Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Andai Aku Presiden RI Episode 59 – “Berjiwa Besar”

9 Februari 2010   00:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:01 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Natalia ada di ruangan pribadiku dengan senyum mengembang karena aku merencanakan untuk mengajaknya makan malam di sebuah tempat yang amat tersembunyi diantara sudut-sudut pengap kota Jakarta.

"Kamu tahu? Ada sebuah tempat milik kolegaku, seorang warga keturunan yang berbisnis kuliner. Dia sudah menyiapkan ruang V V V I P. Di sekitar Harmoni. Ruangan itu berada di tengah keramaian, di tempat yang tinggi, tersembunyi, dan tak akan pernah orang berpikir bahwa di situ adalah ruangan khusus yang disewakannya dengan harga ribuan dolar." kataku. "Biasanya disewa oleh pebisnis-pebisnis kelas wahid di negeri ini untuk membicarakan hal-hal bernilai jutaan dolar."

Natalia menatapku.

"Ada rencana kesana?" tanyanya spontan.

Aku tersenyum.

"Ya iyalah. Tapi ini lain. Aku ingin makan malam denganmu di sana. Kamu mau menemaniku, kan?"

Natalia tidak langsung mengiyakan, tapi kuyakin, ia satu-satunya wanita yang paling penasaran dengan hal-hal baru.

**

"Jika kamu mengulur waktu untuk menerima ajakan kencanku ini dalam 1 menit, maka hilang kesempatanmu.." kataku kemudian.

Hehe.. aku seringkali melontarkan kata-kata yang bisa memojokkan seseorang untuk segera memilih.

"Oke.. aku penasaran dengan tempat itu.. ribuan dolar untuk disewa.. kayak apa sih tempatnya.. aku pikir.. persis tempat untuk transaksi narkoba kelas kakap.."

Busyet! Seperti biasa, ia tak senang dengan ucapan-ucapan manis. Dasar wanita perkasa.

**

"So, aku kasih alamatnya, kamu kesana duluan dan aku akan menyusul. Segera setelah sampai kesana, kasih kartu ini sama resepsionis. Di dalamnya ada kode rahasia dalam bentuk hologram. Pasti dia akan tahu, dan akan mengantarkanmu ke ruangan itu.." aku memberikan kartu dari kolegaku kepada Natalia.

Natalia melihat kartu itu sekilas, kemudian mengiyakan.

"Yups.. I'll be there.. "

Aku meliriknya dan sebenarnya ingin merayunya. Tapi kutahan. Tapi.. tetap tidak bisa.

"Natalia.."

"Yup.. "

"Kamu cantik sekali.."

Hehe.. dia tidak menjawab. Dia malah mengepalkan tangannya mengarah ke aku. Aku hanya tersenyum kecut.

**

Dan malam itu aku sudah bersiap. Aku akan menyusul Natalia. Tapi, Ontoseno malah menghadap kepadaku.

"Orang-orang dari partai akan datang karena mereka tahu bahwa tidak ada agenda di malam ini, Mr. President." kata Ontoseno serius.

"Waduuh.. aku sudah ada janji dengan seseorang, Pak Ontoseno.." jawabku.

"Memang itu yang bisa saya laporkan. Ini penting, kata mereka. Ada pansus di parlemen yang memang harus segera dilunakkan. Ini jauh lebih penting, Mr. President.."

Dahiku mengkerut. Ini memang lebih penting dari semuanya. Tapi bagiku, janji kepada seorang wanita adalah nomor satu. Asem kecut!!

**

Aku segera menghubungi Natalia. Ada nada sambung, tapi tak segera diangkat. Ada apa, ya?

Aku memanggil Jemangin.

"Tolong hubungi Natalia di telepon rumahnya, Pak Jemangin. Ada sesuatu yang penting.." perintahku.

"Baik, Pak Presiden.." jawab Jemangin patuh.

**

Beberapa saat kemudian, Jemangin malah melaporkan sesuatu yang tak enak didengar.

"Maaf, Mr. President. Telepon rumahnya berdering, ada nada sambung, tapi tak ada yang mengangkat.." kata Jemangin.

Aduuh..

Aku berpikir sebentar, dan hanya ada satu cara untuk hal-hal seperti ini.

**

Aku lekas-lekas memanggil beberapa paspampres dan pengawalku. Mereka akan kusuruh menjemput Natalia di tempat yang sudah kami rencanakan itu. Sebelum berangkat, mereka berusaha mendapatkan informasi dariku mengenai tempat yang kuceritakan itu dengan serius. Kalau sudah begini, aku yang mungkin keterlaluan. Ngajak ngedate aja harus di tempat yang tersembunyi, sehingga menjelaskan tempat itupun, amat sulit. Mudah-mudahan mereka paham dan tahu.

**

Aku menerima orang-orang partaiku dengan pikiran yang tidak tenang. Maklumlah.. terbayang olehku betapa marahnya Natalia jika dia tak paham dengan situasi ini. Dan ini sungguh merusak konsentrasiku. Aku seperti kerbau bodoh di rapat orang-orang partai. Hanya manggut-manggut dan setuju. Pikiranku selalu tertuju kepada Natalia.

**

Ditengah-tengah rapat, aku menerima telepon dari salah satu paspampres.

"Maaf Mr. President.. kami tak menemukan Nona Natalia.." terdengar jerit paspampres.

"Apa kamu berada pada posisi yang tepat?" tanyaku.

"Benar, Mr. President. Kami sedang berada di lokasi seperti yang Anda tunjukkan. Hujan deras menerpa kawasan ini, dan lalu lintas lumayan padat.. "

"Tadi sudah ke rumahnya?"

"Sudah, Mr. President. Tapi rumahnya kosong.."

Aduuh. Aku semakin tidak fokus.

**

Hari telah berganti, dan semalaman aku tak bisa tidur hanya karena aku menelepon Natalia berkali-kali, dan tak ada nada sambung lagi di sana. Mungkin ia telah mematikan ponselnya sejak tahu bahwa tak ada kabar dariku.

Aku menanti di belakang istana kepresidenan ketika kulihat pengawalku telah menjemputnya. Mukanya muram sekali, persis besi panas yang mulai mendingin. Pasti ia tak akan menjawabku meski kuucapkan selamat pagi berkali-kali.

"Aku telah menghubungimu, dan tak ada jawaban.."

"Benar.. semua orang bisa lupa. Aku lupa membawa ponselku.."

"Dan aku telah menyuruh paspampres menjemputmu.."

"Paspampres apa hansip bodoh??"

"Oh.. tenang dulu.. tempat itu memang sulit.."

"Tapi tidak untuk sekelas paspampres.. mereka juga intelijen.."

"Ada orang-orang partai datang.."

"Itu urusanmu.."

"Tolong Natalia.. dengar dulu.."

"Aku tak ingin mendengar apapun.."

"Aku sudah berusaha.."

"Tapi tidak seperti itu.."

Sama sekali Natalia tak melirikku. Apalagi memandangku. Dia menuju ruang kerjanya dan sepertinya memang mengucapkan salam perpisahan.

"Baik, Mr. President. Saya akan segera bekerja dengan tenang. Ada konsep pidato penting yang belum diedit. Jadi, maaf.. saya harus bekerja.." ucapnya amat ketus.

**

Coba. Apa yang harus dilakukan seorang lelaki sejati jika sudah begini? Aku mendinginkan hati dan pikiranku segera. Yups. Aku harus berjiwa besar. Apapun yang terjadi, aku harus meminta maaf.

Dengan kepala tegak dan dada membusung, aku memberanikan diri masuk ke ruangan Natalia. Aku mengulurkan tanganku.

"Baik. Aku yang bersalah. Aku minta maaf.."

Tapi Natalia hanya menatapku saja. Ia belum menjawabnya. Moga-moga dia mengira bahwa aku benar-benar tak mau kehilangan dirinya. Dan sejujurnya.. memang begitulah kata hatiku.

[ salam untukmu selalu.. ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun