Mohon tunggu...
Zatil Mutie
Zatil Mutie Mohon Tunggu... Guru - Penulis Seorang guru dari Cianjur Selatan

Mencintai dunia literasi, berusaha untuk selalu menebar kebaikan melalui goresan pena.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta dalam Secuil Wajik

12 November 2022   20:51 Diperbarui: 12 November 2022   21:19 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajik: Dok. Pribadi

Saat derai hujan menghiasi senja.  Pria paruh baya itu kembali datang. Wajah sayu dengan sorot mata memelas. Penampilannya pun tak seperlente dulu. 

Tubuhnya basah kuyup, lalu  berbaring di ranjang tua yang sengaja Ibu simpan di kamar belakang.  Kini ia mengiba pada wanita yang berdiri tanpa respons di sisi kursi tua dekat lemari pakaian.

"Aku bangkrut, War," ucapnya dengan wajah sedih.

Ibu hanya terdiam mendengar ratapan itu.

"Lalu, ke mana istri yang kamu manjakan itu? yang kau utamakan melebihi anak-anakmu dulu?" jawabnya, sambil membenahi hijab kecokelatan yang sudah tak keruan letaknya.

Sudah menjadi hal lumrah rasanya, jika suami akan kembali kepada istri pertama. seorang suami akan pulang usai tak sanggup lagi menjadi pengumbar nafsu yang bergelora.

Diam-diam aku dan Kakak menguping. Dalam benak kembali berputar kenangan-kenangan masa silam.

***

        Ayah menggadaikan sawah warisan dari Kakek yang Ibu terima lima tahun lalu. Setelah beberapa waktu bangkrut dari usaha furniture-nya.

Melihat kesungguhan Ayah, Ibu memberikan izin. Baginya apa pun akan dia relakan jika itu bisa membantu perekonomian keluarga.

***

Aku sedang membantu mengemas wajik-kue basah-produksi ibu. Saat kudengar Ibu berkali mengucap syukur setelah menutup teleponnya.

"Syukurlah proposal pengajuan usahamu diterima Pak Lurah, Mas!" ucap Ibu dengan sudut mata yang mulai basah.

"Yang benar, Bu?" Ayah menatap wajah wanita di hadapannya lekat, dengan pandangan tak percaya.

Ibu mengangguk sambil tersenyum penuh haru. Lalu, kami menikmati sisa produksi wajik atau wajit khas Sunda yang begitu manis nan legit. Ya, kue ini menjadi pengantar roda ekonomi keluarga kami beberapa tahun belakangan. Ayah dan Ibureka  segera asyik bercerita tentang mimpi-mimpi yang ingin mereka rangkai di masa depan. Tentunya tentang kami juga tumpuan harapan mereka.

Aku dan Kakak hanya mendengarkan percakapan mereka. Ikut merasakan bahagia sambil menikmati teh hangat secangkir berdua,  meski saat itu kami hanyalah bocah polos dengan usia yang berdekatan. Aku sepuluh tahun dan Kakak berbeda dua tahun.

Bahagia, karena prahara yang pernah kami alami beberapa waktu terakhir ini mulai sirna.

Masih terlukis dengan jelas di benak ini bagaimana pertengkaran terakhir Ayah dan Ibu sekitar setahun yang lalu. Meski selama ini aku memang sering melihat mereka cekcok, tapi beberapa waktu kemudian rujuk kembali. Namun, pertengkaran terakhir itu, sepertinya benar-benar akhir dari kebersamaan orang yang kami kasihi.

Cerita itu berawal setelah usaha produksi minyak kelapa asli berjalan dengan lancar. Kondisi ekonomi kami mulai membaik. Ayah semakin rajin dalam dunia bisnisnya, sementara ibu memang sejak lama menerima pesanan kue wajik untuk hajatan atau acara kenduri tetangga.

Waktu kian bergulir. Roda kehidupan berputar ke sisi yang lebih baik. Lalu, mulai terdengar desas-desus itu. Kabar tentang Ayah yang menjalin hubungan sembunyi-sembunyi dengan wanita lain di luaran. Tadinya, Ibu bilang itu cuma fitnah dari orang-orang yang tak suka akan kemajuan usaha Ayah saja. Namun, semakin lama kabar itu semakin kencang berembus.

Beberapa kali memang aku melihat Ayah bersama seorang wanita. Setiap kali aku diam-diam membuntutinya. Malamnya kudengar Ibu menangis dalam sujud, melangitkan doa-doa yang menyayat hati.

"Siapa tante yang bersama Ayah tadi, Bu?" Aku beranikan bertanya malam itu.

Ibu selalu menggeleng. Lalu, menyuruhku segera pergi  ke kamar untuk belajar. Kakak bahkan menangis meminta Ibu untuk jujur. Mungkin karena dia perempuan. Hingga bisa merasakan penderitaan Ibu.

Ternyata gosip itu menjadi nyata. Ayah melakukan affair dengan wanita lain bahkan berniat menikahinya. Aku tahu saat datang menemui Ayah ke tempat dia bekerja untuk meminta uang SPP. Ayah bersama seorang wanita cantik. Aku tidak diberi uang, tapi justru disuruh pulang dan meminta kepada Ibu.

Setelah itu, Ayah menghilang dari rumah selama beberapa bulan.

***

Beberapa bulan kemudian, Ayah kembali datang. Penampilannya tak seperlente dulu.  Dia menciumi kami satu per satu. Seperti aktor yang sedang memainkan drama penuh intrik.

"Kenapa Bapak balik lagi?kenapa! Apa aku ini hanya tempat kembali saat kau bangkrut?" cecar Ibu  menyambut di depan pintu dapur.

"Wanita siapa? Aku pergi demi urusan bisnis," sergah pria itu tanpa menatap wajah sang istri.

Ibu memandang wajah lelaki yang telah menikahinya selama lebih dari 12 tahun itu dengan tajam, lalu mendengkus.

Selama beberapa hari, Ibu terus membiarkan Ayah dalam kebisuannya. Seolah kehadirannya itu tak dianggap sama sekali. Pertanyaan dan sapaan Ayah tak pernah dijawabnya. Hingga kadang, aku dan Kakak merasa iba pada Ayah dan sedikit kesal dengan sikap Ibu.

"Sampai kapan kamu mau mengabaikanku seperti ini? Apa tak malu dengan anak-anak," keluh Bapak mulai terdengar sore itu.

"Malu? Ayah macam apa yang tak punya malu saat berulang kali main perempuan, lalu pulang saat sudah kere?"

"Ya, aku mengaku salah, Warni. Aku minta maaf."

Malam itu semuanya hening. Kami belum tidur karena takut melihat kilatan petir dan halilintar yang bersahutan. Di ruang tengah, kami mendengar Ayah dan Ibu saling bicara.

Ayah tengah berusaha membuktikan pertaubatannya, sementara Ibu berusaha menelan perihnya pengkhianatan yang telah Ayah lakukan. Perih yang dirasakan seorang istri setelah melihat pria yang dicintainya membagi cinta, dan terus mengulang kesalahan dalam  pernikahan mereka.

Air mata kepedihan luruh, tumpah ruah membanjiri mata yang penuh luka. Ayah bersimpuh di kaki wanita rapuh itu dan berusaha menenangkan. Malam itu, suasana  rumah seakan kembali hangat dari kesepian yang dulu setia menemani.

***

 Setahun kemudian, Adikku hadir ke dunia. Bayi mungil nan cantik. Kami menyambutnya penuh sukacita. Aira, seakan menjadi perekat cinta orang tua kami yang hampir pupus.

Roda ekonomi kembali berputar. Setelah bangkrut sekian lama, Ayah mendapatkan pinjaman dari adiknya Ibu. Kali ini usahanya membuka toko kelontong. Lima bulan, semua masih berjalan lancar.

Namun, saat memasuki dua tahun. Saat bisnis Ayah mulai maju dan keadaan ekonomi sudah stabil, dia kembali bertingkah.

Dari mulai jarang pulang dengan alasan sibuk membuat cabang baru, atau bilang penghasilan toko terpotong karena setoran ke bank yang cukup besar. Jangan sebut nama ayah jika tak pandai menutupinya.

Ibu bukanlah wanita kemarin sore. Ia terus mencari informasi. Hingga akhirnya kembali terkuak fakta jika sang suami mendapatkan tambatan hati lagi.

Hancur lagi hatinya. Setelah itu hubungan mereka tak harmonis lagi. Sering terjadi percekcokan kecil, entah apa sebabnya. Namun, dasar dari semua itu adalah karena rasa kecemburuan Ibu sebagai seorang wanita yang terluka hatinya.

***

Enam bulan kemudian, keadaan makin buruk. Saat kami menemukan Ayah telah menikah lagi dan sudah memiliki anak dari istri mudanya.

Saat itu, semua rasa hormatku kepada Ayah sirna seketika. Rasa benci mulai singgah di hati. Semakin memucak kala melihat bagaimana Ayah tersenyum di acara akikah putranya, sementara Ibu menangis sendirian sambil memeluk si bungsu.

Selang beberapa waktu, Ayah hanya sesekali pulang untuk menjenguk kami anak-anaknya. Itu pun setelah Ibu memohon-mohon agar Ayah memberi anak-anaknya biaya hidup.

***

         Dua tahun kemudian, Ayah mulai sering kembali datang. Rambutnya tak keruan dengan wajah pucat. Pakaian pun tak terurus.

Masih membekas dalam ingatan, kata-kata yang diucapkan Ibu saat Ayah memintanya membuatkan wajik favoritnya.

"Kenapa tidak minta dibuatkan si Yanah?"

Ayah mengembuskan napas dengan berat, lalu menjawab, "Kami sudah berpisah, War."

"Kenapa? Bukannya wanita itu pilihanmu?"

"Aku menyesal sekali. Tolong, Warni. Maafkan semua kekhilafanku. Aku janji tidak akan mengkhianati kamu lagi. Aku bersumpah ...."

Ibu masih diam dalam kecamuk amarah. Sampai kemudian sedikit tergerak saat melihat Ayah menangis di kakinya.

"Cukup!" Ibu menahan tubuh ringkih itu.

"Ampuni aku, War ...." Ayah tetap mencium kaki Ibu.

***
Setelah tragedi itu, Ayah benar-benar bertaubat. Ia berubah drastis dan berjanji akan terus istiqomah menjadi imam untuk kami.

Itulah kebanyakan sifat suami yang ketika keadaan menempatkannya di puncak kejayaan, maka dia akan lupa pada keluarga.

  Namun, dengan penuh kesabaran, Ibu yang makin menua tetap mengurusi Ayahku.

Ayah yang terlihat begitu renta. Sepasang mata yang dulu begitu memikat penuh pesona, kini dihiasi keriput yang selalu ditutupi kacamata.

 Bergetar tangan keriputnya menyeka sudut bibir. Matanya tak henti memandangi wajah teduh wanita yang tak lelah memaafkan kekhilafannya.

"War, kamu ... adalah jodoh terbaik yang sudah Tuhan kirim untukku."

Ibu hanya membalas dengan datar. "Sayangnya, begitu banyak lelaki yang tak sadar mana jodoh terbaik, tapi terus berpetualang dengan kupu-kupu liar di luar sana. begitu seringnya kau membandingkan cinta tulus dengan cinta berbalut hawa nafsu sesaat!"

Ayah menunduk dan meraih jemari keriput Ibu. Lalu, luruhlah tetes demi tetes cairan hangat membasahi sudut pipinya yang telah termakan usia.

Ibu adalah wanita yang memang terlahir memiliki ketulusan hati sempurna. Bukan karena ia tak sakit hati, tapi karena ia begitu ikhlas menerima takdir.

Dikhianati lalu memaafkan lagi. Berkali-kali. Sampai akhirnya Ayah menyadari bahwa ada kalanya wanita selalu memaafkan bukan karena masih menyimpan cinta, tapi karena wanita adalah makhluk yang tak kenal pamrih. Hanya demi kebahagiaan anak-anaknya ia akan rela tetap menerima seberat apa pun pengkhianatan yang dilakukan suaminya.

Tamat

Cianjur,12 November 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun