"Malu? Ayah macam apa yang tak punya malu saat berulang kali main perempuan, lalu pulang saat sudah kere?"
"Ya, aku mengaku salah, Warni. Aku minta maaf."
Malam itu semuanya hening. Kami belum tidur karena takut melihat kilatan petir dan halilintar yang bersahutan. Di ruang tengah, kami mendengar Ayah dan Ibu saling bicara.
Ayah tengah berusaha membuktikan pertaubatannya, sementara Ibu berusaha menelan perihnya pengkhianatan yang telah Ayah lakukan. Perih yang dirasakan seorang istri setelah melihat pria yang dicintainya membagi cinta, dan terus mengulang kesalahan dalam  pernikahan mereka.
Air mata kepedihan luruh, tumpah ruah membanjiri mata yang penuh luka. Ayah bersimpuh di kaki wanita rapuh itu dan berusaha menenangkan. Malam itu, suasana  rumah seakan kembali hangat dari kesepian yang dulu setia menemani.
***
 Setahun kemudian, Adikku hadir ke dunia. Bayi mungil nan cantik. Kami menyambutnya penuh sukacita. Aira, seakan menjadi perekat cinta orang tua kami yang hampir pupus.
Roda ekonomi kembali berputar. Setelah bangkrut sekian lama, Ayah mendapatkan pinjaman dari adiknya Ibu. Kali ini usahanya membuka toko kelontong. Lima bulan, semua masih berjalan lancar.
Namun, saat memasuki dua tahun. Saat bisnis Ayah mulai maju dan keadaan ekonomi sudah stabil, dia kembali bertingkah.
Dari mulai jarang pulang dengan alasan sibuk membuat cabang baru, atau bilang penghasilan toko terpotong karena setoran ke bank yang cukup besar. Jangan sebut nama ayah jika tak pandai menutupinya.
Ibu bukanlah wanita kemarin sore. Ia terus mencari informasi. Hingga akhirnya kembali terkuak fakta jika sang suami mendapatkan tambatan hati lagi.