UN. Jadi, mari kita sama-sama saling menguatkan diri untuk belajar maksimal."
Tiba-tiba, Rifqi mengangkat tangan dan berkata dengan percaya diri...
"Bu Guru, aku mau NEM ku tertinggi di sekolah
ini!"
"Subhanallah... In Syaa Allah, Nak. Malaikat
langsung mencatat niat mulia yang engkau ucapkan. Siapa lagi yang mau nilai NEM nya rata-rata sepuluh?"
Pertanyaan Bu guru menantang kami. Semua anak di kelasku mengangkat tangan, kecuali Nisa.
"Nisa sayang, mengapa tidak mengangkat tangan?"
"Aku tidak  mungkin  mendapat  nilai sepuluh untuk Matematika dan IPA. Dua pelajaran itu begitu susah untuk dikuasai, bu guru."
"Anak-anak... dalam menjalani hidup, seseorang yang berjiwa pemenang, tidak mengenal kata susah. Kita ditakdirkan oleh Allah menjadi orang-orang yang hebat, dan inilah saat yang tepat untuk membuktikannya. Kita akan sama-sama belajar, mengasah pemahaman melalui latihan soal. In Syaa
Allah, bapak dan ibu guru dengan iklas menemani kalian semua dalam belajar. Satu hal yang harus kalian yakini... Allah pemilik semua ilmu. Mintalah padaNya dengan kesungguhan  hati,  maka dengan  suka cita diberikannya pintu pemahaman akan ilmu Allah yang maha luas bagi semua hamba. Yakinkah kalian dengan janji Allah yang akan menolong semua hambaNya?"
"YAKIIIIN BU GURUUU. IN SYAA ALLAH..."
kami menjawab serentak.
"Nisa, yakin bisa mendapat nilai tertinggi?"
"In Syaa Allah, bu Guru. Aku akan berusaha keras. Jazakillah..." jawab Nisa sambil tersenyum.
Wejangan bu guru begitu membekas di hati kami semua. Sejak saat itu, kami melatih diri memecahkan setiap soal-soal kuis dengan penuh sukacita. Ketika kami mengalami kesulitan, maka kami akan mendiskusikannya bersama-sama dalam kelompok kecil. Jika masalah  ini  tidak  dapat dipecahkan  dalam kelompok, barulah kami meminta bantuan guru.
Dalam kelas, diterapkan pola tutor sebaya. Semua punya gelar tutor untuk mata pelajaran yang paling disukainya. Aku sendiri menjadi tutor bagi pelajaran
matematika dan IPA. Tugas tutor menjadi pembimbing bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal tertentu. Saking senangnya pada kedua pelajaran itu, teman-teman memberi julukan si gudang angka. He he he... ada-ada saja.
*****
Waktu pelaksanaan  Ujian  Nasional  tinggal  menghitung hari. Tiba-tiba muncul perasaan bingung, takut, khawatir dan cemas dihatiku. Aku merasa perlu untuk menenangkan hati dengan bicara pada ibu. Ya... bagiku, ibu tempat curhat yang paling keren.
"Ibu, besok aku ujian. Aku takut..." "Takut kenapa, teh?"
"Aku takut tidak bisa menjawab soal-soal ujian dengan baik. Aku takut tidak dapat nilai sepuluh."
"Sayang, nilai sempurna itu memang bagus. Tapi itu bukan  tujuan ahir  bagi seorang pelajar.  Nilai sempurna itu buahnya usaha yang maksimal dan hadiah atas ridho yang Allah berikan pada hamba-hamba yang disayangiNya. Sempurnakan  ihtiar  yang telah  kau lakukan dengan shalat dan lantunan doa yang tulus kepada Allah. Sudahkah kau shalat dan berdoa?"
"Sudah, bu"
"Alhamdulillah... kini, saatnya kau menyerahkan semua urusan  kepada  Allah.  Hilangkan  perasaan bingung, takut, khawatir dan cemas dihatimu, karena semua itu datangnya dari syetan yang mengganggu konsentrasimu dalam berjuang. Ayo, sekarang senyumlah." Kata  ibu  sambil mengusap  lembut rambutku.
"Jangan lupa  telpon  eyang,  emak  dan  aki. Mintalah doa pada mereka semua. Ibu dan ayah pastinya akan mendoakan kelancaran ujianmu, sayang."
"Iya bu, terima kasih ya..."
Kupeluk ibu  dengan  erat.  Senyum  manisku terkembang sempurna. Ya, aku harus menyempurnakan ihtiar yang telah ku lakukan dengan doa.
*****
Hari yang mendebarkan hati itu ahirnya datang juga. Selama tiga hari kami melakukan ujian nasional. Guru yang mengawasi kami saat ujian bukanlah guru- guru yang sudah biasa menemani kami saat belajar. Mereka guru-guru yang berasal  dari  sekolah  lain. Walaupun begitu, kami tetap dapat menjalankan ujian
dengan baik karena guru yang mengawasi kami saat ujian bersikap ramah.
Setiap soal dapat aku  kerjakan dengan  baik. Kesulitan terbesar yang aku rasakan saat mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Keningku sempat berkerut saat membaca tulisan yang panjang-panjang.
Kuhela nafas panjang. "Hmmmp... tenang  Za,  baca perlahan tiap soal. Pilihlah dengan teliti jawaban terbaik. Kamu pasti bisa menjawabnya!!!" Kata-kata ini kuulangi beberapa kali di dalam hati. Ya, aku sangat memerlukan ketelitian yang super ekstra.
Saat ujian, kelas sunyi senyap. Burhan yang biasanya ribut dan paling susah diatur pun saat ujian bisa bersikap tenang. Kadang, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Tapi dia tidak mencontek. Ya, kami semua sepakat jika jika mencontek itu sama seperti berkhianat pada diri sendiri. Mencontek itu perbuatan hina yang harus kami hindari.
*****
Hari ini, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Pengumuman hasil Ujian Nasional dikirim via pos. Olalaaa... bagaimana hasilnya?
Aku sedang membantu Ibu yang memasak sayur bayam ketika pak pos datang mengantar surat kelulusan yang aku tunggu sedari pagi.
"Ibuuuu... tolong buka hasilnya. Aku enggak berani lihat sendiri," pintaku setengah merajuk pada ibu. Saat itu, hatiku  berdebar kencang. Takut dan penasaran bercampur jadi satu.
"Ah, tenang aja, Za. Pasti lulus lah!" kata Aa yang waktu itu menonton film kartun dengan adikku.
"Lulus sih mungkin iya. Tapi bagaimana dengan nilainya? Aku takut hasilnya jelek."
" In Syaa Allah bagus, sayang. Sini, mana amplop suratnya." Kata ibu sambil duduk di kursi panjang. Kami bertiga merubungi ibu yang siap-siap membuka surat pengumuman.
Ayah yang dari tadi berada di kamar, tiba-tiba muncul di depan kami.
"Eeeh... tunggu dulu bu. Biar Ayah saja yang
buka."
"Iya, Teh. Berikan surat ini pada Ayah. Biar ayah
yangbuka.Kitaakansama-samamelihathasil
perjuanganmu selama enam tahun." Sahut ibu. Surat kelulusan kemudian ku serahkan pada Ayah.
"Bismillah..." Ayah merobek bagian dari ujung surat pengumuman.  Dadaku  berdetak makin  tak karuan. Semua mata tertuju pada surat yang kini berada di tangan Ayah.
"Alhamdulillah... Faza  dinyatakan  LULUS dengan NEM 28,90"
"HOOOREEEE..."
Aa dan Ade berteriak keras. Mereka jauh lebih heboh berteriak dari aku sendiri. Aku tersenyum lega. Mulut ade  yang  penuh  makanan  terbuka  lebar. Makanannya sampai tumpah ke lantai. Dia ikut tertawa dan berlari-lari riang.
Hari ini... suara Ayah terdengar begitu indah di telinga. Senyum lebar langsung terkembang dari semua penghuni rumah ini. Ibu dan Ayah menciumiku dan mengucapkan tasbih berkali kali. Aa dan adikku pun turut senang.
Berulangkali kulihat kertas  pengumuman  itu. Hei... ada angka 10 untuk nilai matematika dan IPA!!!. Hatiku bersorak riang.
Benarlah mahfudzah man jadda wajjada, yang artinya barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka akan berhasil. Aku  sudah  membuktikannya.  Terima kasih yaa Robb, janjiMu benar adanya.
*****
DIANTARA DUA PILIHAN
Sebulan lagi, tahun ajaran baru akan segera dimulai. NEM ku yang besar membuat aku leluasa memilih sekolah terbaik yang ada di kota Bandung. Kenapa sampai sekarang aku kesulitan menentukan sekolah?. Setiap kali ayah atau ibu bertanya, aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Malam itu, aku sengaja tiduran di kamar ibu. Aku berharap bisa  ngobrol  banyak  hal  dengan  kedua orangtua ku.
"Teh, kenapa tiduran disini?" tanya ayah. "Biarin aja... kangen dipeluk sama ibu."
"Trus, ayah tidur dimana?. Masa, jadi tidur  berempat disini. Ade Mahdi bisa kejepit sama badan teteh lho."
"Ibuuuu..." rajukanku pada ibu biasanya ampuh. Ibu yang sedang  membaca  buku cerita  ahirnya tersenyum dan melambaikan tangannya.
"Duduk dekat sini, teh," kata ibu.
"Aku melanjutkan sekolahnya dimana?"
"Siapa yang mau bersekolah, ibu atau teteh?" Ayah menimpali.
"Aku, tapi..."
"Maunya teteh bagaimana?" ayah bertanya serius. Kali ini koran yang sejak tadi dibacanya disimpan ke meja kecil di sudut kamar.
"Aku mau sekolah yang bisa memberi kesempatan yang banyak buat murajaah. Tapi, aku juga mau bersekolah yang memberi ilmu umum lainnya".
"Ya sudah, teteh masuk pesantren modern aja. Disana diajari pelajaran umum dan juga pelajaran agama. Murajaah menjadi salah kewajiban semua santri. Ada banyak pesantren yang bisa teteh pilih. Mau di kota Tasik, Kuningan, Cerbon atau mau ke Jombang?". Ayah mengajukan banyak alternative. Waduh... semua ada di luar kota Bandung. Aku semakin bingung.
Ibu dengan cepat memeluk erat. Tangannya mengusap punggungku dan berkata lembut.
"Teh, masa depanmu ditentukan oleh pilihan  sekolah yang saat ini teteh buat. Ibu dan ayah akan mendukung semua keputusan yang teteh ambil. Kalau teteh merasa perlu untuk mempelajari apa dan