Hancur lagi hatinya. Setelah itu hubungan mereka tak harmonis lagi. Sering terjadi percekcokan kecil, entah apa sebabnya. Namun, dasar dari semua itu adalah karena rasa kecemburuan Ibu sebagai seorang wanita yang terluka hatinya.
***
Enam bulan kemudian, keadaan makin buruk. Saat kami menemukan Ayah telah menikah lagi dan sudah memiliki anak dari istri mudanya.
Saat itu, semua rasa hormatku kepada Ayah sirna seketika. Rasa benci mulai singgah di hati. Semakin memucak kala melihat bagaimana Ayah tersenyum di acara akikah putranya, sementara Ibu menangis sendirian sambil memeluk si bungsu.
Selang beberapa waktu, Ayah hanya sesekali pulang untuk menjenguk kami anak-anaknya. Itu pun setelah Ibu memohon-mohon agar Ayah memberi anak-anaknya biaya hidup.
***
     Dua tahun kemudian, Ayah mulai sering kembali datang. Rambutnya tak keruan dengan wajah pucat. Pakaian pun tak terurus.
Masih membekas dalam ingatan, kata-kata yang diucapkan Ibu saat Ayah memintanya membuatkan wajik favoritnya.
"Kenapa tidak minta dibuatkan si Yanah?"
Ayah mengembuskan napas dengan berat, lalu menjawab, "Kami sudah berpisah, War."
"Kenapa? Bukannya wanita itu pilihanmu?"