Mohon tunggu...
Zaidan Akram Ruslani
Zaidan Akram Ruslani Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010082 | FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS |

Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG Universitas Mercu Buana Meruya Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia, Pendekatan Teori Robert Klitgaard dan Jack Bologna pada Kasus Korupsi E-KTP

21 November 2024   20:09 Diperbarui: 21 November 2024   20:09 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana Kasus Korupsi e-KTP Terjadi?

Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo

Analisis Teori CDMA (Robert Klitgaard)

Menurut Klitgaard, korupsi terjadi karena kombinasi Monopoli, Diskresi, dan minimnya Akuntabilitas. Rumusannya adalah:
Corruption = Monopoly + Discretion -- Accountability

1. Monopoli
Dalam kasus e-KTP, monopoli terlihat dari keterlibatan pejabat pemerintah dan anggota DPR yang memiliki kekuasaan eksklusif untuk menentukan pelaksanaan proyek. Proses tender dikuasai oleh konsorsium yang telah diatur sebelumnya, sehingga persaingan sehat tidak terjadi. 

Monopoli kekuasaan dalam kasus korupsi e-KTP terjadi karena struktur birokrasi dan politik yang tidak transparan. Pada proyek ini, Kementerian Dalam Negeri, sebagai lembaga pengelola, memiliki kewenangan penuh untuk menentukan spesifikasi teknis dan administrasi proyek e-KTP. 

Selain itu, konsorsium yang memenangkan tender adalah pihak yang sudah diatur sejak awal untuk menerima proyek ini. Situasi ini menunjukkan tidak adanya persaingan yang sehat di antara para penyedia jasa, karena prosesnya telah "diarahkan" oleh oknum pejabat.

Proyek sebesar ini membutuhkan pelibatan lebih banyak pemangku kepentingan, seperti lembaga independen, untuk memastikan bahwa prosesnya transparan. Namun, kekuasaan penuh yang dimiliki oleh beberapa individu menciptakan kondisi monopoli yang menjadi akar masalah. Ketiadaan kompetisi memberi ruang untuk memaksimalkan keuntungan pribadi tanpa pengawasan yang memadai.

Selain itu, monopoli tidak hanya terkait dengan penentuan konsorsium, tetapi juga muncul dari dominasi politik anggota DPR yang terlibat dalam penganggaran. Setya Novanto, sebagai Ketua DPR saat itu, memanfaatkan posisinya untuk mengatur alokasi anggaran dan pembagian uang suap kepada pihak-pihak lain yang terlibat.

2. Diskresi:

Diskresi pejabat terlihat dalam keputusan penunjukan vendor proyek e-KTP tanpa melalui proses evaluasi yang transparan. Pejabat seperti Irman dan Sugiharto menggunakan kewenangannya untuk memfasilitasi penggelembungan anggaran dan menerima suap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun