Pendahuluan
Korupsi adalah permasalahan sistemik yang menghambat pembangunan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam konteks Indonesia, salah satu kasus korupsi terbesar yang menarik perhatian publik adalah kasus proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).Â
Kasus ini melibatkan banyak pejabat tinggi, termasuk anggota legislatif dan kementerian, dengan nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Dalam artikel ini, teori Robert Klitgaard (CDMA) dan Jack Bologna (GONE) digunakan untuk menganalisis penyebab terjadinya korupsi pada proyek e-KTP.
Apa Kasus Korupsi e-KTP?
Kasus korupsi e-KTP bermula dari proyek pemerintah Indonesia yang bertujuan menciptakan sistem identitas nasional berbasis elektronik. Proyek yang dimulai pada 2011 ini dianggarkan sebesar Rp5,9 triliun. Namun, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan bahwa Rp2,3 triliun dari anggaran tersebut diselewengkan oleh berbagai pihak.
Para pelaku utama dalam kasus ini melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto, pejabat Kementerian Dalam Negeri seperti Irman dan Sugiharto, serta sejumlah anggota DPR lainnya.Â
Praktik korupsi dalam proyek ini melibatkan penggelembungan anggaran (mark-up), pembagian uang suap kepada pejabat, dan pengaturan tender oleh konsorsium tertentu. Akibatnya, banyak pihak yang dirugikan, baik secara finansial maupun kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Putusan pengadilan terhadap Setya Novanto, sebagai salah satu aktor utama, menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara dan kewajiban mengembalikan kerugian negara. Meski telah dijatuhi hukuman, dampak kasus ini masih terasa hingga kini, termasuk lemahnya pengawasan dalam proyek pemerintah lainnya.
Mengapa Kasus Korupsi e-KTP Terjadi?
Kasus korupsi e-KTP muncul akibat berbagai faktor, termasuk:
- Monopoli Kekuasaan dan Diskresi Pejabat: Pejabat tinggi yang terlibat memiliki wewenang besar dalam menentukan kebijakan proyek e-KTP, termasuk penunjukan vendor dan pengelolaan anggaran. Hal ini menciptakan celah untuk melakukan pengaturan tender.
- Ketiadaan Akuntabilitas: Sistem pengawasan yang lemah, baik di internal kementerian maupun DPR, memungkinkan penyimpangan terjadi tanpa deteksi dini.
- Budaya Korupsi Sistemik: Praktik suap dan kolusi telah menjadi norma di lingkungan pemerintahan, sehingga proyek besar seperti e-KTP mudah dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi.
- Motivasi Keserakahan: Sebagian besar pelaku memiliki motivasi memperkaya diri tanpa memedulikan dampak pada negara.
Bagaimana Kasus Korupsi e-KTP Terjadi?
Analisis Teori CDMA (Robert Klitgaard)
Menurut Klitgaard, korupsi terjadi karena kombinasi Monopoli, Diskresi, dan minimnya Akuntabilitas. Rumusannya adalah:
Corruption = Monopoly + Discretion -- Accountability
1. Monopoli
Dalam kasus e-KTP, monopoli terlihat dari keterlibatan pejabat pemerintah dan anggota DPR yang memiliki kekuasaan eksklusif untuk menentukan pelaksanaan proyek. Proses tender dikuasai oleh konsorsium yang telah diatur sebelumnya, sehingga persaingan sehat tidak terjadi.Â
Monopoli kekuasaan dalam kasus korupsi e-KTP terjadi karena struktur birokrasi dan politik yang tidak transparan. Pada proyek ini, Kementerian Dalam Negeri, sebagai lembaga pengelola, memiliki kewenangan penuh untuk menentukan spesifikasi teknis dan administrasi proyek e-KTP.Â
Selain itu, konsorsium yang memenangkan tender adalah pihak yang sudah diatur sejak awal untuk menerima proyek ini. Situasi ini menunjukkan tidak adanya persaingan yang sehat di antara para penyedia jasa, karena prosesnya telah "diarahkan" oleh oknum pejabat.
Proyek sebesar ini membutuhkan pelibatan lebih banyak pemangku kepentingan, seperti lembaga independen, untuk memastikan bahwa prosesnya transparan. Namun, kekuasaan penuh yang dimiliki oleh beberapa individu menciptakan kondisi monopoli yang menjadi akar masalah. Ketiadaan kompetisi memberi ruang untuk memaksimalkan keuntungan pribadi tanpa pengawasan yang memadai.
Selain itu, monopoli tidak hanya terkait dengan penentuan konsorsium, tetapi juga muncul dari dominasi politik anggota DPR yang terlibat dalam penganggaran. Setya Novanto, sebagai Ketua DPR saat itu, memanfaatkan posisinya untuk mengatur alokasi anggaran dan pembagian uang suap kepada pihak-pihak lain yang terlibat.
2. Diskresi:
Diskresi pejabat terlihat dalam keputusan penunjukan vendor proyek e-KTP tanpa melalui proses evaluasi yang transparan. Pejabat seperti Irman dan Sugiharto menggunakan kewenangannya untuk memfasilitasi penggelembungan anggaran dan menerima suap.
Diskresi berlebih terjadi ketika pejabat pemerintah diberikan kewenangan yang sangat luas tanpa batasan yang jelas. Dalam kasus e-KTP, Irman dan Sugiharto sebagai pejabat Kementerian Dalam Negeri, memiliki keleluasaan besar dalam membuat keputusan.Â
Mereka tidak hanya mengatur spesifikasi proyek, tetapi juga menentukan kontraktor yang akan menang. Kewenangan ini digunakan untuk mengatur pembagian keuntungan ilegal dengan konsorsium pemenang tender.
Misalnya, salah satu modus yang dilakukan adalah penggelembungan harga (mark-up) untuk perangkat teknologi dalam proyek e-KTP. Harga perangkat teknologi seperti server, software, dan alat pencetak data penduduk dinaikkan hingga dua kali lipat dari harga sebenarnya.Â
Perangkat yang seharusnya bisa didapatkan dengan harga Rp1 triliun, digelembungkan menjadi Rp2 triliun. Selisihnya kemudian dibagi-bagikan kepada pejabat yang terlibat, termasuk anggota DPR yang "menyetujui" proyek ini.
Diskresi juga terlihat dari kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan. Tidak ada laporan rinci atau keterlibatan publik dalam proses evaluasi proyek. Hal ini menciptakan celah besar untuk korupsi karena tidak ada mekanisme untuk memverifikasi keputusan yang diambil
3. Minim Akuntabilitas
Lemahnya sistem pengawasan dari lembaga internal seperti Inspektorat Jenderal maupun eksternal seperti BPK menjadi faktor kunci. Proyek yang bernilai besar seperti e-KTP seharusnya diawasi secara ketat, namun praktik korupsi berjalan tanpa hambatan hingga audit dilakukan.
Minimnya akuntabilitas terlihat dalam beberapa aspek:
- Pengawasan Internal yang Lemah: Inspektorat Jenderal di Kementerian Dalam Negeri seharusnya berfungsi sebagai pengawas utama untuk mencegah penyimpangan anggaran. Namun, mereka gagal mendeteksi adanya mark-up harga dan penunjukan langsung konsorsium. Lemahnya pengawasan internal ini memperlihatkan bahwa sistem akuntabilitas di internal pemerintahan masih jauh dari ideal.
- Tidak Efektifnya Peran DPR: Meskipun DPR terlibat dalam pengawasan anggaran, banyak anggotanya justru menjadi bagian dari skema korupsi. Mereka menerima suap dari proyek ini, sehingga fungsi pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
- Minimnya Keterlibatan Publik: Akuntabilitas juga berkaitan dengan keterbukaan kepada masyarakat. Dalam proyek e-KTP, informasi tentang proses tender dan pelaksanaan proyek tidak diumumkan secara terbuka. Hal ini membuat masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memantau atau memberikan kritik.
Minimnya akuntabilitas ini memperkuat rumus Klitgaard, yaitu bahwa korupsi tumbuh subur di lingkungan yang kekuasaan terpusat pada segelintir orang, dengan diskresi tinggi, dan pengawasan yang lemah.
Analisis Teori GONE (Jack Bologna)
Teori GONE memberikan perspektif yang berbeda dengan menekankan pada motivasi dan peluang individu untuk melakukan korupsi. Empat elemen utama, yaitu Greed (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan), dan Exposure (Peluang untuk Terbongkar), saling terkait dalam menjelaskan dinamika kasus e-KTP.Â
1. Greed (Keserakahan)
Keserakahan menjadi motivasi utama para pelaku, terutama Setya Novanto yang berulang kali terlibat kasus korupsi. Pembagian uang suap kepada para pejabat DPR dan pihak terkait menunjukkan bagaimana keuntungan pribadi lebih diutamakan.Â
Keserakahan menjadi faktor dominan dalam kasus e-KTP. Motivasi utama para pelaku adalah untuk memperkaya diri dan mempertahankan gaya hidup mewah. Setya Novanto, misalnya, dikenal memiliki jaringan bisnis yang luas dan gaya hidup yang glamor. Uang suap dari proyek ini digunakan untuk mendukung kepentingan politiknya, termasuk membiayai kampanye dan membangun kekuatan politik pribadi.
Keserakahan juga terlihat dari pembagian uang hasil korupsi kepada banyak pihak. Berdasarkan laporan KPK, uang suap dari proyek ini dibagi kepada sekitar 60 anggota DPR dan sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri. Pembagian ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya dilakukan untuk kebutuhan mendesak, tetapi untuk memenuhi hasrat pribadi yang tidak pernah cukup.
2. Opportunity (Kesempatan)
Sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah yang lemah menciptakan kesempatan besar bagi pelaku untuk melakukan manipulasi. Peluang ini semakin besar dengan adanya monopoli dan diskresi yang tidak terkontrol.
Kesempatan korupsi dalam proyek e-KTP sangat besar karena lemahnya sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pengaturan tender yang tidak transparan menciptakan peluang bagi pelaku untuk memanipulasi prosesnya. Selain itu, sistem hukum yang belum sepenuhnya tegas terhadap tindak pidana korupsi juga memberikan rasa aman bagi para pelaku.
Peluang lainnya muncul dari kompleksitas proyek e-KTP itu sendiri. Sebagai proyek besar yang melibatkan banyak pihak, celah untuk melakukan korupsi menjadi lebih banyak. Misalnya, dalam tahap pengadaan perangkat teknologi, konsorsium pemenang tender bekerja sama dengan pihak lain untuk memalsukan laporan keuangan dan menaikkan harga barang. Ketidaktahuan masyarakat umum tentang spesifikasi teknis proyek ini juga menjadi keuntungan bagi pelaku korupsi.
3. Need (Kebutuhan)
Dalam beberapa kasus, pelaku korupsi menggunakan alasan kebutuhan finansial untuk membenarkan tindakannya. Namun, pada kasus e-KTP, kebutuhan ini lebih sering berbentuk ambisi politik atau gaya hidup mewah.
Meskipun keserakahan menjadi motivasi utama, beberapa pelaku juga menggunakan alasan kebutuhan finansial untuk membenarkan tindakan mereka. Beberapa anggota DPR yang terlibat, misalnya, membutuhkan dana untuk kampanye politik atau membayar utang. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan finansial dalam dunia politik juga menjadi salah satu pendorong korupsi.
Namun, dalam kasus ini, kebutuhan lebih banyak terkait dengan ambisi kekuasaan dan politik. Banyak pelaku korupsi menggunakan dana haram ini untuk memperluas pengaruh politik mereka, baik melalui jaringan bisnis maupun dukungan partai.
4. Exposure (Peluang Terbongkar)
Risiko terbongkarnya kasus ini relatif rendah karena pelaku memiliki jaringan yang kuat di pemerintahan. Namun, pengawasan publik dan media akhirnya membuka tabir korupsi ini.
Risiko terbongkarnya kasus e-KTP sebenarnya cukup tinggi, mengingat besarnya jumlah uang yang diselewengkan dan banyaknya pihak yang terlibat. Namun, para pelaku berhasil menutupi jejak mereka dengan berbagai cara, seperti:
- Menggunakan nominee (pihak ketiga) untuk menyembunyikan aliran dana.
- Membagi hasil korupsi kepada banyak pihak, termasuk pejabat tinggi, untuk menjaga loyalitas dan menutupi kejahatan mereka.
- Menjalin hubungan erat dengan jaringan politik dan bisnis yang kuat, sehingga mendapatkan perlindungan dari penegak hukum.
Meskipun begitu, kasus ini akhirnya terungkap berkat keberanian saksi-saksi yang memberikan informasi kepada KPK. Salah satu kunci penting dalam pengungkapan kasus ini adalah keterangan dari Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang mengungkap skema korupsi secara rinci.
Analisis Mendalam terhadap Hubungan Teori CDMA dan GONE
Teori CDMA (Corruption = Monopoly + Discretion - Accountability) dari Robert Klitgaard dan teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) dari Jack Bologna adalah dua pendekatan yang dapat saling melengkapi dalam memahami penyebab dan mekanisme korupsi. Pada kasus korupsi e-KTP, kedua teori ini memberikan sudut pandang berbeda, tetapi saling mendukung untuk menganalisis bagaimana korupsi dapat terjadi, melibatkan banyak aktor, dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama.Â
1. Keterkaitan Antara Monopoly (CDMA) dan Opportunity (GONE)
Monopoli kekuasaan adalah elemen penting dalam teori CDMA yang menggambarkan bagaimana penguasaan suatu proses oleh segelintir orang menciptakan celah korupsi. Dalam kasus e-KTP, monopoli ini muncul dari pengendalian penuh Kementerian Dalam Negeri atas proyek, serta adanya pengaruh besar dari DPR dalam hal anggaran. Ketika monopoli ini dikombinasikan dengan teori GONE, elemen ini dapat dilihat sebagai penyedia peluang (opportunity) yang luas bagi pelaku untuk melakukan korupsi.
Monopoli pada Tahap Penganggaran
DPR memiliki monopoli dalam menentukan besaran anggaran yang disetujui untuk proyek e-KTP. Dengan adanya monopoli ini, proyek mendapatkan anggaran Rp5,9 triliun, jumlah yang sangat besar untuk sebuah proyek identifikasi penduduk. Ketidakseimbangan kekuasaan ini memberi kesempatan kepada anggota DPR untuk "bernegosiasi" dengan pihak eksekutif dan kontraktor demi mendapatkan bagian dari anggaran tersebut.Monopoli dalam Pemilihan Konsorsium
Pada tahap pelaksanaan, monopoli terjadi ketika hanya segelintir pejabat di Kementerian Dalam Negeri yang menentukan konsorsium pemenang tender. Tidak ada mekanisme kompetisi yang sehat, sehingga peluang terbentuknya skema kolusi menjadi semakin besar. Dalam konteks teori GONE, monopoli kekuasaan seperti ini meningkatkan kesempatan bagi para pelaku untuk menyalahgunakan wewenang.Peluang dari Sistem yang Kompleks
Proyek e-KTP melibatkan teknologi tinggi dan integrasi data nasional yang rumit. Hal ini memberikan celah bagi pelaku untuk memanfaatkan monopoli informasi teknis yang tidak dipahami oleh banyak orang. Dalam teori GONE, kesempatan seperti ini memungkinkan manipulasi anggaran dan spesifikasi teknis yang sulit dideteksi oleh pengawas.
Korelasi:
Monopoli menciptakan peluang (opportunity) yang menjadi elemen sentral dalam teori GONE. Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir orang tanpa adanya mekanisme pengawasan yang memadai, peluang untuk korupsi meningkat secara signifikan. Dalam kasus e-KTP, monopoli ini terlihat jelas dalam proses anggaran, pengadaan, dan distribusi dana proyek.
2. Diskresi Berlebih (CDMA) dan Greed (GONE)
Diskresi atau kebebasan pengambilan keputusan yang tidak diawasi adalah faktor penting dalam CDMA. Hal ini memberikan keleluasaan kepada individu untuk bertindak sesuai dengan keinginannya, termasuk menyimpang dari prosedur resmi. Diskresi yang tidak terkendali seringkali digunakan untuk memenuhi hasrat keserakahan (greed), yang merupakan elemen utama dalam teori GONE.
Diskresi Pejabat Kementerian Dalam Negeri
Pejabat seperti Irman dan Sugiharto memiliki diskresi yang sangat besar dalam menentukan spesifikasi proyek, memilih vendor, dan menyetujui laporan keuangan. Diskresi ini menjadi alat bagi mereka untuk mengatur pembagian dana kepada anggota DPR dan pihak lain yang terlibat dalam korupsi. Hasrat untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang besar menjadi pendorong utama tindakan mereka.Keserakahan sebagai Motivasi Utama
Dalam kasus ini, keserakahan terlihat dari jumlah uang yang diselewengkan. Berdasarkan laporan, sekitar Rp2,3 triliun dari total anggaran proyek diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan pembagian kepada aktor lain. Jumlah ini jauh lebih besar dari kebutuhan dasar para pelaku. Artinya, motivasi mereka bukan sekadar kebutuhan finansial, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk memperkaya diri secara berlebihan.Hubungan Antara Diskresi dan Greed
Diskresi memberikan ruang bagi pelaku untuk bertindak tanpa batas, sedangkan keserakahan mendorong mereka untuk memanfaatkan ruang tersebut. Dalam kasus e-KTP, kebebasan pengambilan keputusan yang tidak diawasi memungkinkan para pelaku untuk menjalankan skema korupsi yang rumit. Tanpa kontrol yang ketat, diskresi menjadi alat yang efektif untuk memenuhi hasrat keserakahan.
Korelasi:
Diskresi (CDMA) dan keserakahan (GONE) saling mendukung dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi korupsi. Diskresi yang tidak terkontrol memungkinkan pelaku untuk memuaskan hasrat keserakahan mereka tanpa takut akan konsekuensi langsung.
3. Minimnya Akuntabilitas (CDMA) dan Exposure (GONE)
Minimnya akuntabilitas adalah elemen penting dalam CDMA yang menggambarkan kurangnya pengawasan dan transparansi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam teori GONE, hal ini berhubungan langsung dengan elemen exposure, yaitu risiko terbongkarnya tindakan korupsi. Semakin rendah akuntabilitas, semakin kecil risiko pelaku untuk tertangkap.
Lemahnya Sistem Akuntabilitas Internal
Dalam kasus e-KTP, Inspektorat Jenderal di Kementerian Dalam Negeri tidak mampu mendeteksi penyimpangan yang terjadi dalam proyek. Padahal, inspektorat ini seharusnya menjadi garda depan dalam mencegah korupsi. Kelemahan ini menunjukkan bahwa sistem akuntabilitas internal masih jauh dari efektif.Minimnya Pengawasan Eksternal
DPR sebagai lembaga pengawas justru terlibat dalam skema korupsi. Hal ini membuat pengawasan eksternal terhadap proyek e-KTP menjadi tidak efektif. Ketika kedua lapisan pengawasan ini gagal, korupsi menjadi lebih sulit terdeteksi.Upaya Menutupi Jejak
Minimnya akuntabilitas memungkinkan para pelaku untuk menutupi jejak mereka dengan lebih mudah. Mereka menggunakan teknik seperti aliran dana melalui pihak ketiga (nominee) dan pemalsuan dokumen keuangan untuk menyembunyikan penyimpangan. Dalam teori GONE, hal ini menurunkan tingkat exposure atau risiko terbongkarnya kejahatan.
Korelasi:
Minimnya akuntabilitas (CDMA) dan rendahnya exposure (GONE) saling terkait dalam menciptakan sistem yang melindungi pelaku korupsi. Ketika pengawasan internal dan eksternal lemah, risiko terbongkarnya kejahatan menjadi lebih kecil, sehingga pelaku merasa lebih aman untuk melakukan korupsi.
4. Hubungan Sistemik Antara CDMA dan GONE
Ketika teori CDMA dan GONE digabungkan, keduanya memberikan kerangka yang lebih holistik untuk memahami penyebab korupsi. Dalam kasus e-KTP, elemen-elemen dari kedua teori ini saling berinteraksi secara dinamis untuk menciptakan lingkungan yang mendukung terjadinya korupsi. Beberapa hubungan sistemik yang dapat diidentifikasi adalah:
Dinamika Kekuasaan dan Kesempatan
Monopoli kekuasaan dalam CDMA menciptakan peluang besar (opportunity) dalam GONE. Dalam konteks proyek e-KTP, kekuasaan terpusat pada pejabat tertentu yang memiliki kendali penuh atas anggaran dan pengadaan. Ketika kekuasaan ini tidak diawasi, kesempatan untuk korupsi menjadi tak terbatas.Motivasi dan Kebebasan Bertindak
Diskresi dalam CDMA memberikan kebebasan bertindak kepada pelaku, sedangkan keserakahan dalam GONE menjadi motivasi utama mereka untuk memanfaatkan kebebasan ini. Tanpa pengawasan, pelaku dapat dengan leluasa mengatur skema korupsi untuk keuntungan pribadi.Lingkungan yang Tidak Transparan
Minimnya akuntabilitas dalam CDMA menciptakan lingkungan yang mendukung korupsi, karena pelaku merasa risiko terbongkarnya kejahatan (exposure) sangat rendah. Kombinasi ini membuat pelaku merasa aman untuk menjalankan skema korupsi tanpa takut akan konsekuensi hukum.
5. Implikasi terhadap Pencegahan Korupsi
Pemahaman tentang hubungan antara teori CDMA dan GONE dapat digunakan untuk merancang strategi pencegahan korupsi yang lebih efektif. Beberapa langkah yang dapat diambil berdasarkan analisis ini adalah:
Mengurangi Monopoli Kekuasaan
Reformasi birokrasi perlu difokuskan pada pengurangan monopoli kekuasaan melalui desentralisasi dan pelibatan lebih banyak pemangku kepentingan. Contohnya, dalam proyek seperti e-KTP, perlu ada pengawasan independen dari lembaga lain yang tidak terafiliasi dengan eksekutif atau legislatif.Membatasi Diskresi Pejabat
Diskresi pejabat harus dibatasi melalui regulasi
Rekomendasi untuk Pencegahan
Berdasarkan analisis teori CDMA dan GONE, langkah-langkah pencegahan berikut dapat diterapkan untuk menghindari kasus serupa:
Memperkuat Sistem Pengawasan:
Pengawasan proyek pemerintah perlu ditingkatkan dengan melibatkan lembaga independen dan penggunaan teknologi untuk transparansi.Mengurangi Monopoli dan Diskresi:
Proses tender harus dilakukan secara terbuka dan kompetitif. Kebijakan yang memberikan kekuasaan besar pada individu atau kelompok tertentu harus diminimalisir.Peningkatan Akuntabilitas:
Semua pejabat yang terlibat dalam pengelolaan proyek harus diwajibkan melaporkan secara berkala dan diaudit secara menyeluruh.Pendidikan Antikorupsi:
Membangun budaya antikorupsi sejak dini melalui pendidikan dan kampanye publik yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Klitgaard, Robert. Controlling Corruption. University of California Press, 1988.
Buku ini menjelaskan konsep CDMA (Corruption = Monopoly + Discretion - Accountability) dan memberikan pemahaman tentang penyebab korupsi dalam sistem pemerintahan.Bologna, Jack, dan Robert Lindquist. Fraud Auditing and Forensic Accounting. Wiley, 1995.
Buku ini membahas teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) yang digunakan untuk menganalisis motivasi dan peluang dalam tindakan fraud dan korupsi.Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK). Laporan Audit Proyek e-KTP. 2014.
Laporan ini memberikan data dan analisis terkait kerugian negara yang diakibatkan oleh korupsi proyek e-KTP.Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan Penanganan Kasus Korupsi e-KTP. 2018.
Laporan resmi dari KPK mengenai detail kasus, para pelaku, dan proses hukum dalam kasus korupsi e-KTP.Sugiyono. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Alfabeta, Bandung, 2015.
Buku ini digunakan untuk memahami pendekatan analitis yang sistematis dalam mengkaji permasalahan korupsi.Wahyudi, Imam. "Analisis Sistemik pada Kasus Korupsi e-KTP di Indonesia." Jurnal Etika dan Hukum, vol. 12, no. 1, 2020, pp. 34--49.
Artikel ini memberikan perspektif tentang penyebab korupsi di sektor pemerintahan Indonesia, khususnya pada proyek besar seperti e-KTP.Transparency International. Corruption Perceptions Index 2018.
Laporan ini memberikan gambaran posisi Indonesia dalam indeks persepsi korupsi global.Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dokumen hukum yang digunakan sebagai dasar dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H