"Kau sempat kenalan? Apa dia tidak pingsan melihat kau?"
"Wow... bukan lagi sempat kenalan. Malah makan bakso sama-sama, dan besok saya akan ke rumahnya. Sudah janjian, kok."
"Nekat juga kau cari penyakit? Anak itu sangat, bahkan terlalu dikekang. Di rumahnya dia serba diatur. Makanya sikapnya itu terlalu polos dan kaku."
"Ah. Tidak juga."
"Ya, lihat saja nanti."
Rais tidak yakin akan kemampuan Inal. Dan diam-diam dia berdoa, seandainya Inal betul akan ke rumah gadis itu, semoga Tuhan melindunginya dari introgasi yang super ketat dari nenek Melani yang terkenal feodal dan masih kolot. Temannya itu memang sudah lama memendam perasaannya. Mudah-mudahan kali ini obsesinya akan tercapai dan dia juga akan melihat keceriaan temannya itu manakala ngomong soal pacar.
********
Inal akan membuktikan kata-katanya pada Melani tempo hari di cafe. Di pilihnya waktu yang tepat. Malam Minggu. Ketika dia menginjakkan kakinya di pekarangan rumah Melani, dia berpapasan dengan cowok yang nampaknya baru saja bertemu. Penampilannya parlente. Cowok itu berusaha tersenyum padanya tapi begitu hambar. Ada kemuraman di wajahnya. Jakunnya bergerak terlalu cepat. Seperti menelan air liurnya yang terasa pahit.
Cowok itu sudah berlalu.
Ditekannya dada yang berdegup sekuat kemampuannya. Inal berusaha duduk sesopan mungkin. Inal rasanya hampir tak percaya bahwasanya sekarang dia duduk di ruang tamu Melani. Tapi nyalinya sedikit ciut tatkala di hadapannya ada wajah angker seorang perempuan tua yang selalu mengawasinya dengan seksama. Mungkin ini neneknya yang terkenal sangar itu yang sering diceritakan Rais, pikirnya.
Inal tak pernah mendapat kesempatan ngomong pada Melani yang duduk di samping neneknya itu. Dia ditanyai macam-macam. Mulai dari status, latar belakang keluarga, sampai kepada maksud dan tujuannya datang bertamu. Ada bagusnya sebenarnya, dan Inal merasa senang. Hal ini mengingatkannya pada tes wawancara tempo hari ketika dia mengikuti lomba mahasiswa berprestasi. Dia ngomong apa adanya dengan hati-hati.