasih ijin. Jadi, aku memilih SMA 24."
"Berarti... hanya aku dan ilham yang masih satu sekolah. Sisanya menyebar," kata Nadya.
Alhamdulillah, aku sangat bahagia. Allah berikan teman-teman yang terus menguatkanku untuk  terus berjuang, meraih mimpi.
LANGKAH INI SEMAKIN MENANJAK
Gedung tua bercat putih nan megah ini menjadi saksi, bagaimana perjuangku selama tiga tahun. Sekolah ini terkenal sebagai gudangnya anak-anak pintar. Disini, jangan harap bisa melihat karakter anak pemalas. Bagi kami, waktu sekecil apapun digunakan untuk belajar, belajar dan terus belajar.
Katanya, masa SMA, masa yang paling indah dalam siklus hidup seseorang. Betulkah itu?. Hmmm... bisa jadi. Jika deskripsi bahagia itu seperti menikmati rutinitas hidup yang harus dimulai pukul 04.00, dan sudah berada di bis kota pukul 04.50. Lewat sedikit saja, aku bisa terlambat masuk sekolah. Setiap pergi sekolah, aku harus berjuang melawan kantuk agar bisa selalu datang ke sekolah sebelum pukul 06.30. deskripsi bahagia yang aneh? Entahlah.
Ada banyak kenangan indah. Disini, aku berjuang bareng teman-teman yang punya pola dan ritme belajar yang sama. Jika waktu SMP aku bertemu dengan banyak  teman  yang  mencontek,  maka  disini  kata
mencontek   menjadi   sangat   asing.   Motto   sekolah
terpampang dalam pigura panjang, menempel ditembok yang berada tepat  di pintu  masuk  utama gedung sekolah; KNOWLEDGE IS POWER, BUT CHARACTER
IS MORE. Motto ini sepertinya menjadi ruh bagi setiap orang yang berada disekolahku. Deretan piala-piala berbagai ukuran, vandel, piagam dan atribut penghargaan lainnya tertata rapi dalam lemari kaca yang besar. Ini wujud pengakuan atas karya terbaik warga sekolah.
Tahun pertama di SMA, merupakan tahun penuh kejutan. Jika di SMP aku bisa bangga dengan peringkat pertama di kelas, maka disini aku cukup puas dengan rata-rata nilai yang berada di kelompok atas saja. Anak- anak yang berotak brilian seperti kawanku saat SMP, Taufik yang jago fisika atau Ilham yang jago IPS, jumlahnya sangat banyak dan tersebar di semua kelas. Kami sama-sama memiliki kemampuan yang tinggi, maka yang membedakannya kemudian factor ketelitian, konsisten, ulet dan sabar.
Pernah satu kali, usai ulangan harian pelajaran Matematika... aku hampir jatuh terduduk karena kaget. Nilai matematika ku hanya 45!. Aku yang selama ini
jago matematika, tentu saja syok menerima nilai sangat kurang.
Saat pulang ke rumah, aku langsung menangis dan tidak mau makan. Ibu sampai membujukku sangat lama agar aku bicara, karena awalnya aku tidak mau membahas masalah ini pada ibu. Aku takut ibu marah.
"Ada apa, Teh?" tanya ibu lembut.
"Maafkan aku,  bu. Aku mengecwakan  ibu..." jawabku pelan.
"Memangnya kenapa?" kembali ibu bertanya. "Hari ini hasil ulangan matematika dibagikan.
Dan aku... hanya dapat nilai 45. Aku bodoh ibu... soal- soal ulangan itu sangat sulit." Kataku dengan suara parau. Tenggorokan seperti tercekat saat menyebutkan angka 45.
"Ibu tanya,  bagaimana  dengan  nilai  teman- temanmu yang lainnya?" kembali ibu bicara. Suaranya tampak tenang." Aneh, ibu tidak marah dengan nilai buruk ini?" tanyaku dalam hati.
"Nilai tertinggi 50, itupun hanya seorang. Nilai terkecil diperoleh tiga anak, hanya 15 dari skala nilai 100".