Mohon tunggu...
Zainal Tahir
Zainal Tahir Mohon Tunggu... Freelancer - Politisi

Dulu penulis cerita, kini penulis status yang suka jalan-jalan sambil dagang-dagang. https://www.youtube.com/channel/UCnMLELzSfbk1T7bzX2LHnqA https://www.facebook.com/zainaltahir22 https://zainaltahir.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/zainaltahir/ https://twitter.com/zainaltahir22 https://plus.google.com/u/1/100507531411930192452

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Taulolonna Gowa

18 Februari 2018   16:41 Diperbarui: 22 Februari 2018   14:02 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Inal sering mendengar nama gadis itu diperbincangkan orang, termasuk Rais teman akrabnya yang hobinya keluyuran. Katanya gadis kecil itu 'Taulolonna Gowa'. Namanya Melani, baru kelas dua SMA. Rumahnya tidak jauh dari rumah Rais. Tetapi Rais menyodorkan padanya. Dia sama sekali tidak berminat pada gadis kecil itu.

"Pokoknya beres. Nanti saya yang akan memperkenalkannya padamu," kata Rais.

Inal sangat antusias.

"Kalau saya mau, sejak dulu Melani jadi pacar saya. Tapi saya berikan kesempatan pada kau yang selama ini selalu menanyakannya," katanya. "Kau belum kenalan, kan?" tanyanya kemudian.

Inal menggeleng. Dia tahu sifat Rais memang begitu. Ngomong soal cewek, dia selalu menggampangkan. Ya, memang itu sering menjengkelkan.

"Saya sudah kenal dia, tapi saya bingung gimana caranya supaya dia juga mengenal saya. Itu dulu yang paling penting, " gerutu Inal.

Memang dia sudah lama menyimpan perasaannya dengan rapi di sudut hatinya. Entah kenapa setiap kali melihat gadis kecil itu selalu saja hatinya bergetar. Apalagi pada saat penobatan gadis itu menjadi 'Taulolonna Gowa' beberapa hari yang lalu, Inal hanya berdiri takjub di sudut auditorium. Dia merasa dirinya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan gadis itu.

"Makanya persoalan itu serahkan pada saya," Rais menepuk dadanya.

Ah, Rais yang petualang, saat ini paling sedikit ada tiga pacarnya. Semuanya cantik. Semuanya mencintainya. Mau apa lagi? Rais tinggal menjaga, agar ketiganya jangan saling bertabrakan. Dia harus berbuat adil dan pintar-pintar berbohong. Pintar-pintar mengelabui. Senangnya!

Sedang Inal Cuma minta satu saja. Satu dan tidak lebih. Tapi satu betul-betul mengerti tentang dirinya. Dan bukan cewek materi. Bukan seperti Refisa, Tantri, dan Nourina. Mereka itu pacar-pacarnya Rais yang servisnya lumayan cukup bikin pusing kepala. Mereka tdak mau jalan tanpa ada mobil. Alergi makan kalau bukan Kentucky, Pizza Hut, atau Texas. Dan tiap minggunya tidak pernah alpa di 21.

Untung fasilitas Rais juga memadai. Dia punya mobil pribadi. Uang jajannya juga tiap hari lumayan untuk mentraktir ketiga pacarnya. Sedang Inal setiap harinya kemana-mana mesti pakai kendaraan umum. Kalaupun dia sering jalan sama Rais, itu karena Rais teman kuliahnya. Uang jajannya pun tidak pernah cukup untuk mentraktir seorang teman.

Pacar-pacar Rais itu memang cantik. Pantas saja dia tidak berminat sama Melani, lalu menyodorkannya kepada Inal dan dia mau membantu menguruskannya. Tapi, selama ini, apa yang dapat diharapkan dari dia? Mengurus ketiga pacarnya saja sudah repot.

Ya, sama sekali tidak ada yang bisa diharapkan, bukan berarti Inal tidak mempercayainya, tapi mana buktinya. Inal sudah memutuskan dalam hati bahwa dia akan berusaha sendiri.

********

Inal hampir terjatuh karena tersandung batu di depannya ketika perhatiannya tertumpu pada seraut wajah mungil yang sedang turun dari becak. Alis mata itu terangkat sesaat, kemudian bibirnya berkerut menahan tawa. Dengan gemas bercampur nekat Inal membatalkan langkahnya menuju rumah Rais, lalu berbalik menghampiri gadis itu.

"Kau mentertawakan orang celaka," gerutu Inal pura-pura marah, padahal hatinya memekik riang karena baru kali ini dia mendapat peluang bersua gadis itu.

Alis mata bagaikan camar itu semakin bertaut. Kepalanya menggeleng perlahan, tapi masih ada sisa senyum yang berusaha disembunyikan.

"Saya tidak mentertawakanmu," sergahnya dengan suara bening. Sejenak Inal terpana melihat kepolosan gadis dihadapannya.

"Betul'?"

"Ya!"

"Tapi kau berusaha menahan senyum ketika saya hampir terjatuh tadi!"

Ujung bibir Melani kali ini betul-betul terangkat. Inal mengabadikan ukiran senyum itu, dan dengan hati-hati menyimpannya di sudut hatinya. Ingatannya sejenak melayang ke pentas pemilihan 'Taulolonna Gowa' beberapa bulan lalu. Suatu pentas pemilihan gadis terbaik Gowa. Ketika itu disaksikannya sendiri gadis ini dinobatkan menjadi 'Taulolonna Gowa' untuk tahun ini.

"Kalau kau berjalan seharusnya matamu melihat ke depan."

"Seharusnya kau turun dari becak di depan saya. Agar saya tidak usaha menengok."

Melani mengkerutkan dahi, dia betul-betul tidak mengerti apa yang dimaksud Inal. Dan kali ini Inal tertawa, mentertawakan kebodohan dan kepolosan gadis kecil di hadapannya.

"Mau ke mana, nih?" tanya Inal.

"Makan bakso di Daeng Amir," jawab gadis itu singkat.

"Mana pengawalmu? Biasanya kamu keluar pakai pengawal."

"Ngapain pakai pengawal. Memangnya anak 'Karaeng'."

"Bukan begitu. Kau kan 'Taulolonna Gowa', tidak baik keluar sendiri nanti ada yang culik.

Melani melebarkan matanya, "kok kau tahu?"

"Semua orang di Gowa ini tahu."

Melani mengangguk-angguk senang. Dalam hatinya dia merasa bangga kalau semua orang tahu bahwa dia 'Taulolonna Gowa'. Prestasi yang begitu hebat di kalangan gadis-gadis di Gowa ini. Bukankah sangat menyenangkan punya prestasi gemilang seperti itu?"

"Saya ikut, ya?

"Ke mana?"

"Makan bakso."

"Terserah kamu. Tidak ada yang larang, kok. Asal tahu saja, bayar sendiri!"

"Kalau perlu saya yang bayarin kamu."

Melani terkejut. Kepalanya menggeleng cepat. Dia betul-betul tidak mengerti maksud cowok jangkung di hadapannya. Baru saja dia mendengar cowok itu mengomel. Marah-marah karena ditertawai, sekarang malah mau mentraktirnya. Baik hati sekali.

"Kenapa?"

Kembali Melani menggelengkan kepala. Cowok ini sangat menarik, pikirnya. Matanya bagus dan alisnya membentuk bayangan camar. Kata-katanya lucu meskipun kadang sulit dimengerti.

"Hanya sekadar pernyataan rasa syukur, saya dapat bersua dengan kamu dalam keadaan begini, Melani."

"Hm... saya tidak nolak tapi untuk sementara saya tidak ingin ditraktir."

Inal melangkahkan kakinya mengikuti Melani menyeberang jalan menuju cafe Daeng Amir di seberang jalan itu. Tetapi ketika Melani melihat cowok itu telah duduk di depannya, dia jadi mengeluh. Tiba-tiba dia ingat apa yang dikatakan Inal barusan.

"He," katanya terheran-heran, "Kau tahu nama saya dari mana?"

"Banyak orang yang memberitahukan pada saya."

"Untuk apa mereka memberitahukan nama saya kepadamu?"

"Karena saya menanyakannya."

"Kau menanyakan nama saya?" Melani menatap mata kelam di hadapannya dengan bingung. "Untuk apa?"

"Karena saya ingin tahu," jawab Inal sambil berusaha menahan tawa. Siapa sih yang tidak kenal Melani, gadis manis 'Taulolonna Gowa' ini.

"Kenapa kau ingin tahu nama saya?" Melani tak habis mengerti.

Kali ini Inal tak sanggup menahan diri. Dia berhenti makan. Tawanya meledak sampai membuat Melani terkejut. Tuhan, mengapa masih ada manusia sepolos dia? Atau gadis kecil ini memang betul-betul bodoh? Kalau dia bodoh kenapa justru dia yang terpilih sebagai 'Taulolonna Gowa' menyingkirkan peserta lainnya? Apakah tinggi rendahnya IQ bukan merupakan kriteria penilaian? Sekuat daya Inal menghentikan tawanya.

"Kau belum menjawab pertanyaan saya," sergah Melani di tengah keasyikannya menikmati bakso.

Inal terbatuk sesaat, kemudian meneguk air minumnya. Ditatapnya mata bening di hadapannya lekat-lekat, dengan segenap perasaan. "Karena kau gadis yang sangat menarik," kata Inal hati-hati.

Suasana cafe milik Daeng Amir agak sepi. Beberapa anak muda nampak ngopi di sudut cafe itu.

"Kau cantik, baik dan lucu," lanjut Inal.

Melani merasakan mukanya panas, dan Inal merengkuh pesona di hadapannya sepuas hati. Pipi gadis kecil yang bersemu merah itu mengingatkannya pada buah apel yang dibelinya kemarin sore di pasar Sentral.

"Saya tidak cantik," kata Melani, mencoba membuang rasa malu yang dirasakan. "Yang cantik itu Nunik, adiknya Rais. Dia cantik sekali."

Sesaat Inal merasa curiga dan tersindir, mungkin dia mengira saya sering ke rumah Rais karena ada apa-apanya dengan Nunik, batin Inal. Tapi ketika melihat tatapan polos di hadapannya, dia tahu gadis kecil itu berkata apa adanya.

"Kau juga cantik. Melani," kata Inal sambil tersenyum.

"Tidak!" bantah Melani dengan malu. Oh, kenapa dia kelabakan menghadapi cowok yang baru beberapa saat yang lalu dikenalnya. Padahal kalau dia berjalan di atas cat walk sama sekali tidak canggung.

"Cantik!" kata Inal keras kepala. "Alis matamu bagus. Matamu indah."

"Ah! Gombal!"

"Betul. Saya berkata yang sesungguhnya."

Melani mendelik. O tiba-tiba dia merasa aneh dan takut melihat mata kelam dihadapannya menyorot tajam. Kelompok anak muda yang sedang ngopi di sudut cafe itu mulai curiga.

Inal bangkit setelah menyilangkan sendok garpunya di mangkuk yang sudah kosong itu. "Suatu saat saya akan ke rumahmu dan kita akan lanjutkan pembicaraan. Hm... tentu kau masih ingat orang yang pernah mengirimi kau puisi cinta lewat Taslim, dan meyampaikan salam lewat Nunik, Rais atau Rahmansyah. Tolong deh diinget-inget! Nah, kali ini saya tidak membayarkan kau karena saya lihat dompet kecilmu gembung. Pasti isinya jutaan. See you later," kata Inal seraya meninggalkan cafe itu sambil tersenyum-senyum.

Daeng Amir tersenyum saja melihat tingkah Inal sambil berkata. "Kok ditinggal sedirian. Hati-hati lho nanti dirampas orang lain."

Inal tersenyum lagi.

Melani mengangkat alisnya. Tiba-tiba saja ingatannya menjadi jernih. Diperhatikannya cowok itu dengan seksama. Kemudian dia merasa yakin bahwa pemuda yang sudah berada diseberang jalan menuju rumah Rais itu adalah Zainal Tahir, si mesterius' yang membuatnya sangat penasaran akhir-akhir ini.

********

''Kau brengsek!" gerutu Rais ketika Inal baru saja memasuki pintu. Inal menatap heran. "Kau bilang mau datang jam sebelas, sekarang jam dua belas. Dari tadi saya tunggu kau tak muncul. Terpaksa hari ini kita bolos lagi kuliah!"

Inal tergelak.

"Jangan tertawa, Nal! Kau pikir saya tak marah menunggu sekian lama macam orang bego?"

"Kau sering telat, dan saya sering menunggu kau sekian jam, tapi sekali kau tunggu saya sekian menit, kau kalap!" jawab Inal di sela tawanya.

"Satu jam bukan waktu yang singkat untuk menunggu, Bung!" sergah Rais jengkel.

"Maaf deh, Is. Saya bertemu Melani di jalan."

Sesaat Rais ternganga, kemudian menghempaskan napasnya kuat-kuat.

"Kau sempat kenalan? Apa dia tidak pingsan melihat kau?"

"Wow... bukan lagi sempat kenalan. Malah makan bakso sama-sama, dan besok saya akan ke rumahnya. Sudah janjian, kok."

"Nekat juga kau cari penyakit? Anak itu sangat, bahkan terlalu dikekang. Di rumahnya dia serba diatur. Makanya sikapnya itu terlalu polos dan kaku."

"Ah. Tidak juga."

"Ya, lihat saja nanti."

Rais tidak yakin akan kemampuan Inal. Dan diam-diam dia berdoa, seandainya Inal betul akan ke rumah gadis itu, semoga Tuhan melindunginya dari introgasi yang super ketat dari nenek Melani yang terkenal feodal dan masih kolot. Temannya itu memang sudah lama memendam perasaannya. Mudah-mudahan kali ini obsesinya akan tercapai dan dia juga akan melihat keceriaan temannya itu manakala ngomong soal pacar.

********

Inal akan membuktikan kata-katanya pada Melani tempo hari di cafe. Di pilihnya waktu yang tepat. Malam Minggu. Ketika dia menginjakkan kakinya di pekarangan rumah Melani, dia berpapasan dengan cowok yang nampaknya baru saja bertemu. Penampilannya parlente. Cowok itu berusaha tersenyum padanya tapi begitu hambar. Ada kemuraman di wajahnya. Jakunnya bergerak terlalu cepat. Seperti menelan air liurnya yang terasa pahit.

Cowok itu sudah berlalu.

Ditekannya dada yang berdegup sekuat kemampuannya. Inal berusaha duduk sesopan mungkin. Inal rasanya hampir tak percaya bahwasanya sekarang dia duduk di ruang tamu Melani. Tapi nyalinya sedikit ciut tatkala di hadapannya ada wajah angker seorang perempuan tua yang selalu mengawasinya dengan seksama. Mungkin ini neneknya yang terkenal sangar itu yang sering diceritakan Rais, pikirnya.

Inal tak pernah mendapat kesempatan ngomong pada Melani yang duduk di samping neneknya itu. Dia ditanyai macam-macam. Mulai dari status, latar belakang keluarga, sampai kepada maksud dan tujuannya datang bertamu. Ada bagusnya sebenarnya, dan Inal merasa senang. Hal ini mengingatkannya pada tes wawancara tempo hari ketika dia mengikuti lomba mahasiswa berprestasi. Dia ngomong apa adanya dengan hati-hati.

Dan terakhir nenek itu bilang, "Saya tidak melarang kalian bergaul. Tapi jangan macam-macam dulu. Sekolah saja belum beres-beres, kerjaan belum ada, sudah pintar cinta-cintaan segala. Manalagi asal usulnya tidak jelas. Statusnya tidak karuan, macam-macam saja," orang tua itu meninggalkan tempat duduknya sesudah dia melemparkan tatapan kepada Inal yang mengandung makna curiga.

Ultimatum buat Inal untuk segera angkat kaki dari rumah itu, tapi dia pergunakan kesempatan emas ini untuk ngomong dengan Melani. Mumpung orang tua itu masih berada di dalam dan mungkin saja akan keluar lagi dengan pandangan yang lebih sinis dan mengerikan!

"Di sini ketat, ya?"

"Ah, tidak juga. Memang gitu kok orang tua. Terlalu prihatin. Ini belum seberapa, tapi teman saya tadi kan diusir. Salahnya juga sih dia ngomong cinta segala. Didengar oleh Nenek, habislah dia."

"Mungkin saya juga akan mengalami nasib yang sama."

"Entahlah. Tapi saya melihat kau lebih bisa membawa diri. Pertama kali saya melihat kau, anggapan saya kamu orangnya sableng. Tapi sekarang kok sopan sekali. Saya suka itu."

Tiba-tiba hati Inal terpekik girang. Tapi tatkala orang tua itu muncul lagi lekas-lekas Inal berdiri dan pamitan, "Saya permisi dulu, Nek, belum sholat Isya, nih. Assalamu'alaikum."

"Waalaikum salam," jawab orang tua itu ternganga di sela-sela wajahnya yang sudah mengeriput.

Inal melangkah bagai dikejar setan. Tapi yang jelas hatinya bahagia bukan main. Rupanya dia juga memperhatikan saya, dia suka saya, dia bilang saya bisa membawa diri. Hm... suatu saat saya akan ke rumahnya lagi. Entah besok, minggu depan, bulan depan atau kapan saja. Yang pasti saya akan 'pacari' dulu neneknya!

Sepeninggal Inal, Melani langsung ditanya, "Kenapa temanmu cepat pulang?"

"Memangnya ada apa Nek?"

"Baru saja disiapkan minum. Nenek senang ngobrol sama dia. Siapa tadi namanya?"

"Nenek tanya sendiri, deh. Kan dia akan datang lagi," jawab Melani tersenyum sembari mencium pipi nenek yang keriput.***

(Cerpen ini pernah dimuat di majalah ANITA Cemerlang edisi 420, tanggal 19 - 28 Oktober 1992. Ada sebongkah kenangan yang tak pernah kulupakan)

Keterangan :
- Taulolonna Gowa = Gadis Gowa
- Karaeng = Raja/bangsawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun