"Di mana Surtio?" tanyanya lagi dengan ngotot.
"Tuan, saya sudah bilang saya tak mengerti apa-apa."
"Kalau begitu, kalian ikut dengan kami!" Mereka bertiga ditarik dan dipaksa masuk ke dalam truk. Ibu dan ayah menaiki truk pertama dan pergi dahulu. Belum menaiki truk kedua, Ajie melepaskan genggaman dan menghajar tentara Belanda itu. Namun, Ajie salah lawan, mereka memukul kepala Ajie dengan senapan. Pukulan yang keras menjatuhkan badannya, Ajie mengangkat kepala dan tepat di hadapannya moncong senapan berada di posisi siap. Napasnya terengah-engah, keringat dingin bercucuran. Mata Ajie melirik ke kanan tertuju pada seseorang yang berdiri di balik tembok, ternyata itu Harun dan Pakdhe Tio. Mereka berdua terlihat ketakutan bersembunyi terutama Harun yang terlihat menangis, Ajie hanya tersenyum pada keduanya.
"Kurang ajar! Akan kuhabisi kau!" ucap tentara Belanda itu tidak main-main.
"Berjuanglah, cengeng," bisik Ajie pada Harun sambil tersenyum walau dia tahu pasti tak akan terdengar. Harun yang memperhatikan, tahu apa yang kakaknya ucapkan.
DAR!
Harun dan Pakdhe Tio terbelalak melihat apa yang terjadi. Air mata Harun semakin deras mengalir.
"Ayo Harun kita pergi dari sini!" Pakdhe Tio berlari sambil menarik tangan Harun secara tiba-tiba.
***
Harun terbangun dari ranjang, rasa hampa dan tidak enak dirasakan tubuhnya setelah kehilangan orang tua dan kakak tersayangnya. Dia telah merasakan itu lima tahun lamanya. Kini Harun tinggal bersama Pakdhe Tio dan istrinya yang tak memiliki anak.
"Nak Harun, ayo bangun," perintah istri Pakdhe Tio, Asih, di mulut pintu kamar Harun.