Mohon tunggu...
Zahra Feby Arisanti
Zahra Feby Arisanti Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMA

Hobi saya menggambar fanart sambil mendengarkan musik. Di sela-sela waktu suka baca atau menonton film yang berkaitan dengan sejarah. Kadang kala juga suka menonton anime

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembunuh atau Pahlawan?

1 November 2024   23:40 Diperbarui: 1 November 2024   23:56 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pemukiman yang luas; terdengar kicauan burung kecil terbang pulang merindukan anaknya setelah mencari makan. Angin sepoi-sepoi mengibaskan dedaunan hingga berguguran. Di suatu rumah, seorang anak laki-laki tengah mengelus-elus kucing kesayangannya.

"Harun, sudah maghrib ayo salat!" perintah ibu.

"Iya, Bu," balas Harun meninggalkan kucing putih abu-abu peliharaannya, Putu. Harun langsung mengambil air wudhu untuk salat maghrib. Beberapa menit kemudian suara ketukan pintu terdengar.

Tok tok tok ....

Ibu segera membukakan pintu.

"Assalamualaikum, Bu," ucap salam dari lelaki berpostur tinggi memasuki rumah.

"Waalaikumsalam, Ajie. Hari ini kok sampai maghrib pulangnya? Bapak juga mana?" tanya Ibu dengan perasaan lega buah hatinya pulang dengan selamat.

"Hari ini pesanan koran dan majalah menumpuk. Bapak juga lagi sibuk pertemuan sama orang penting," berita Ajie sembari menyalami tangan ibundanya.

"Ya udah. Sekarang Ajie istirahat, salat maghrib dulu."

"Hore ...! Mas Ajie pulang!" Harun tiba-tiba datang dengan girang.

"Kenapa sih kok seneng banget?" tanya Ajie tersenyum sembari mengelus kepala adik kesayangannya. Ajie merasa senang saat adiknya tersenyum.

"Aku sama Putu dah nungguin dari tadi. Bantu kerjain PR, ya, aku bingung soal perhitungan," pinta Harun terlihat memelas.

"Iya boleh, tapi nanti ya habis aku istirahat," balas Ajie tersenyum lebar.

Harun memandang hebat kakaknya sehingga selalu mengandalkannya di saat dia susah. Ajie selalu berada di sisi Harun saat dia susah ataupun senang. Oleh karena itu, Harun selalu tersenyum saat melihat kakaknya. Hal yang tak terlupakan bagi Harun adalah kata-kata motivasi dari Ajie, "berjuanglah, cengeng". Walau nyatanya Harun selalu menangis dalam setiap hal, dia tak merasa itu ejekan, justru itu semakin membuatnya bangkit. Rasa sayang Harun pada Ajie bahkan melebihi rasa sayang pada ayahnya karena sebagai tulang punggung keluarga, ayah Harun tak punya banyak waktu untuk keluarga kecilnya.

***

Akhir tahun 1938, keluarga kecil ini berkumpul di tempat percetakan milik sang ayah. Rencananya keluarga ini akan jalan-jalan berkeliling kota, tetapi ayah Harun harus memeriksa tempat percetakannya dahulu. Saat itu percetakan sedang libur, tak ada karyawan disana. Secara tiba-tiba seseorang datang berpakaian rapi dengan jas dan peci hitam. Ternyata itu adalah kakak dari sang ayah, Surtio namanya. Ajie dan Harun biasa memanggilnya Pakdhe Tio. Surtio tak tahu bahwa hari itu percetakan sedang libur, kebetulan ia datang dan bertemu adiknya di sana. Ia mendapat sambutan hangat dari keluarga kecil adiknya karena Surtio adalah salah satu petinggi partai sehingga terpandang hebat di mata orang lain. Beberapa menit setelah Surtio sampai, dua truk kecil berisikan orang-orang Belanda datang. Sang ayah menyadari hal itu lalu menyuruh Surtio bersama Harun untuk pergi bersembunyi melalui pintu belakang. Empat orang Belanda memakai pakaian loreng berwarna hijau dan bersenjata senapan turun dari truk, kedatangan mereka disambut sang ayah.

"Ada apa tuan-tuan datang kemari?" tanya sang ayah dengan sopan.

"Di mana Surtio?" tanya salah satu orang Belanda dengan logat bahasa mereka dan nada tegas.

"Maaf, siapa Surtio?" tanya Ayah balik yang berpura-pura tak mengenal nama itu.

"Jangan berpura-pura, bodoh!" jawabnya dengan kasar.

Rekannya tiba-tiba masuk tanpa permisi dan menemukan Ajie bersama ibunya. Dia pun bertanya hal yang sama pada Ajie sembari menyodorkan senapan, tetapi Ajie dan ibunya hanya diam tak mengeluarkan sepatah kata. Sang ayah datang menghampiri keluarganya.

"Turunkan senjatamu! Turunkan senjatanya! Mereka hanya anak dan istri saya. Mereka tidak tahu apa-apa. Jangan ganggu mereka!" ucap Ayah melindungi keluarganya.

"Di mana Surtio?" tanyanya lagi dengan ngotot.

"Tuan, saya sudah bilang saya tak mengerti apa-apa."

"Kalau begitu, kalian ikut dengan kami!" Mereka bertiga ditarik dan dipaksa masuk ke dalam truk. Ibu dan ayah menaiki truk pertama dan pergi dahulu. Belum menaiki truk kedua, Ajie melepaskan genggaman dan menghajar tentara Belanda itu. Namun, Ajie salah lawan, mereka memukul kepala Ajie dengan senapan. Pukulan yang keras menjatuhkan badannya, Ajie mengangkat kepala dan tepat di hadapannya moncong senapan berada di posisi siap. Napasnya terengah-engah, keringat dingin bercucuran. Mata Ajie melirik ke kanan tertuju pada seseorang yang berdiri di balik tembok, ternyata itu Harun dan Pakdhe Tio. Mereka berdua terlihat ketakutan bersembunyi terutama Harun yang terlihat menangis, Ajie hanya tersenyum pada keduanya.

"Kurang ajar! Akan kuhabisi kau!" ucap tentara Belanda itu tidak main-main.

"Berjuanglah, cengeng," bisik Ajie pada Harun sambil tersenyum walau dia tahu pasti tak akan terdengar. Harun yang memperhatikan, tahu apa yang kakaknya ucapkan.

DAR!

Harun dan Pakdhe Tio terbelalak melihat apa yang terjadi. Air mata Harun semakin deras mengalir.

"Ayo Harun kita pergi dari sini!" Pakdhe Tio berlari sambil menarik tangan Harun secara tiba-tiba.

***

Harun terbangun dari ranjang, rasa hampa dan tidak enak dirasakan tubuhnya setelah kehilangan orang tua dan kakak tersayangnya. Dia telah merasakan itu lima tahun lamanya. Kini Harun tinggal bersama Pakdhe Tio dan istrinya yang tak memiliki anak.

"Nak Harun, ayo bangun," perintah istri Pakdhe Tio, Asih, di mulut pintu kamar Harun.

Harun turun dari ranjang lalu menuju ruang makan. Di meja makan sudah tersedia menu sarapan sederhana. Budhe Asih duduk menikmati secangkir teh hangat dan Putu juga berada disitu.

"Habis mandi sarapan ya, Budhe mau bicara," ucap Budhe Asih membuat penasaran. Harun langsung ke kamar mandi dan berganti baju lalu menemui Budhenya sesuai janji. Harun duduk lalu makan sarapan yang sudah disiapkan.

"Ada apa Budhe? Mau bicara apa?" tanya Harun memulai pembicaraan.

"Begini, Budhe merasa kau sudah remaja dan sudah baligh jadi bisa membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Budhe nggak mau kamu lemah, Harun harus bertambah kuat untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Sekarang ini banyak masyarakat tidak bersalah menjadi korban tentara Jepang. Juga banyak sekali dari pemuda dan orang tua terbelakang yang dijadikan buruh paksa. Budhe tidak mau kamu menjadi seperti mereka. Nak Harun pahamkan apa yang Budhe maksud?"

Cerita panjang Budhe Asih membuat Harun termenung dan menjawab, "Iya, Harun akan pikirkan untuk itu."

Harun selalu kehilangan semangat dan senyuman sejak ditinggal kakak satu-satunya. Dia bagaikan daun gugur yang kehilangan arah. Pendidikan sekolah Harun dihentikan karena ada suatu masalah sejak orang-orang Jepang itu datang. Satu-satunya pendidikan yang wajib dilanjutkan Harun adalah pendidikan militer. Beberapa minggu kemudian, Harun berbicara pada Budhe dan Pakdhenya bahwa Harun akan melanjutkan pendidikan di kemiliteran dan masuk anggota PETA. Mereka berdua setuju dan mendukung Harun apapun keputusannya selagi itu baik.

Beberapa hari berlalu, Harun berangkat ke kota Magelang menempuh pendidikan PETA. Perlu waktu tiga jam untuk sampai ke sana. Kota Magelang yang dijadikan Kota Militer membuat Harun yakin dia akan mengubah nasibnya di sini. Sesampainya di tempat pelatihan PETA, Harun melihat banyak pemuda yang mendaftar. Fisik Harun yang bagus membuatnya percaya diri untuk masuk anggota PETA.

Dua minggu berlangsung, Harun sudah menyesuaikan diri tinggal jauh dari orang tua. Suatu malam saat Harun ingin ke kamar mandi, dia melihat salah satu pembimbing PETA masuk ke gudang senjata dengan membawa pasokan senjata yang banyak. Harun yang penasaran mengintip dari balik tembok. Pembimbing itu keluar dari gudang dan tidak menutup pintu. Gudang itu menarik perhatian Harun, dia asal masuk saja tanpa berpikir panjang. Beberapa langkah di dalam gudang, Harun disambut dengan persenjataan yang tersusun rapi. Harun berkeliling melihat semua senjata hingga pada akhirnya dia berhenti di tempat tersusunnya senapan. Harun memperhatikan lamat-lamat mengingat sesuatu. "Berjuanglah, cengeng", kalimat yang terlintas dipikiran Harun mengingatkan pada kematian kakaknya. Tubuhnya terasa setengah mati, ia berjalan mundur tanpa memperhatikan. Tiba-tiba, alarm peringatan dari gudang berbunyi, Harun tidak sadar bahwa punggungnya menekan tombol alarm. Semua orang yang sedang istirahat terbangun dan penjaga malam langsung menghampiri gudang senjata. Harun panik bukan main, dia tak tahu bagaimana cara mematikan alarm tersebut.

"Hei! Apa yang kau lakukan?!" teriak penjaga yang melihat Harun. Beberapa penjaga menghampiri pengaturan dekat tombol untuk mematikan.

"Maafkan saya," ucap Harun merasa sangat bersalah.

"Kamu Harun, ya? Apa yang kamu lakukan bisa sampai di sini?" tanya salah satu penjaga.

"Siap, Pak! Saya Harun, maafkan saya asal masuk ke dalam gudang."

"Kamu tahu ini masalah besar? Kamu merugikan banyak orang. Ini masalah pertama di tahun ajaran ini. Jangan sampai kau melakukan masalah lagi. Paham?!"

"Siap salah, Pak! Saya siap menerima hukuman!"

Harun dimaafkan dan dipersilakan untuk beristitrahat. Saat membuka pintu kamar, sembilan pasang mata menatap tajam Harun, ternyata perbuatannya sampai merugikan teman-teman sekamarnya. Keesokan harinya ada pelatihan materi baris-berbaris, tiga kelompok termasuk Harun berkumpul di lapangan. Mereka sampai berjemur di lapangan tiga jam lamanya.

"Baiklah, materi baris-berbaris hari ini telah selesai. Silakan setelah ini kalian istirahat dan dilanjutkan materi berikutnya!" ucap pembimbing PETA mengakhiri kegiatan.

"Dan untuk Harun, tetap di lapangan," sambungnya. Harun kesal tak jadi istirahat. Semua barisan bubar, hanya Harun yang tersisa. Karena kesalahan Harun semalam, dia mendapat hukuman untuk memindahkan karung berisikan pasir untuk dibuat benteng pertahanan. Harun melaksanakan saja walau tak suka dan terpaksa. Satu-persatu karung berat dipindahkan hingga Harun kelelahan. Akhirnya banteng selesai, Harun pun dimaafkan para pembimbing secara total, dia dipersilakan beristirahat dengan waktu yang sudah terpotong. Seluruh tubuh Harun terasa sakit.

Bruk!

Dia berjalan sampai tak memerhatikan batu besar dihadapannya, dia tersandung batu itu sampai terjatuh.  

"Sial!" umpatnya dalam hati. Dia kesal dan benci pada diri sendiri setelah apa yang dia lakukan. Saat Harun mengangkat kepala, uluran tangan seseorang berada dihadapannya.

"Kau Harun ya?" tanyanya.

Harun bingung dan hanya menjawab, "Iya."

Harun membalas uluran tangannya. Anak itu membantu Harun berdiri dan menopang Harun. Harun pun bertanya, "Siapa namamu?"

"Namaku Saptoaji, kamu bisa memanggilku Aji," balasnya dengan senyuman. Harun langsung teringat nama Ajie, kakaknya.

"Aku selalu melihatmu sendiri, apa kamu tidak punya teman?" sambungnya.

"Iya, aku agak susah berbaur"

"Kalau begitu kau adalah temanku sekarang, ya?"

Harun tak percaya apa yang didengarnya, belum pernah ada yang mengatakan hal itu padanya. Harun berterimakasih pada Aji. Sejak saat itu Harun selalu bersama Aji dan berteman pada yang lain berkat bantuan Aji. Satu tahun berjalan, Harun merasa kembali ceria walau tanpa kakaknya. Suatu sore hari seluruh anggota PETA dikumpulkan di lapangan, ternyata mereka diberikan hari libur selama dua minggu. Harun senang akhirnya bisa pulang. Hari itu, pembimbing memberi kebebasan untuk persiapan libur besok. Barisan dibubarkan, Harun kembali ke kamar untuk mengemas pakaian. Selesai sudah, Harun keluar kamar untuk mencari udara segar. Dia melihat Aji memandang matahari senja dengan serius. Mendadak Harun menyentuh pundak Aji, sontak Aji teriak.

"Hah! Ngagetin tahu, gak?!" ucap Aji agak kesal. Harun membalasnya dengan tertawa.

"Kau mikirin apa, sih?" tanya Harun memulai percakapan.

"Aku khawatir dengan keadaan ayahku, beliau tinggal sendiri sejak ibuku meninggal. Karena dia juga, aku masuk anggota PETA," balas Aji serius. Harun termenung setelah mendengar cerita Aji.

"Kalau kamu, kenapa masuk PETA?" sambung dia.

"Kedua orang tua dan kakakku meninggal enam tahun lalu. Sejak Jepang datang, Budheku ingin aku ikut pendidikan militer untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Setelah dipikir-pikir aku bisa membalas dendam atas kematian kakakku, aku ingin menghabisi mereka yang membunuh orang yang tidak bersalah, dan menjadi pahlawan. Juga, kakakku bernama Ajie sama sepertimu."

"Kau berlebihan Harun," balas Aji agak takut. Harun maju beberapa langkah.

"Aku pernah mendengar. Seseorang yang menghabisi orang lain disebut pembunuh, tapi seseorang yang menghabisi musuhnya-" Harun memotong pembicaraannya.

"Disebut pahlawan" sambung Harun membalikkan badan dan menatap tajam Aji. Aji merasa Harun tidak main-main dengan perkataannya.

***

Kehidupan Harun semakin baik, dia senang keluarganya selamat dan sehat. Waktu terus berjalan, hingga pada Agustus 1945 Jepang menyerah karena pengeboman Kota Hiroshima dan Nagasaki dari Amerika. 17 Agustus 1945 berita pembacaan proklamasi menyebar diseluruh radio Indonesia, kebahagiaan dirasakan seluruh masyarakat. 19 Agustus PETA dibubarkan Jepang sendiri. Bekas anggota PETA menjadi anggota TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang berfokus pada memelihara keamanan wilayah. Baru satu bulan merasakan kemerdekaan para sekutu kembali ke Indonesia, orang-orang Belanda itu tidak membiarkan kita mendapat kebebasan.

Pada 21 November, pasukan Inggris yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa dan dilindungi oleh pesawat-pesawat udara. Pertempuran mulai berkobar 22 November, saat pasukan Inggris melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR bersama pasukan pemuda lain yang berasal dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura membentuk garis pertahanan sepanjang rel kereta api dan membelah Kota Ambarawa. 26 November, salah satu pimpinan pasukan harus gugur terkena tembakan pesawat pengintai Si Congor Merah. Ia adalah Letnan Kolonel Isdiman, pemimpin pasukan asal Purwokerto. Posisinya pun digantikan oleh Kolonel Soedirman.

Pasukan TKR Magelang datang menambah kekuatan untuk Ambarawa, walau beberapa hari sebelumnya mereka berperang di Magelang, tapi tidak memadamkan api semangat dalam diri. Perjalanan yang cukup lama melelahkan mereka yang berdusukan di dalam truk. Besok adalah puncak pertempuran Ambarawa, pertarungan hebat antara TKR dipimpin Kolonel Soedirman dan tentara Inggris bersama sekutu dipimpin Brigadir Bethell. Harun tak berhenti berdoa untuk diberi pertolongan pada yang kuasa. 12 Desember 1945, ayam jantan belum berkokok pasukan harus menuju target masing-masing dengan senjata lengkap. Pukul 04.30 serangan berlangsung dengan hebat, tentara Inggris mengeluarkan pasukan tangguh mereka.

"Belanda ..., aku tak menyangka akan bertemu kalian lagi. Bersiap matilah kalian!" guman Harun tersenyum dendam.

Serangan udara dijatuhkan, anggota TKR menjadi korban, seolah-olah mereka tahu tempat persembunyian TKR.

"Jadi itu Congor Merah? Mereka yang membunuh Letkol Isdiman" sambung Harun. Musuh bertambah, Harun dan Aji terpaksa mundur bersembunyi.

"Aji! Sembunyi di balik tembok itu!" perintah Harun.

"Kau duluan saja, aku akan membantu pasukan lain" ucapnya sambil memeriksa arlojinya. Harun mempersilakan lalu bersembunyi di balik tembok sedangkan Aji masih berlari menuju tempatnya. Tapi, ada yang aneh. Aji bukannya berlari ke arah pasukan, tetapi malah masuk ke dalam hutan lebat. Harun curiga pada Aji, dia mengendap-endap mengikuti Aji hingga jauh. Harun terhenti saat melihat Aji berbicara dengan tentara Belanda, dia mengintip dan menguping pembicaraan mereka. Terdengar Aji memberitahu rencana TKR melawan musuh. Harun tak percaya apa yang didengarnya. Mereka berdua berpisah, Harun siap melakukan sesuatu pada Aji. Aji berjalan kembali ke area. 

Bruak!

Harun mendadak meninju wajah Aji hingga terjatuh.

"Bang**t! Apa yang kau lakukan?! Dasar pengkhianat!" teriak Harun kecewa pada rekannya.

"Kau mengikutiku ya? Sudah kuduga. Ini bukan urusanmu, jangan ikut campur!" balas Aji sembari bangkit. Kemudian Aji berlari mendahului Harun, tak bisa dibiarkan, Harun pun mengejarnya. Sesampai di tempat serangan berlangsung, Aji terhenti melihat sesuatu. Harun tak tahan dengan kekesalannya, dia menghajar Aji untuk kedua kalinya.

"Sebenarnya apa mau mu, Aji?!" tanya Harun dengan tangan siap memukul.

"Tunggu Harun, ini bukan waktu yang tepat!"

Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari langit. Harun dan Aji melihat ke atas ternyata itu serangan udara dari Congor Merah. Mereka lari menjauh hingga tiarap menghindari serangan, tetapi mereka tetap terkena radiasi dari serangan itu. Mereka bangkit, Aji menyadari ada tentara Inggris siap menembak ke arah Harun. Dia sontak melindungi Harun. Dua peluru mendarat di punggung Aji, mulutnya sampai mengalirkan darah, dia tak sanggup berdiri. Mata Harun terbelalak melihat rekannya memuntahkan darah segar.

"Aji!" teriak Harun menangis sembari memeluk Aji.

"Maafkan aku Harun. Saudara ayahku bekerjasama dengan Belanda, mereka mengancamku untuk memberi tahu rencana TKR atau mereka akan membunuh ayahku. Aku pembunuh ya?" jelas Aji kehilangan tenaga. Harun bingung harus percaya atau tidak setelah melihat Aji berkhianat.

"Maafkan aku Harun, terima kasih telah menjadi temanku. Jangan menangis, cengeng," sambung Aji tersenyum memandang mata Harun yang mengalir deras air mata. Cahaya mata Aji meredup, jiwanya telah pergi ke alam sana. Harun memeluk untuk terakhir kali tetapi pertempuran masih berlanjut. Harun terpaksa meninggalkan Aji sendirian. Kata "cengeng" membuatnya bangkit.

"Mas Ajie, dendamku belum tuntas. Aku akan membunuh mereka!" teriak Harun membakar semangat. Kemarahan Harun memuncak sampai menggila, dia menembaki dan menusuk tentara sekutu secara brutal.

Pertempuran berlangsung cukup lama hingga akhirnya sedikit mereda. Pasukan Harun ditugaskan untuk membawa anggota yang telah gugur di lapangan. Tanpa pikir panjang dia ke tempat Aji terbaring, ternyata Aji tak sendirian di situ. Aji berada di pelukan seorang pria tua yang menangis.

"Anda siapa?" tanya Harun mendekat.

"Saya ayah Saptoaji," jawab pria itu menangis tersedu-sedu. Harun terkejut dengan penjelasannya.

"Maaf kalau saya lancang. Aji memberitahu saya kalau Anda diancam akan dibunuh Belanda jika Aji tidak membocorkan rencana TKR. Apakah itu benar?" jelas Harun dengan nada tidak enak.

"Iya, itu benar. Tolong jangan membenci anak saya," ucap ayah Aji memohon.

"Dia menyelamatkan saya dari tembakan, saya tidak akan membencinya. Saya meminta ijin membawa Aji untuk dimakamkan dengan layak,"

"Baik, tapi biarkan saya yang membawanya," pintanya. Harun mempersilakan.

Pertempuran Ambarawa berlangsung empat hari empat malam lamanya. Pasukan Inggris yang merasa terdesak berusaha memutuskan pertempuran. Pada 15 Desember 1945, pasukan Inggris meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke Semarang. Korban dari peperangan ini tidak sebanding dengan sekutu. Sekitar dua ribu orang Indonesia gugur dan seratus tentara sekutu gugur. Peristiwa ini dimulai saat terjadi insiden di Magelang pada 20 Oktober dan diakhiri dengan kemenangan Indonesia merebut Ambarawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun