***
Aku sedang membantu mengemas wajik-kue basah-produksi ibu. Saat kudengar Ibu berkali mengucap syukur setelah menutup teleponnya.
"Syukurlah proposal pengajuan usahamu diterima Pak Lurah, Mas!" ucap Ibu dengan sudut mata yang mulai basah.
"Yang benar, Bu?" Ayah menatap wajah wanita di hadapannya lekat, dengan pandangan tak percaya.
Ibu mengangguk sambil tersenyum penuh haru. Lalu, kami menikmati sisa produksi wajik atau wajit khas Sunda yang begitu manis nan legit. Ya, kue ini menjadi pengantar roda ekonomi keluarga kami beberapa tahun belakangan. Ayah dan Ibureka  segera asyik bercerita tentang mimpi-mimpi yang ingin mereka rangkai di masa depan. Tentunya tentang kami juga tumpuan harapan mereka.
Aku dan Kakak hanya mendengarkan percakapan mereka. Ikut merasakan bahagia sambil menikmati teh hangat secangkir berdua, Â meski saat itu kami hanyalah bocah polos dengan usia yang berdekatan. Aku sepuluh tahun dan Kakak berbeda dua tahun.
Bahagia, karena prahara yang pernah kami alami beberapa waktu terakhir ini mulai sirna.
Masih terlukis dengan jelas di benak ini bagaimana pertengkaran terakhir Ayah dan Ibu sekitar setahun yang lalu. Meski selama ini aku memang sering melihat mereka cekcok, tapi beberapa waktu kemudian rujuk kembali. Namun, pertengkaran terakhir itu, sepertinya benar-benar akhir dari kebersamaan orang yang kami kasihi.
Cerita itu berawal setelah usaha produksi minyak kelapa asli berjalan dengan lancar. Kondisi ekonomi kami mulai membaik. Ayah semakin rajin dalam dunia bisnisnya, sementara ibu memang sejak lama menerima pesanan kue wajik untuk hajatan atau acara kenduri tetangga.
Waktu kian bergulir. Roda kehidupan berputar ke sisi yang lebih baik. Lalu, mulai terdengar desas-desus itu. Kabar tentang Ayah yang menjalin hubungan sembunyi-sembunyi dengan wanita lain di luaran. Tadinya, Ibu bilang itu cuma fitnah dari orang-orang yang tak suka akan kemajuan usaha Ayah saja. Namun, semakin lama kabar itu semakin kencang berembus.
Beberapa kali memang aku melihat Ayah bersama seorang wanita. Setiap kali aku diam-diam membuntutinya. Malamnya kudengar Ibu menangis dalam sujud, melangitkan doa-doa yang menyayat hati.