Langkah Kecil Menuju Langit
Dewi menggenggam erat botol plastik bekas di tangannya. Matanya menatap penuh harap pada tumpukan sampah di depan sebuah rumah besar di ujung jalan. Hari ini panasnya menyengat, membuat keringat membasahi lehernya yang kecil. Namun, ia tidak peduli.
“Ayo, Dewi! Kita harus cepat. Kalau tidak, sampahnya diambil orang lain,” seru Bayu, adiknya, yang berdiri tak jauh darinya.
Dewi mengangguk. Ia tahu betapa pentingnya botol-botol itu untuk mereka. Dengan menjualnya ke pengepul, ia bisa mendapatkan uang untuk membeli sekantong kecil beras atau sekotak susu untuk Bayu. Ayah mereka sudah lama tidak pulang, dan ibu hanya bisa berjualan pisang goreng di pasar.
“Hati-hati, Bayu! Jangan sampai kena pecahan kaca,” ujar Dewi, memperingatkan adiknya.
Mereka bekerja sama mengumpulkan botol plastik dan kaleng bekas, memasukannya ke karung besar yang mereka bawa dari rumah. Tangan kecil mereka sudah terbiasa dengan bau busuk dan kotoran yang menempel. Namun, di balik semua itu, ada semangat yang tak pernah padam dalam diri Dewi.
Bayu, yang baru berusia lima tahun, terkadang berhenti untuk bermain dengan barang-barang bekas yang ia temukan. Hari itu, ia menemukan tutup botol yang berwarna-warni dan menyusunnya menjadi lingkaran kecil di tanah. “Kak, lihat ini! Aku buat lingkaran. Bagus, kan?” katanya dengan bangga.
Dewi tersenyum, tapi ia tahu tidak ada waktu untuk bermain. “Bagus, Bayu. Tapi kita harus cepat, ya. Kalau lingkarannya sudah selesai, langsung masukkan tutup botolnya ke karung.”
Bayu mengangguk, meskipun ia kelihatan kecewa. Dewi tahu bahwa Bayu hanya ingin menikmati momen kecil dalam kesehariannya yang keras, tapi mereka tidak punya kemewahan waktu untuk itu.
“Dewi, kalau kita sudah punya banyak uang, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Bayu, sambil memeluk karung yang hampir penuh.
Dewi tersenyum kecil. “Aku ingin beli buku baru dan sepatu sekolah. Kamu juga harus sekolah, Bayu. Kita harus pintar biar nanti bisa bantu Ibu.”