"Aku sama Putu dah nungguin dari tadi. Bantu kerjain PR, ya, aku bingung soal perhitungan," pinta Harun terlihat memelas.
"Iya boleh, tapi nanti ya habis aku istirahat," balas Ajie tersenyum lebar.
Harun memandang hebat kakaknya sehingga selalu mengandalkannya di saat dia susah. Ajie selalu berada di sisi Harun saat dia susah ataupun senang. Oleh karena itu, Harun selalu tersenyum saat melihat kakaknya. Hal yang tak terlupakan bagi Harun adalah kata-kata motivasi dari Ajie, "berjuanglah, cengeng". Walau nyatanya Harun selalu menangis dalam setiap hal, dia tak merasa itu ejekan, justru itu semakin membuatnya bangkit. Rasa sayang Harun pada Ajie bahkan melebihi rasa sayang pada ayahnya karena sebagai tulang punggung keluarga, ayah Harun tak punya banyak waktu untuk keluarga kecilnya.
***
Akhir tahun 1938, keluarga kecil ini berkumpul di tempat percetakan milik sang ayah. Rencananya keluarga ini akan jalan-jalan berkeliling kota, tetapi ayah Harun harus memeriksa tempat percetakannya dahulu. Saat itu percetakan sedang libur, tak ada karyawan disana. Secara tiba-tiba seseorang datang berpakaian rapi dengan jas dan peci hitam. Ternyata itu adalah kakak dari sang ayah, Surtio namanya. Ajie dan Harun biasa memanggilnya Pakdhe Tio. Surtio tak tahu bahwa hari itu percetakan sedang libur, kebetulan ia datang dan bertemu adiknya di sana. Ia mendapat sambutan hangat dari keluarga kecil adiknya karena Surtio adalah salah satu petinggi partai sehingga terpandang hebat di mata orang lain. Beberapa menit setelah Surtio sampai, dua truk kecil berisikan orang-orang Belanda datang. Sang ayah menyadari hal itu lalu menyuruh Surtio bersama Harun untuk pergi bersembunyi melalui pintu belakang. Empat orang Belanda memakai pakaian loreng berwarna hijau dan bersenjata senapan turun dari truk, kedatangan mereka disambut sang ayah.
"Ada apa tuan-tuan datang kemari?" tanya sang ayah dengan sopan.
"Di mana Surtio?" tanya salah satu orang Belanda dengan logat bahasa mereka dan nada tegas.
"Maaf, siapa Surtio?" tanya Ayah balik yang berpura-pura tak mengenal nama itu.
"Jangan berpura-pura, bodoh!" jawabnya dengan kasar.
Rekannya tiba-tiba masuk tanpa permisi dan menemukan Ajie bersama ibunya. Dia pun bertanya hal yang sama pada Ajie sembari menyodorkan senapan, tetapi Ajie dan ibunya hanya diam tak mengeluarkan sepatah kata. Sang ayah datang menghampiri keluarganya.
"Turunkan senjatamu! Turunkan senjatanya! Mereka hanya anak dan istri saya. Mereka tidak tahu apa-apa. Jangan ganggu mereka!" ucap Ayah melindungi keluarganya.