Diskresi Pejabat Kementerian Dalam Negeri
Pejabat seperti Irman dan Sugiharto memiliki diskresi yang sangat besar dalam menentukan spesifikasi proyek, memilih vendor, dan menyetujui laporan keuangan. Diskresi ini menjadi alat bagi mereka untuk mengatur pembagian dana kepada anggota DPR dan pihak lain yang terlibat dalam korupsi. Hasrat untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang besar menjadi pendorong utama tindakan mereka.
Keserakahan sebagai Motivasi Utama
Dalam kasus ini, keserakahan terlihat dari jumlah uang yang diselewengkan. Berdasarkan laporan, sekitar Rp2,3 triliun dari total anggaran proyek diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan pembagian kepada aktor lain. Jumlah ini jauh lebih besar dari kebutuhan dasar para pelaku. Artinya, motivasi mereka bukan sekadar kebutuhan finansial, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk memperkaya diri secara berlebihan.
Hubungan Antara Diskresi dan Greed
Diskresi memberikan ruang bagi pelaku untuk bertindak tanpa batas, sedangkan keserakahan mendorong mereka untuk memanfaatkan ruang tersebut. Dalam kasus e-KTP, kebebasan pengambilan keputusan yang tidak diawasi memungkinkan para pelaku untuk menjalankan skema korupsi yang rumit. Tanpa kontrol yang ketat, diskresi menjadi alat yang efektif untuk memenuhi hasrat keserakahan.
Korelasi:
Diskresi (CDMA) dan keserakahan (GONE) saling mendukung dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi korupsi. Diskresi yang tidak terkontrol memungkinkan pelaku untuk memuaskan hasrat keserakahan mereka tanpa takut akan konsekuensi langsung.
3. Minimnya Akuntabilitas (CDMA) dan Exposure (GONE)
Minimnya akuntabilitas adalah elemen penting dalam CDMA yang menggambarkan kurangnya pengawasan dan transparansi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam teori GONE, hal ini berhubungan langsung dengan elemen exposure, yaitu risiko terbongkarnya tindakan korupsi. Semakin rendah akuntabilitas, semakin kecil risiko pelaku untuk tertangkap.
Lemahnya Sistem Akuntabilitas Internal
Dalam kasus e-KTP, Inspektorat Jenderal di Kementerian Dalam Negeri tidak mampu mendeteksi penyimpangan yang terjadi dalam proyek. Padahal, inspektorat ini seharusnya menjadi garda depan dalam mencegah korupsi. Kelemahan ini menunjukkan bahwa sistem akuntabilitas internal masih jauh dari efektif.Minimnya Pengawasan Eksternal
DPR sebagai lembaga pengawas justru terlibat dalam skema korupsi. Hal ini membuat pengawasan eksternal terhadap proyek e-KTP menjadi tidak efektif. Ketika kedua lapisan pengawasan ini gagal, korupsi menjadi lebih sulit terdeteksi.Upaya Menutupi Jejak
Minimnya akuntabilitas memungkinkan para pelaku untuk menutupi jejak mereka dengan lebih mudah. Mereka menggunakan teknik seperti aliran dana melalui pihak ketiga (nominee) dan pemalsuan dokumen keuangan untuk menyembunyikan penyimpangan. Dalam teori GONE, hal ini menurunkan tingkat exposure atau risiko terbongkarnya kejahatan.
Korelasi:
Minimnya akuntabilitas (CDMA) dan rendahnya exposure (GONE) saling terkait dalam menciptakan sistem yang melindungi pelaku korupsi. Ketika pengawasan internal dan eksternal lemah, risiko terbongkarnya kejahatan menjadi lebih kecil, sehingga pelaku merasa lebih aman untuk melakukan korupsi.
4. Hubungan Sistemik Antara CDMA dan GONE