Harun turun dari ranjang lalu menuju ruang makan. Di meja makan sudah tersedia menu sarapan sederhana. Budhe Asih duduk menikmati secangkir teh hangat dan Putu juga berada disitu.
"Habis mandi sarapan ya, Budhe mau bicara," ucap Budhe Asih membuat penasaran. Harun langsung ke kamar mandi dan berganti baju lalu menemui Budhenya sesuai janji. Harun duduk lalu makan sarapan yang sudah disiapkan.
"Ada apa Budhe? Mau bicara apa?" tanya Harun memulai pembicaraan.
"Begini, Budhe merasa kau sudah remaja dan sudah baligh jadi bisa membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Budhe nggak mau kamu lemah, Harun harus bertambah kuat untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Sekarang ini banyak masyarakat tidak bersalah menjadi korban tentara Jepang. Juga banyak sekali dari pemuda dan orang tua terbelakang yang dijadikan buruh paksa. Budhe tidak mau kamu menjadi seperti mereka. Nak Harun pahamkan apa yang Budhe maksud?"
Cerita panjang Budhe Asih membuat Harun termenung dan menjawab, "Iya, Harun akan pikirkan untuk itu."
Harun selalu kehilangan semangat dan senyuman sejak ditinggal kakak satu-satunya. Dia bagaikan daun gugur yang kehilangan arah. Pendidikan sekolah Harun dihentikan karena ada suatu masalah sejak orang-orang Jepang itu datang. Satu-satunya pendidikan yang wajib dilanjutkan Harun adalah pendidikan militer. Beberapa minggu kemudian, Harun berbicara pada Budhe dan Pakdhenya bahwa Harun akan melanjutkan pendidikan di kemiliteran dan masuk anggota PETA. Mereka berdua setuju dan mendukung Harun apapun keputusannya selagi itu baik.
Beberapa hari berlalu, Harun berangkat ke kota Magelang menempuh pendidikan PETA. Perlu waktu tiga jam untuk sampai ke sana. Kota Magelang yang dijadikan Kota Militer membuat Harun yakin dia akan mengubah nasibnya di sini. Sesampainya di tempat pelatihan PETA, Harun melihat banyak pemuda yang mendaftar. Fisik Harun yang bagus membuatnya percaya diri untuk masuk anggota PETA.
Dua minggu berlangsung, Harun sudah menyesuaikan diri tinggal jauh dari orang tua. Suatu malam saat Harun ingin ke kamar mandi, dia melihat salah satu pembimbing PETA masuk ke gudang senjata dengan membawa pasokan senjata yang banyak. Harun yang penasaran mengintip dari balik tembok. Pembimbing itu keluar dari gudang dan tidak menutup pintu. Gudang itu menarik perhatian Harun, dia asal masuk saja tanpa berpikir panjang. Beberapa langkah di dalam gudang, Harun disambut dengan persenjataan yang tersusun rapi. Harun berkeliling melihat semua senjata hingga pada akhirnya dia berhenti di tempat tersusunnya senapan. Harun memperhatikan lamat-lamat mengingat sesuatu. "Berjuanglah, cengeng", kalimat yang terlintas dipikiran Harun mengingatkan pada kematian kakaknya. Tubuhnya terasa setengah mati, ia berjalan mundur tanpa memperhatikan. Tiba-tiba, alarm peringatan dari gudang berbunyi, Harun tidak sadar bahwa punggungnya menekan tombol alarm. Semua orang yang sedang istirahat terbangun dan penjaga malam langsung menghampiri gudang senjata. Harun panik bukan main, dia tak tahu bagaimana cara mematikan alarm tersebut.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" teriak penjaga yang melihat Harun. Beberapa penjaga menghampiri pengaturan dekat tombol untuk mematikan.
"Maafkan saya," ucap Harun merasa sangat bersalah.
"Kamu Harun, ya? Apa yang kamu lakukan bisa sampai di sini?" tanya salah satu penjaga.