1. Greed (Keserakahan)
Keserakahan menjadi motivasi utama para pelaku, terutama Setya Novanto yang berulang kali terlibat kasus korupsi. Pembagian uang suap kepada para pejabat DPR dan pihak terkait menunjukkan bagaimana keuntungan pribadi lebih diutamakan.Â
Keserakahan menjadi faktor dominan dalam kasus e-KTP. Motivasi utama para pelaku adalah untuk memperkaya diri dan mempertahankan gaya hidup mewah. Setya Novanto, misalnya, dikenal memiliki jaringan bisnis yang luas dan gaya hidup yang glamor. Uang suap dari proyek ini digunakan untuk mendukung kepentingan politiknya, termasuk membiayai kampanye dan membangun kekuatan politik pribadi.
Keserakahan juga terlihat dari pembagian uang hasil korupsi kepada banyak pihak. Berdasarkan laporan KPK, uang suap dari proyek ini dibagi kepada sekitar 60 anggota DPR dan sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri. Pembagian ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya dilakukan untuk kebutuhan mendesak, tetapi untuk memenuhi hasrat pribadi yang tidak pernah cukup.
2. Opportunity (Kesempatan)
Sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah yang lemah menciptakan kesempatan besar bagi pelaku untuk melakukan manipulasi. Peluang ini semakin besar dengan adanya monopoli dan diskresi yang tidak terkontrol.
Kesempatan korupsi dalam proyek e-KTP sangat besar karena lemahnya sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pengaturan tender yang tidak transparan menciptakan peluang bagi pelaku untuk memanipulasi prosesnya. Selain itu, sistem hukum yang belum sepenuhnya tegas terhadap tindak pidana korupsi juga memberikan rasa aman bagi para pelaku.
Peluang lainnya muncul dari kompleksitas proyek e-KTP itu sendiri. Sebagai proyek besar yang melibatkan banyak pihak, celah untuk melakukan korupsi menjadi lebih banyak. Misalnya, dalam tahap pengadaan perangkat teknologi, konsorsium pemenang tender bekerja sama dengan pihak lain untuk memalsukan laporan keuangan dan menaikkan harga barang. Ketidaktahuan masyarakat umum tentang spesifikasi teknis proyek ini juga menjadi keuntungan bagi pelaku korupsi.
3. Need (Kebutuhan)
Dalam beberapa kasus, pelaku korupsi menggunakan alasan kebutuhan finansial untuk membenarkan tindakannya. Namun, pada kasus e-KTP, kebutuhan ini lebih sering berbentuk ambisi politik atau gaya hidup mewah.
Meskipun keserakahan menjadi motivasi utama, beberapa pelaku juga menggunakan alasan kebutuhan finansial untuk membenarkan tindakan mereka. Beberapa anggota DPR yang terlibat, misalnya, membutuhkan dana untuk kampanye politik atau membayar utang. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan finansial dalam dunia politik juga menjadi salah satu pendorong korupsi.
Namun, dalam kasus ini, kebutuhan lebih banyak terkait dengan ambisi kekuasaan dan politik. Banyak pelaku korupsi menggunakan dana haram ini untuk memperluas pengaruh politik mereka, baik melalui jaringan bisnis maupun dukungan partai.
4. Exposure (Peluang Terbongkar)
Risiko terbongkarnya kasus ini relatif rendah karena pelaku memiliki jaringan yang kuat di pemerintahan. Namun, pengawasan publik dan media akhirnya membuka tabir korupsi ini.
Risiko terbongkarnya kasus e-KTP sebenarnya cukup tinggi, mengingat besarnya jumlah uang yang diselewengkan dan banyaknya pihak yang terlibat. Namun, para pelaku berhasil menutupi jejak mereka dengan berbagai cara, seperti:
- Menggunakan nominee (pihak ketiga) untuk menyembunyikan aliran dana.
- Membagi hasil korupsi kepada banyak pihak, termasuk pejabat tinggi, untuk menjaga loyalitas dan menutupi kejahatan mereka.
- Menjalin hubungan erat dengan jaringan politik dan bisnis yang kuat, sehingga mendapatkan perlindungan dari penegak hukum.