"Za, apa artinya?" kali ini, Indri yang bertanya. "Kamu yang paling besar badannya, menimba air
di sumur, buat mandi kami berdua," kataku sedikit merekayasa terjemahan.
"Idiiih, ogah. Mending hak mandi aja sekalian. Udah dingin, capek pula!"kata Indri sambil bergegas masuk kamar.
"Eeeh dasar budak kota. Hese ngartina geuning14." Kata Bu Icih ngedumel.
"Biarin bu, aku dan Dinda saja yang mandi. Tapi maap ya, gak bantu masak." Kataku berusaha sopan.
"Oh.. iyah, gak apah lah. Sok mandi weh kaditu. Biar segeer!" Bu Icih berbahasa sunda dengan logat sundanya yang kental.
"Siap bu!" kataku cepat. Dinda langsung kutarik tangannya supaya mengikuti aku kebelakang rumah. Tempat mandi ini hanya pancuran sederhana. Air didapat dengan cara menimba.
Udara dingin perkebunan teh Pangalengan begitu menusuk sampi ke tulang. Aku dan Dinda bersitatap,
14 Aduh, dasar anak dari kota. Susah mengerti keinginan orangtua.
lalu sepakat hanya bersih-bersih badan sekedarnya saja. Gak kuat mandiiii!.
Keluarga Bu Icih sore itu berkumpul di dapur. Mereka mengajak kami makan. Aku tertegun. Makanan yang disediakannya goreng tahu yang dipotong kecil, gulai pucuk daun singkong dan kerupuk. Keluarga ini bisa makan dengan lahap, sedangkan kami hanya saling pandang dan mengambil sedikit saja.
*****
Malam terahir di Pangalengan, kami berkemul selimut seadanya. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba kami ngobrol tentang kehidupan yang dijalani saat ini.
"Mereka begitu tulus menerima kita. Hidupnya sangat sederhana, mendekati miskin. Tapi keluarga ini terlihat bahagia. Aku jadi malu sendiri, di rumah sering ngambek kalau  makanan  kesukaanku  tidak  ada. Padahal, untuk menyiapkan makanan itu bunda sudah kebingungan. Aduuuh, jadi pingin cepet meluk bunda nih," Dinda berkata pelan.
"Aku inget ayah. Kerja keras di kantor, dan kami enak saja menikmati hasil usahanya itu dengan leluasa. Pak Ocim saat bekerja melibatkan semua keluarga.
Sedangkan aku? Hmmm...." Kali ini Indri yang bicara. Sepertinya, sikap egoisnya mulai mencair. Aku sendiri hanya bisa bersyukur dan terus bersyukur atas nikmat yang Allah beri. meskipun ibu dan ayah sudah bekerja maksimal, tapi kondisi keuangan keluarga kami tidak sehebat keluarga teman-temanku. Aku punya ibu yang selalu mengingatkan  kami  untuk  selalu  bersyukur dengan apa yang dimiliki, sehingga tidak mengeluh.
*****
Tahun kedua di SMA, beban belajar semakin berat. Ada pelajaran gambar teknik alias GAMTEK yang hanya ada di sekolahku saja. Kami harus membiasakan diri menggunakan  penggaris  berbagai  bentuk  dan ukuran, pensil mekanik, dan menggambar bangun- bangun yang dicontohkan guru kami secara detil. Pelajaran ini membutuhkan ketelitian dan perhitungan yang ekstra, juga melatih kami untuk terus bekerja dengan sabar,  pantang  menyerah  sehingga  bisa menghasilkan karya terbaik. Beberapa anak berduit, banyak menyerah dengan tugas-tugas gamtek. Mereka minta bantuan temen yang mau mengerjakan tugasnya dengan bayaran besar. Transaksi itu sah-sah saja, take
and give. Tapi bagiku, No! walaupun aku bisa mengerjakan GAMTEK, tapi  aku  tidak  mau mengerjakan tugas teman. Bagiku, itu sama artinya membiasakan temanku mengupah jasa orang untuk mengguguran tanggungjawabnya.
Tria yang satu kamar denganku saat mesantren tahun kemarin, kini jadi teman sekelas, Dian juga. Kami bertiga menjadi tiga serangkai yang kompak, walaupun punya karakter berlainan. Dian yang pemalu, Tria yang serampangan dan  tukang ribut dan  aku  yang jadi penengah diantara mereka jika terjadi keributan. Jika pelajaran terahir bubar karena gurunya ada rapat, maka Tria yang banyak duit, selalu mentraktir kami makan- makan di restoran cepat saji. Kalau sudah begini, akulah yang membujuk Dian supaya mau makan. Dia susah sekali menerima pemberian.
"Di, ayolah makan. Harganya gak seberapa kooo. Lagian aku yang traktir nih. Faza udah setuju, tinggal kamu," bujuk Tria.
"Bagi kamu, seporsi makanan harga 50 ribu rupiah gak ada artinya. Tapi bagiku, 50 ribu itu biaya makan kami sekeluarga selama  dua atau  tiga hari.
Rasanya, aku sulit menelan makanan ketika dalam fikiranku ada mamah, bapa dan teteh yang makan dengan oseng kangkung dan krupuk," jawab Dian lirih. Aku tercekat. Oooh, ini alasannya. Aku dan Tria saling tatap. Kami sama-sama diam. Tidak berapa lama, Tria menulis sesuatu di handphone nya.
"Ya sudah, gak jadi pergi bukan berarti gak makan ya. Kita tetap disini, di perpustakaan untuk mengerjakan tugas  makalah  ekonomi,"  kata  Tria. Tumben, dia mau mengalah. Kami berjalan menuju perpustakaan. Ini base camp kesukaan kami bertiga. Ruangan yang bersih, wangi, karpet dan bantal yang empuk dan buku-buku yang menarik untuk dibaca menjadi magnit  kuat  yang  membuat  kami  betah berlama-lama membaca. Tidak berapa lama, diskusi alot terjadi untuk  menentukan  topik  utama  makalah kelompok, lalu bergulir pada pokok bahasan setiap bagian dan pembagian tugasnya. Hampir satu jam lebih, kami mengerjakan tugas. Tiba-tiba seorang satpam datang ke ruang perpustakaan mencari Tria.
"Mbak, pesanannya  sudah  datang. Orangnya
nunggu di pos."
"Oh, iya. Bisa minta tolong bawakan kesini pak? Ini uangnya. Kembaliannya buat bapak aja. Boleh ya pak, please..." mata Tria berkedip lucu. Pak satpam ini tertawa dan mengangguk.
"Iya deeh, bos kecil. Mana duitnya!" kata pak satpam ringan. Tria mengambil tiga lembar uang seratus ribuan dari dompetnya, lalu berkata "Makasih bapak baeeek!".
Aku dan  Dian  hanya  bisa  saling pandang.
Transaksi apaan tuh?.
Pizza besar ukuran family ada dihadapan kami. Tria memamerkan senyum manisnya sambil berkata, "Kalian sahabatku,  gak  mungkin  membiarkan  aku kesusahan karena menghabiskan makanan ini,  kan? So... bantulah sahabatmu ini untuk menikmati makanannya. Yuk, kita ke taman. Makan disini bisa kena semprot Miss An, pustakawan yang jutek!" ajaknya sambil menarik tangan Dian. Aku tersenyum dan mengikuti langkah mereka berdua.
"Enak kan makanannya?" tanya Tria . aku dan Dian mengangguk sambil menghabiskan sepotong Pizza. Tria sudah mengambil potongan nugget plus sambalnya.
"Om ku baru pulang dari Inggris. Nah, sebagai ponakan paling besar, tentunya dapat jatah duit paling besar dong. Aku gak egois, klu dapat rezeki, maka aku pasti ingat kalian juga. Naaah... boleh lah sekali-kali kalian merasakan makanan enak plus gratis." Katanya sambil mengambil potongan pizza yang ketiga. Gilaaa... ni anak lapar apa doyan sih? Cepat amat mengunyah makanan.
"He..he..he.. kaget ya lihat cara makanku yang cepat? Kalm... aku masih bisa menghabiskan dua potong cheese burger itu!" Tria menunjuk kantong burger yang masih utuh. Dian geleng-geleng kepala.
"Ampuuun, perutku sudah gak bisa makan lagi nih. Maaf ya, bantuanku cukup sampai disini," kataku sambil mengambil minuman.
"Iya, aku juga. Dua potong pizza plus sepotong nugget sudah membuat kami kenyang. Makasih untuk makanannya." Dian mengikutiku. Trias melotot.
"Enak aja... gak solider tuh. Kalo aku belum beres makan, gak sopan tau ninggalin temen!" Trias marah.
"Kita gak pergi, hanya nemenin aja ya," jawab Dian. Trias menghentikan makannya, lalu berkata
"Ah, nafsu makanku hilang deh. Ya sudah... semua makanan kita masukan ke kotaknya lagi. Dan karena rumah Dian paling dekat diantara kita, maka sebelum aku pulang, Dian kuantar pulang. Awas, jangan nolak ya!"
Dian bengong. Aku tertawa melihat kelakuan mereka berdua. Trias dan Dian memang ditakdirkan untuk saling melengkapi.
*****
Ahir semester ini kami melakukan wisata ke Bali. Aku dan Dian sebenarnya tidak mau pergi, karena kami tidak mampu membayar biayanya yang mahal. Tapi, kami mendapat tiket gratis dari sekolah. Sekolahku keren, Komite yang mengurus perjalanan ke Bali ini memastikan semua anak ikut ke Bali. Jadi, ada program biaya subsidi silang.
"Dian, Faza... kami tidak bermaksud menghina kalian dengan memberi tiket gratis ini. kami hanya ingin kalian ikut berbahagia setelah setahun penuh belajar terus-terusan. Nah, tolong diterima tiketnya. Kita akan berbahagia bersama di Bali, Oke?" itulah yang dikatakan Mira tadi siang. Tiket ini kusimpan dengan hati-hati di
tas. Aku masih belum memutuskan, apakah jadi pergi atau tidak.
"Teh, maapkan ibu karena tidak bisa membayar biaya ke Bali. Semester ini ibu harus sidang tesis. Biayanya besar, jadi ..."
"Aku sudah punya tiketnya, pemberian bendahara OSIS." potongku cepat. Lalu kuperlihatkan tiket ke Bali yang tadi kuterima dari Mira.
"Alhamdulillah... berarti kita harus bersiap-siap belanja bekal makanan di perjalanan. Â Bukankah perginya besok?" tanya ibu.
"Aku gak mau pergi, bu," jawabku pendek "Kenapa?.  Teteh  malu  karena  mendapat  tiket
gratis?.Tetehmerasaterhinakarenamenerima kebaikanoranglain,begitu?"pertanyaanibuyang beruntun itu tidak kujawab. Aku masih marah pada ibu. "Nak, hidup ini terus bergulir. Kadang diatas, kadang dibawah. Ketika posisi kita dibawah, bukan berarti kita  hina.  Allah  sedang menguji kesabaran hambaNya. Ini  artinya,  jika kita menerima hadiah, bukan berarti kita menjadi terhina. Ibu harap, kamu bisa memahami  arti  memberi  dan  menerima. Saat ini,
kau diberi hadiah oleh sekolah. In Syaa Allah suatu hari nanti, kau bisa berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Pergilah mandi, setelah ibu menyelesaikan tulisan ini, kita belanja ya!"
Itulah ibu. Ada banyak kalimat manis yang tersimpan dimulutnya.  Semua kata-kata  ibu  bisa menentramkan hati kami semua. Aku menghela nafas. Ibu benar, kondisi keuangan kami sangat terbatas. Selain harus mengurus biaya sidang, biaya masuk  kuliah kakakku,  ibu  juga harus memikirkan  biaya persalinan anak keempatnya. Tidak seharusnya aku marah pada ibu.
*****