"Di ruang UKS. Sudah, jangan bergerak dulu. Istirahatlah!" kata Dinda sambil mengusap keringat di keningku. Tangannya dengan sigap memperbaiki letak selang oksigen yang menempel dihidungku.
"Maafin aku, ya. Gara-gara aku, kamu jadi gak ikut pelajaran olahraga."
"Hei, jangan ngomong begitu ah. Aku malah seneng, gak harus ikut olahraga. Sekarang ini teman-teman belajar lempar cakram. Sakit lho tangan kita keputer- puter. Aku malah menikmati duduk santai, nemani kamu." Dinda menjawab santai. Anak ini, selalu saja menikmati setiap moment tanpa beban.
Tidak berapa lama, Dokter sekolah sudah berdiri disampingku. Dia memasang alat tensi, thermometer badan dan memeriksa detak jantung, juga pernafasanku dengan teliti. Dinda, dengan antusias memperhatikan pemeriksaan itu.
"Dok, Faza kenapa nih?" tanyanya sopan.
"Hmmm... namamu Faza?" dokter mengabaikan  pertanyaan Dinda. Dia masih fokus memeriksa mataku.
"Iya dok," jawabku lemah.
"Kamu punya penyakit jantung bawaan, ya? Gurumu tau?" dokter itu  bertanya sambil  tersenyum.  Aku mengangguk, tapi kemudian menggeleng.
"Maksudnya apa nih?" dokter tersenyum. Gerakan tubuhku memang  membingungkan,  karena  artinya sangat berlawanan.
"Saya memang PJB, dok. Bu guru tidak tau penyakitku ini," kataku menjelaskan.
"Naaah... ini berbahaya. Kejujuran itu penting, Mbak. Guru bisa dipersalahkan jika kamu tiba-tiba pingsan seperti tadi. Bagi orang lain, pemanasan seperti berlari sejauh 2 kilometer itu gak masalah. Tapi, bagi kamu itu, hal sekecil apapun bisa menjadi masalah besar dan mengancam keselamatanmu sendiri." Pak dokter menjelaskan dengan lembut.
"Saran saya, dua jam kedepan kau istirahat disini. Alhamdulillah, kondisimu  tidak  parah.  Saya  kasih vitamin ya dan infus supaya lemasmu lekas kabur. Bukankah kamu mau belajar lagi?"
"Ya, dok. Makasih."
"Pulang sekolah, saya sarankan agar segera periksa ke dokter keluargamu. Mereka pasti lebih faham obat apa yang biasa digunakan. Oke!"
"Iya, dok." Lagi-lagi aku tersenyum dan mengangguk hormat. Dari kursi, mata Dinda melotot, sepertinya dia tidak percaya dengan pembicaraan kami.
Selesai memeriksa keadaanku, dokter itu pamit dan kembali ke tempat tugasnya di gedung seberang sekolah. Sekolahku memang berada di dekat gedung perkantoran militer, sehingga punya fasilitas lengkap. Dokter yang tadi datang merupakan bagian dari kerjasama sekolah dengan mereka.
"Za... serius deh. Kamu mengidap PJB?" tanya Dinda penasaran. Aku mengangguk.
"Selama ini, aku gak nyangka. Kadang sih, aku lihat bibir merahmu kadang berubah warna jadi membiru. Kukira karena kedinginan atau capek."
"Aaah... gak harus di dramatisir deh. Enam belas tahun penyakit ini bersahabat dengan tubuhku, dan selama ini aku baik-baik saja. Tadi itu, mungkin karena aku kecapean. Tiga hari ini aku tidur larut malam terus. Peer kita kan banyak."
"Memangnya, kamu tidur jam berapa?"
"Jam Sembilan.  Aku  tiap  hari  pulang magrib.
Rumahku jauh. Wajar jika sekarang aku kecapean"
"Idiiih. Pantesan. Rumahnya pindah aja. Ke rumahku yuk. Dari sekolah Cuma setengah jam. Ada sopir yang siap antar jemput pula," Dinda  berkata sungguh- sungguh.
"Aku yakin, mamih senang anaknya nambah. Rumah sepi, Za. Kami hanya bertiga. Eh berlima deng, dengan sopir dan asisten rumah tangga."
"Terima kasih untuk ajakanmu, Din. Tapi aku gak bisa jauh dari ibu." Tolakku halus.
"Anak mamih  juga  rupanya,"  godanya  sambil mencubit hidung pesekku.
"Eh, hati-hati. Ntar makin pesek nih!" candaku. "Biarin, tetap cantik kooo!"
Kami tertawa bareng. Aaah. Senangnya punya teman sebangku yang baik. Andai Dinda membiarkan aku sendiri disini, iiih... serem. Ruangan ini kan jarang ditempati. Ada jendela besar di sisi kiri. Dari jendela itu, kami bisa melihat pohon beringin tua di seberang jalan.
Tidak terasa, hampir satu jam berlalu. Aku sempat tertidur beberapa lama. Dinda yang menemaniku duduk manis di sofa empuk yang letaknya dekat dengan tempat tidur yang kutempati ini.
"Dinda, bagaimana kondisi Faza?. Dokter sudah datang memeriksa ya?" sayup, kudengar suara bu guru. Pelan, kubuka mataku yang masih mengantuk. Infus dan selang oksigen membuat kantukku makin menjadi.
"Maafkan saya, bu guru..." kataku lirih.
"Eeeh. Jangan dipaksakan bangun. Merem saja." Perintah Bu Rita.
"Seharusnya, kamu bilang ke Ibu kalau kamu ada riwayat PJB. Mulai sekarang, setiap pelajaran olahraga, kau harus memakai pin merah ini di bajumu.  Ingat  itu, ya. Dinda, kamu boleh masuk kelas lagi. Biarkan Faza istirahat saja disini. Nanti, ada petugas piket yang  sesekali datang memeriksa keadaannya." Bu Rita  memberi instruksi  yang  tegas.  Kami  berdua mengangguk.
Dinda segera kembali ke kelas. Aku sendiri, langsung tertidur pulas.
"Mbak Faza, bangun. Makan siang dulu, ya"
Suara yang tak asing ditelinga membangunkan tidurku. Alhamdulillah, sudah  jam 11.45.  ini  jam istirahat kedua. Mbak Isma, petugas kebersihan kantin membawakan semangkuk lontong sayur panas dan  segelas teh manis hangat. Dia  membantuku untuk duduk di kasur. Badanku sudah lebih segar, jadi aku bisa duduk tegak. Selang oksigen sudah kulepas, dan klep di tabungnya kumatikan.
Aku segera makan makanan yang disediakan Mbak Isma. Selang berapa lama, beberapa anak DKM Mesjid sekolah datang ke ruang UKS.
"Faza, gimana kabarnya sekarang?" tanya Rizal, teman sekelasku yang juga sama-sama aktif di rohis sekolah.
"Alhamdulillah. Sudah baikan." Jawabku pendek. "Duuh, malu nih pada nengok segala. Makasih ya." "Gak apa, kita semua datang untuk mendoakanmu.
Semoga lekas sembuh ya, Mbak Faza." Kali ini, Dinda menggodaku. Aku tertawa.
"Ruang UKS nyaman juga ya. Kalau aku capek dan malas belajar, bisa pura-pura sakit trus tiduran deh disini," kata Amira usil.
"Yey... aku sih gak mau kesini lagi. Cukup sekali saja merasakan nikmatnya tidur  siang,  diperiksa dokter militer, dan dikirimi makanan dari kantin. Dapat bonus pin merah pula nih!" kataku pada Amira.
"Waah ... keren tuh. Aku pernah lihat, ada kakak kelas yang pake pin seperti ini. Disaat teman-temannya kecapean berolahraga, dia hanya berolahraga ringan di dekat gurunya. Enak banget kan?" Kali ini, Syahdan yang berkomentar. Semua teman-teman yang mendengarkan jadi tertawa. Usai makan lontong kari, aku ikut teman-teman kembali ke kelas. Sebelumnya, aku lapor dulu pada petugas piket UKS.
*****
Hari ini ibu datang ke sekolah untuk mengambil hasil belajar selama semester pertama. Walaupun nilai harian kami bentuknya angka skala 10 sampai 100, pada raport, selain angka juga ada nilai berupa abjad dengan skala A hingga D.
Wali kelas membuka kegiatan pertemuan dengan memberikan sambutan dan apresiasi yang tulus, Karena menurut beliau, kami belajar dengan penuh antusias, kompak dan memiliki ikatan persaudaraan yang tulus.
Hal inilah yang membuat kami dapat melalui hari-hari panjang yang melelahkan dalam kondisi tetap ceria walau pulang pukul 16.00.
Bu guru mengumumkan peringkat lima besar dengan nilai rata-rata 92,50. Alhamdulillah, namaku ada di urutan ketiga. Mantap!. Sebenarnya, walaupun tidak masuk peringkat lima besar, nilai teman-teman tidaklah terlalu buruk. Selisih nilai kami hanya berkisar antara 0,5 sampai 0,05.
Rata-rata kelas 89,75. Dinda yang berada di urutan
12 mendapat nilai rata-rata 92.30. dengan bangga dia berkata, "Disini, aku peringkat ke 12 dari 38 siswa. Tapi kalau aku bersekolah di tempat kakakku dulu, dengan nilai rata-rata ini, aku bisa juara umum. jadi, aku masih bisa tersenyum bangga pada Abang."
Usai pembagian hasil raport, keesokan harinya kami semua mengikuti pesantren kilat di daerah Baabussalam, Dago. Hanya teman-teman yang tidak beragama Islam saja yang tidak mengikuti kegiatan ini.
Aku diantar ayah dengan motor ke pesantren. Jalanan menuju pesantren macet, penuh dengan mobil- mobil yang mengantar siswa. Aku sudah agak terlambat
saat datang, sehingga dengan terburu-buru langsung menuju ruang panitia untuk reservasi kamar.
"Siapa namamu?" tanya petugas pesantren. "Faza, pak." Jawabku singkat.
"Sebentar..." beliau memeriksa daftar nama dengan teliti. Namaku rupanya ada di nomor kamar 384.
"Kamu naik ke Lantai tiga, dari lift belok kiri. Kamarmu ada di ujung selasar sebelah kiri, menghadap ke selatan. Faham?" katanya memberi petunjuk. Aku mengangguk, cepat berjalan menuju lift. Duuh... penuh sekali antriannya. Aku melihat di sisi kiri ada tangga. Beberapa siswa sudah bergerak menuju tangga. Aku ikutan.
Benar, kamar nomor 384. Aku mengetuk pintu. "Masuk saja, pintunya tidak dikunci!" suara seorang lelaki. Aku kaget. Kamar nomor 384, itu yang dikatakan petugas reservasi. Nggak salah nih? Kataku dalam hati. Aku diam didepan pintu kamar, gak berani membukanya.
Tiba-tiba, pintu dibuka dari dalam. "Manja banget sih, musti pake acara minta dibukakan pintu segala!" seseorang berbicara dengan suara pelan, tapi jelas
terdengar ditelingaku. Itu suara anak laki-laki yang tadi bicara.
Ketika pintu terbuka, kami berdua sama-sama kaget. Eh, Ini kan Bambang, temanku di rohis. Oh No... ini pasti salah!.
"Eh, kamu ko kesini?" tanya Bambang, kikuk.
"Iya, petugas bilang, aku dapat kamar 384." Jawabku tak kalah sungkan.
"Kamu salah kamar. Penghuni kamar ini sudah tiga orang, semua lelaki. Ayo, aku antar kau ke petugas reservasi lagi!" katanya  menawarkan diri  untuk membantu.
" Gak usah, aku bisa sendiri. Terimakasih untuk kebaikanmu." Kataku, lalu buru-buru berjalan kembali menuju pintu lift. Untunglah, lift ini sudah kosing dan siap turun.
Di pintu keluar lift, aku bertemu Faza Aditia Gumay, kawanku di Rohis. Dia tertawa dan berkata; "kamu nyasar kamar juga ya? Hahaha... senasib. Kamarmu di
267. Tadi aku kesitu. Kebetulan nama depan kita sama." Aku mengangguk, bergegas pergi menuju kamar yang disebutkannya. Aaah namaku terlalu maskulin rupanya.
Sehingga bisa tertukar dengan anak laki-laki. Memalukan saja.
Kamarku rupanya sudah diisi oleh tiga orang teman lainnya, yang ternyata berbeda kelas. Aku satu tempat tidur dengan Tria, anak X IPA 7. Tria orangnya cerewet. Apapun akan mendapat komentari darinya.
"Ooh ini toh Faza yang nyasar itu. Is is iiiis, bagaimana bisa kau nyasar disarang cowok? Tak pantas itu Mbak," itulah komentar  pertama yang menyambutku. Aku hanya tertawa malu.
"Nyasar sendiri sih boleh, tapi gak kasih pengganti cowok buat kita juga kaleee" timpal yang lainnya. Duuuh, aku makin malu.
"Eeeh, iya maaf teman-teman. Semua ini bukan salah kami berdua. Petugas didepan yang salah mengidentifikasi nama kami. Padahal, disamping nama itu ada petunjuk jenis kelamin. Mungkin dia mengabaikan data itu," kataku berargumentasi. Mereka mengangguk-angguk sambil tersenyum, kompak.
"Kalm, Za... dengan kejadian ini, aku tak akan lupa namamu. Hai, aku Zahra. Kelas X IPA 5. Dan ini teman