Mohon tunggu...
Abdul AzizArifin
Abdul AzizArifin Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Meraih Mimpi Menggapai Asa

4 Maret 2022   06:28 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:30 2781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku berjalan pelan menuju kursi Kyai. Tangan Kyai langsung mendekap erat tubuh kecilku. Beliau mengusap-usap jilbab yang kupakai. Saat itu, Aku sempat mengintip wajah kyai. Ada genangan air mata disana.
"Sayang... tinggallah disini, di rumah kakek. Kau bisa belajar banyak hal. In Syaa Allah, cita-cita mu untuk membangun  pintu  syurga  buat  Ibu,  bisa diwujudkan disini."  Kyai  berbicara  lembut.  Aku  mengangguk.
"Taukah kau, orang tuamu memberi nama yang indah. Nama adalah doa. Allah sudah menjawab doa orangtua mu. Taukah kau, apa arti nama mu ini?"
Pertanyaan Kyai aku jawab dengan gelengan kepala.
"Wanita yang  berbahagia,  karena  lisan  dan perbuatannya selalu benar."
Kyai menjawab pertanyaanku. Aku tersenyum bahagia. Kyai kembali berbicara dengan ibu.
"Jika Ibu mengijinkan, sekarang juga Faza bisa langsung tinggal di pesantren ini. Tidak perlu tinggal di pondok. Faza akan menjadi anakku, jadi dia punya satu

kamar di pesantren ini. Faza anak yang special. Aku sendiri yang akan menjaga hafalan al Quran nya."
"Subhanallah... jazakillah  untuk  tawarannya, Kyai. Kami harus membicarakan hal ini dengan ayahnya dulu. Untuk  saat  ini,  bolehkah  Faza  berkeliling  pesantren?"
"Ya, tentu saja boleh. Biar santriwati yang mengantar Faza.  Ibu  dan  Bapak  Agus sebaiknya beristirahat di rumah kami. Mari, kita pindah ke sana," kata Pak Zainal ramah.
*****
Pesantren ini, mempunyai fasilitas yang jauh lebih bagus. Ada kelas-kelas yang memiliki fasilitas IT modern, dan  kamar-kamar  untuk  santri  memiliki fasilitas lengkap. Satu kamar digunakan empat orang. Ada dua tempat tidur susun, empat meja dan kursi belajar, empat  lemari  pakaian,  satu  kulkas  dan  dispenser serta satu kamar mandi.
"Disini, semua warga pesantren menggunakan dua bahasa,  Inggris dan arab.  Jika  ada  yang  menggunakan bahasa Indonesia, maka dikenai hukuman atau denda berupa kegiatan menghafal kosa kata baru.

Bagi santri baru, aturan ini tidak berlaku pada tiga bulan pertama. Setelah tiga bulan, semua santri dapat berkomunikasi dengan dua  bahasa."  Ukhti  Imas menjelaskan tata tertib pesantren saat kami melihat kelas bahasa.
"Susahkah belajar disini, uhkti?" tanyaku penasaran.
"Tidak. Malah terasa sangat menyenangkan!. Ustadz dan ustadzah sangat faham bagaimana mengajari kami. Mereka sangat sabar,jadinya seperti orangtua sendiri. Pembelajaran  dilakukan  dengan suasana yang penuh semangat. Oh ya, Santri baru biasanya tidak boleh pulang ke rumah, sebelum satu tahun mondok  disini.  Tapi,  orangtua  bisa  datang menjenguk anaknya setelah enam bulan santri belajar di pesantren."
"Duuuh. Lebih berat lagi nih."batinku mengeluh. "Kenapa, Za. Takut ya?" Ukhti Imas sepertinya
faham dengan raut wajahku yang terlihat lesu.
"Tidah, ukhti. Hanya kaget saja. Setahun tidak ketemu keluarga, berat banget tuh..." kataku jujur.

"Ya... awalnya memang berat.Tapi, disini kita menjadi keluarga  besar  yang  saling  menyayangi. Landasan cinta karena Allah menjadikan kami menjadi keluarga besar yang sangat dekat. Oh ya, kiriman makanan dari  keluarga  bisa  jadi  obat  mujarab kangennya. Padatnya jadwal belajar juga membuat waktu setahun jadi terasa seperti sebulan. Ana sudah empat tahun mondok, Alhamdulillah  betah.  Malah, kalau libur pesantren, dan pulang ke rumah jadi terasa aneh. Maunya kembali ke pesantren secepatnya". Ukhti Imas berkata seperti itu sambil tertawa. Dia berasal dari Cianjur, sudah menjadi santri senior disini.
"Ukhti, setelah tamat mondok disini, mau kuliah dimana?" tanyaku penasaran.
"Fakultas kedokteran UIN, Jakarta." Jawabnya mantap.
"Emang bisa, gitu?" tanyaku heran.
"Kenapa tidak? Ada banyak senior kami yang mendapat beasiswa dan kuliah di fakultas kedokteran UIN Jakarta. Bahkan, mereka ada yang sudah lulus. Sekarang mengabdi di pesantren ini. Dokter Ikhsan, dulu beliau lulusan terbaik dari pesantren ini."

"Waaah.. hebat!"
"Iya. Banyak juga alumni kami yang kuliah di Sudan, Mesir dan Saudi Arabia. Mereka dapat beasiswa penuh lho. Pokoknya, belajar disini gak akan kehilangan kesempatan hidup bahagia di dunia dan akhirat!" Ukhti Imas berpromosi. Aku tertawa sambil mengangkat kedua jempol.
"Ada yang diterima di ITB?" tanyaku iseng. "Belum. Mungkin nanti ada, setelah Faza mondok
disini," kata Ukhti Imas sambil menyalamiku. Lagi-lagi kami tertawa bersama. Kami baru bertemu, tapi Ukhti Imas sangat ramah, sehingga aku betah berlama-lama keliling pesantren.
Selama dua jam berkeliling, aku tidak melihat sampah. Semua  gedung  tampak  bersih  dan  rapi. Pepohonan rimbun  mengelilingi kompleks,  sehingga udara segar terasa di seluruh pesantren. Tanpa terasa, kami berdua sudah kembali ke rumah Kyai. Ukhti Imas mengantarku bertemu Ibu.
Ibu tersenyum cerah menyambutku. Dia sedang bersiap makan siang. Ada ikan bakar, sambal, lalap

daun singkong rebus dan tempe goreng yang tersaji diatas meja makan.
"Oooh ini yang namanya Faza, cantik sekali. Sini, Nak. Salim ke Umi!"
"Umi ini istrinya Kyai," kata ibu. Aku mengangguk takjim padanya, lalu mencium tanganUmi.
"Kita makan bersama, yuk. Ukhti Imas juga ya." "Jazakillah, Umi. Saya sudah makan. Saya akan
melanjutkan tugas piket dulu. Mohon pamit..." kata Ukhti Imas. Umi mengangguk.
Siang itu, aku makan dengan lahap. Ustadz Zainal punya istri yang pandai memasak. Ikan nila bakar ini sungguh nikmat. Nasi yag disuguhkan juga tak kalah enaknya, rasanya berbeda dengan yang biasa kami makan di  rumah.  Ternyata,  itu  karena  proses memasaknya di tungku dan menggunakan kayu bakar.
Suasana pedesaan  yang  asri  menjadi pemandangan yang langsung dapat dilihat saat makan. Ya, itu karena kami makan siang di bale-bale belakang rumah Kyai. Ada kolam ikan dibawah bale-bale ini, sehingga sisa-sisa makanan langsung dibuang ke kolam. Ikan-ikan besar dan kecil langsung berebut remah

makanan yang aku lempar. Aku betah berlama-lama menyaksikan ikan-ikan  ini.  Sayangnya,  hari  terus beranjak sore, dan kami harus melanjutkan perjalanan pulang. Usai shalat Ashar, kami pamitan pada tuan rumah.
"Faza, kakek menunggu kedatanganmu di pesantren. Jangan  lupa,  ya...  teruskan  kebiasaan mujaraah nya. In Syaa Allah akan menjadi jalan menuju ridhaNya. Pesantren membutuhkan orang-orang hebat seperti dirimu, Nak. Pesantren bukan tempat membuang anak nakal yang tidak diharapkan orangtuanya. Kakek selalu berharap, ada banyak anak hebat yang iklas mempelajari ilmu Allah disini." Kyai memegang erat tanganku. Aku tersenyum dan mengangguk hormat.
Mobil kembali melaju, kali ini tujuannya ke kota Bandung, kota dimana aku tinggal. Sepanjang perjalanan aku memikirkan kata-kata terahir yang  diucapkan kyai dan Ukhti Imas. Mampukah aku hidup selama lima tahun di pesantren?. Pertanyaan itu tidak berani kujawab. Aku memilih untuk tidur saja.

perjalananyangberkelok-kelokmembuatkepalaku sedikit pusing.
*****
Jadwal pendaftaran siswa baru tinggal tiga hari lagi. Sampai sekarang, aku belum bisa memutuskan mau melanjutkan sekolah dimana. Malam itu, ayah dan ibu masuk ke  kamarku.  Diam-diam,  aku  sedikit takut berhadapan dengan mereka berdua.
"Teh, boleh ayah bicara sebentar?" tanya ayah.
Aku mengangguk, menghentikan membaca buku.
"Bagaimana, sudah membuat keputusan tentang sekolah?"
"Belum, yah. Aku masih bingung. Pesantren memang menarik, tapi aku tidak berani jauh dari rumah. Aku gak mau pisah dari ibu..."
"Teteh tdk bisa bersekolah di tsanawiyah, karena jadwal pendaftarannya sudah lewat seminggu yang lalu. Ayah kira, teteh jadi mesantren..." suara ayah sedikit ditekan saat mengatakan mesantren. Tentu saja, ayah kecewa karena  aku  tidak  mendaftar  di  madrasah tsanawiyah yang sama dengan tempat Aa belajar. Aku diam, makin menunduk.

"Dimanapun kau bersekolah, ibu dan ayah akan mendukungmu. Tapi, kondisi sekolah di luar sana berbeda dengan sekolah lamamu. Teteh harus bisa menerima keadaan dan terus bertahan dengan prinsip- prinsip belajar yang sudah dimiliki saat ini. Masa depanmu ditentukan  dengan  apa  yang  akan  kau lakukan." Kali ini ibu berbicara pelan, tapi tegas.
"Jadi, bagaimana?" ayah kembali bertanya.
"Aku tetap bersekolah di Bandung saja, bu." Ahirnya aku bicara.
"Tidak jadi mesantren?" ayah bertanya memastikan. Aku mengangguk.
"Baiklah, ini keputusanmu. Kami akan mendukung semua yag kau putuskan sendiri. Sekarang, sekolah mana yang kau pilih?" ayah kembali bertanya.
"Aku bersekolah di SMP Negeri saja, yah."
"Besok, ibu akan mengajakmu untuk mendaftar di sekolah negeri yang katanya terbaik di wilayah timur.
Kita lihat bersama, seperti apa, ya. Tapi ingat, kalau sudah mendaftar, tidak bisa pindah sekolah lagi." Ibu berkata dengan suara tegas. Aku menganggukkan kepala, tanda setuju.
*****

SEKOLAH BARUKU

Bangunan sekolah ini lebih kecil dari SD ku, hanya berupa gedung dua lantai dengan luas lahan yang mungkin sekitar seperempatnya dari luas sekolahku dulu. Ketika aku mendaftar, petugasnya tersenyum ramah dan mengatakan, "Ini NEM tertinggi. Pasti diterima, bu!". Ibu hanya tersenyum, lalu pamit pulang. Aku yang ada disamping ibu juga ikut tersenyum.
"Teteh yakin, mau sekolah disini?" Ibu kembali bertanya. Aku mengangguk.
"Yakin, tidak mau mesantren?"
"Iya, Bu. Yakin." Aku menjawab pendek. Dalam hati, sebenarnya  aku  masih  ragu.  Bisakah  aku beradaptasi dengan baik? Entahlah....
Selesai urusan mendaftar sekolah, aku dan ibu kembali pulang. Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak berdiam diri. Setidaknya, aku harus menunggu sekitar sepuluh hari dari sekarang untuk memulai bersekolah di SMP Negeri.
*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun