Harun membalas uluran tangannya. Anak itu membantu Harun berdiri dan menopang Harun. Harun pun bertanya, "Siapa namamu?"
"Namaku Saptoaji, kamu bisa memanggilku Aji," balasnya dengan senyuman. Harun langsung teringat nama Ajie, kakaknya.
"Aku selalu melihatmu sendiri, apa kamu tidak punya teman?" sambungnya.
"Iya, aku agak susah berbaur"
"Kalau begitu kau adalah temanku sekarang, ya?"
Harun tak percaya apa yang didengarnya, belum pernah ada yang mengatakan hal itu padanya. Harun berterimakasih pada Aji. Sejak saat itu Harun selalu bersama Aji dan berteman pada yang lain berkat bantuan Aji. Satu tahun berjalan, Harun merasa kembali ceria walau tanpa kakaknya. Suatu sore hari seluruh anggota PETA dikumpulkan di lapangan, ternyata mereka diberikan hari libur selama dua minggu. Harun senang akhirnya bisa pulang. Hari itu, pembimbing memberi kebebasan untuk persiapan libur besok. Barisan dibubarkan, Harun kembali ke kamar untuk mengemas pakaian. Selesai sudah, Harun keluar kamar untuk mencari udara segar. Dia melihat Aji memandang matahari senja dengan serius. Mendadak Harun menyentuh pundak Aji, sontak Aji teriak.
"Hah! Ngagetin tahu, gak?!" ucap Aji agak kesal. Harun membalasnya dengan tertawa.
"Kau mikirin apa, sih?" tanya Harun memulai percakapan.
"Aku khawatir dengan keadaan ayahku, beliau tinggal sendiri sejak ibuku meninggal. Karena dia juga, aku masuk anggota PETA," balas Aji serius. Harun termenung setelah mendengar cerita Aji.
"Kalau kamu, kenapa masuk PETA?" sambung dia.
"Kedua orang tua dan kakakku meninggal enam tahun lalu. Sejak Jepang datang, Budheku ingin aku ikut pendidikan militer untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Setelah dipikir-pikir aku bisa membalas dendam atas kematian kakakku, aku ingin menghabisi mereka yang membunuh orang yang tidak bersalah, dan menjadi pahlawan. Juga, kakakku bernama Ajie sama sepertimu."