Perkembangan Hukum Wakaf di Indonesia
Dr. Achmad Irwan Hamzani
Yunita Rahma
222121159
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia
Abstract:
Wakaf telah dikenal sejak Islam masuk ke nusantara. Keperluan akan sarana peribadatan dalam pertumbuhan dakwah Islam di Indonesia membuat wakaf semakin populer dan meluas di masyarakat. Bersamaan dengan pertumbuhan sosial masyarakat Islam dari masa ke masa, praktik wakaf secara bertahap mendapati kemajuan. Tradisi wakaf untuk tempat ibadah tetap bertahan dan mulai bermunculan wakaf lain untuk kegiatan pendidikan seperti pendirian sekolah, perpustakaan dan lembaga pendidikan serta pemberian beasiswa kepada pelajar, tenaga pengajar, serta orang yang terlibat dalam kegiatan pendidikan. Pada periode berikutnya, pemanfaatan wakaf terus meluas, termasuk layanan kesehatan sosial. Saat ini wakaf sudah mengalami lemajuan yang sangat pesat, dari yang awalnya lebih individualistis dan terlihat tidak ada tata kelola yang baik, hingga berkembang dari zaman kolonial, kemerdekaan hingga lahirnya undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Keywords: hukum; islam; wakaf; undang-undang.
Pendahuluan
Hukum Islam adalah salah satu dari tiga sistem hukum yang diterapkan di Indonesia. Ada dua jenis hukum Islam yang diterapkan di Indonesia: ada yang berlaku secara formal yuridis dan ada pula yang berlaku secara normatif. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah atau hadits, dan ijtihad. Sebagai pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan bermasyarakat di dunia, hukum Islam sudah semestinya bersifat fleksibel dan kontekstual. Kontekstualisasi hukum Islam harus diwujudkan dalam kemampuannya menciptakan hukum terhadap persoalan-persoalan yang belum muncul atau tidak muncul pada zaman Nabi Muhammad SAW. Mekanisme pencarian hukum baru merupakan mekanisme yang dibangun para ulama dengan nama ijtihad. Hukum Islam yang kontekstual seperti hukum wakaf, hukum perkawinan dan waris. Jika dicermati, hukum wakaf di Indonesia pada hakikatnya bersifat kontekstual. Diperizinkan wakaf dalam jangka waktu tertentu, wakaf uang, nazhir sebagai rukun wakaf, peruntukan wakaf untuk memberdayakan ekonomi umat sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak terlalu umum dan tidak ditemukan di dalam ketentuan wakaf, khususnya yang terdapat dalam dokumen atau literatur fikih yang umumnya dijadikan rujukan mayoritas ulama di Indonesia yang lebih condong pada mazhab Syafi’i.
Hasil dan Pembahasan
Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Islam
Istilah hukum Islam merupakan gabungan dari dua suku kata yaitu hukum dan Islam. Secara sederhana, hukum dapat diartikan sebagai seperangkat peraturan atau norma yang mengatur tingkah laku orang-orang dalam bermasyarakat, baik itu yang ditetapkan oleh pemerintah serta pihak-pihak yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sementara itu, Islam secara harafiah berarti ketundukan, keamanan atau kemakmuran. Artinya ialah orang yang menganut Islam akan mendapatkan keamanan dan kesejahteraan di dunia maupun akhirat
Jika dua kata tersebut digabungkan menjadi hukum Islam maka akan dapat diartikan sebagai hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT. melalui Rasul-Nya, lalu disebarluaskan dan dijadikan pedoman bagi umat manusia untuk menggapai tujuan hidupnya, serta keselamatan di dunia dan akhirat. Ajaran agama Islam mengandung aspek hukum yang dapat dirujuk pada sumber ajaran Islam, khususnya Al-Quran dan hadis. Hukum Islam adalah suatu sistem ketentuan wahyu ilahi untuk mengontrol masyarakat.
Ruang lingkup hukum Islam dapat dibagi menjadi dua bidang utama: hukum Islam yang berlaku secara normatif kultural serta diterapkan secara hukum resmi. Hukum Islam sebagaimana diterapkan biasanya adalah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya atau hukum-hukum yang bersifat pribadi, misalnya hukum yang berkaitan dengan ritual peribadatan (sholat, puasa, haji). Sedangkan hukum Islam yang berlaku secara resmi adalah hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan orang dan benda-benda masyarakat, seperti hukum perkawinan, hukum waris, hukum wakaf, zakat dan subsidi, hukum pidana, tata usaha negara, dan hubungan luar negeri.
Pengertian Wakaf
Secara etimologi, kata “wakaf” berasal dari kata “waqafa” sinonim dari kata “habasa” yang berarti berhenti, diam di tempat atau menahan. Secara terminologis, para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai pengertian wakaf. Ulama mazhab Syafi’i mengartikan wakaf sebagai kepemilikan harta yang keuntungannya bukan untuk diri sendiri, barangnya tetap dan keuntungannya dipergunakan untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ibnu Hajar al-Haitami mengartikan wakaf sebagai menahan harta yang dapat dimanfaatkan dengan cara menjaga keutuhan harta, dengan memutuskan kepemilikan benda itu dari pemiliknya untuk hal yang diperbolehkan.
Sejarah Wakaf
Sebelum munculnya Islam, sebenarnya sudah ada lembaga yang serupa dengan lembaga wakaf, meski tidak menggunakan istilah wakaf. Pada dasarnya seluruh umat manusia di dunia ini sebelum adanya Islam sudah menyembah Tuhan melalui ritual keagamaan sesuai keyakinannya masing-masing. Faktor inilah yang mendorong umat manusia untuk membangun tempat ibadahnya sendiri. Tempat ibadah yang sudah ada sejak Jaman dahulu pasti harus dibangun di atas tanah dan bersifat permanen. Apa yang mereka lakukan pada dasarnya sama dengan wakaf dalam Islam.
Pada masa Daulah Bani Umayyah dan Abasiyah, wakaf menjadi populer dan mendorong umat Islam untuk mewakafkan hartanya. Ruang lingkup wakaf pada masa itu tidak hanya sebatas penyaluran kepada fakir miskin saja, namun meluas hingga pendirian tempat ibadah, tempat pengungsian, perpustakaan dan lembaga pendidikan serta pemberian beasiswa kepada pelajar, tenaga pengajar, dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pendidikan. pedalaman. Cakupan wakaf yang semakin besar dan penting ini kemudian menuntut dibentuknya suatu lembaga khusus yang bergerak di bidang wakaf, baik yang menampung harta wakaf maupun yang mengelolanya.
Lembaga wakaf di Indonesia yang bersumber dari hukum Islam, dikenal bersamaan dengan hadirnya Islam di Indonesia, tepatnya pada abad ke-1 H atau abad ke-7 Masehi. Menurut penelitian Atmaja, pada tahun 1922 praktik wakaf sudah ada di seluruh nusantara. Selain wakaf berdasarkan hukum Islam, di Indonesia juga terdapat wakaf berdasarkan hukum adat.
Macam-macam Wakaf
Wakaf Ghairi.
Wakaf ghiri yaitu wakaf yang sedari awal ditujukan untuk kepentingan umum dan bukan dikhususkan hanya untuk orang tertentu. Yang dimaksud dengan “untuk kepentingan umum” sebenarnya mencakup kalangan fakir miskin, baik anggota keluarga maupun yang bukan sanak saudara.
Wakaf Ahli
Wakaf keluarga atau wakaf ahli adalah wakaf yang ditujukan kepada orang tertentu, baik itu hanya satu orang atau lebih, baik termasuk keluarga pewakaf maupun bukan termasuk keluarga pewakaf. Wakaf ahli ini dapat dijumpai misalnya wakaf kepada kyai yang sehari-hari bertugas mengajar santri-santrinya di Pondok Pesantren atas dasar kepentingan Islam secara umum. Orang yang berhak menikmati harta wakaf ialah orang yang telah disebutkan dalam pernyataan wakaf.
Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum wakaf terdapat pada Q.S. al-Hajj ayat (77) yang memiliki arti: “Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”
Dalam ayat ini Al-Qurtubi menafsirkan “berbuat baiklah kamu” kalimat tersebut diartikan bahwa perbuatan baik adalah suatu perbuatan sunnah dan bukan perbuatan yang wajib, karena perbuatan yang wajib adalah kewajiban yang harus dilakukan seorang hamba terhadap Allah SWT. Salah satu amalan sunnahnya adalah wakaf yang akan selalu mendatangkan pahala di sisi Allah. Bunyi terakhir dari ayat tersebut adalah “mudah-mudahan kamu sekalian beruntung” Inilah gambaran dan dampak positif dari perbuatan baik, termasuk juga wakaf.
Syarat Wakaf
Syarat agar wakaf sah adalah;
Orang yang wakaf (Wakif)
Wakif harus mampu melaksanakan perbuatan mulia, yaitu melepaskan harta benda tanpa mengharapkan imbalan berupa materi maupun immateriil. Selain itu, wakif harus sudah baligh (dewasa), berakal sehat atau berpikir logis, tidak berada dalam perwalian, dan tidak dipaksa bertindak.
Harta Benda yang Diwakafkan (Mauquf)
Harta benda akan dianggap sah bila harta tersebut bernilai, tahan lama atau berguna dalam jangka waktu yang panjang, dan mempunyai nilai ekonomi. Sesuai ketentuan Pasal 15 dan 16 UU tentang Wakaf Nomor 41, suatu harta hanya dapat diwakafkan jika dikuasai dan dimiliki secara sah oleh wakif. Selanjutnya, harta wakaf meliputi: benda tak bergerak dan benda bergerak.
Benda tak bergerak yang dapat diwakafkan antara lain:
Hak atas tanah
Bangunan
Tanaman
Hak milik satuan rumah susun
Benda tidak bergerak lainnya yang sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, yang dimaksud benda bergerak dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah barang yang tidak dapat habis untuk dikonsumsi, yaitu:
Uang
Logam mulia;
Surat berharga;
Kendaraan;
Hak atas kekayaan intelektual;
Hak sewa;
Benda bergerak lainnya yang sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disebutkan juga, dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 mengatur tentang golongan benda bergerak selain uang. Demikian pula benda bergerak dibagi menjadi:
Benda bergerak yang dapat habis karena pemakaian tidak akan dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaan bahannya selalu ada;
Benda-benda bergerak yang tidak dapat habis karena pemakaian bias diwakafkan dengan memperhatikan ketentuan prinsip syariah.
Peruntukkan Wakaf
Peruntukkan wakaf harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah secara umum. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur bahwa untuk mencapai fungsi dan tujuan Wakaf, harta Wakaf hanya bisa digunakan untuk:
Kegiatan dan Sarana peribadatan;
Fasilitas dan kesehatan serta juga kegiatan pendidikan;
Membantu fakir miskin, yatim piatu, beasiswa, anak terlantar;
Kemajuan dan perbaikan perekonomian yang ada, dan;
Kemajuan dan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan syariah.
Ikrar Wakaf (Nazhir)
Pernyataan wakaf atau ikrar (shighat lafadz) dapat dinyatakan secara tertulis, lisan, atau dengan isyarat yang maknanya bisa dimengerti. Pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai benar-benar dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan di kemudian hari. Apabila wakif tidak dapat hadir pada saat penerapan ikrar wakaf sebab alasan yang sah menurut hukum dan juga tidak dapat menyatakan ikrar secara lisan, maka wakif dapat menunjuk wakilnya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh dua orang saksi.
Pengelola Wakaf
Nazhir wakaf ialah orang perseorangan, badan hukum, atau organisasi yang bertugas merawat dan mengelola sebaik-baiknya harta atau barang wakaf sesuai bentuk dan tujuannya. Nazhir perseorangan harus memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu: muslim, dapat dipercaya, dewasa, mampu secara lahir dan batin, serta mampu melakukan pekerjaan apa pun yang berkaitan dengan harta wakaf. Nazhir adalah orang yang bertugas menjaga dan mengelola harta wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Sebagai pengelola, nazhir bertanggung jawab apabila ia lalai atau sengaja merusak harta benda wakaf, hakim berhak memutus hal tersebut (pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama).
Sebagaimana tercantum di dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, tugas seorang nazhir adalah sebagai berikut:
Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
Mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan maksud, fungsi dan tujuannya;
Memantau dan menjaga harta wakaf, dan;
Laporan pelaksanaan tugas kepada BWI.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur bahwa nazhir meliputi orang perseorangan, organisasi, dan badan hukum. Organisasi Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 hanya dapat menjadi Nazir apabila memenuhi syarat berikut:
Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazir perseorangan;
Organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, kemasyarakatan, sosial, dan agama Islam.
Jangka Waktu Wakaf
Para fuqaha berbeda pendapat tentang syarat-syarat permanen dalam wakaf. Ada yang mencantumkannya sebagai syarat tetapi ada juga yang tidak mencantumkannya. Ada di antara fuqaha yang membolehkan wakaf muaqqat (wakaf untuk jangka waktu tertentu).
Pasal 215 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa wakaf adalah suatu ketetapan hukum yang dilakukan oleh perseorangan atau sekelompok orang atau badan hukum untuk memisahkan sebagian harta miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk tujuan ibadah atau keperluan umum lainnya menurut ajaran Islam. Menurut pasal tersebut, wakaf sementara adalah suatu yang tidak sah.
Kondisi tersebut berubah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Pasal 1 ayat (1) yang diartikan dengan wakaf adalah ketetapan hukum bagi wakif untuk memisahkan dan mengalihkan sebagian hartanya untuk digunakan selama atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syariah. hukum. Dalam ketentuan ini, wakaf sementara juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingan setiap orang.
Status Harta Wakaf
Wakaf yang sudah diikrarkan tidak bisa dibatalkan atau diminta dikembalikan, baik yang meminta adalah wakif, ahli warisnya, ataupun pihak lain yang menuntut hak milik atas harta tersebut tidak dapat meminta pengembaliannya. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyatakan bahwa wakaf yang dijanjikan tidak bisa dibatalkan. Selain itu, Pasal 40 juga menyebutkan: harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: dijadikan jaminan: disita, dihibahkan: dijual: diwariskan: ditukar, atau memindahtangankan dalam hal peralihan hak lainnya. Untuk mencegah terjadinya konflik wakaf di hari yang akan datang, hal yang perlu diperhatikan ialah:
Sebelum mewakafkan harta benda, hendaknya dipertimbangkan terlebih dahulu.
Meminta pertimbangan seluruh ahli waris sebelum mewakafkan hartanya.
Wakaf dilakukan jika seluruh syaratnya sudah terpenuhi.
Wakaf dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ibnu Qudamah, salah satu ulama mazhab Hambali, menyatakan dalam kitabnya al-Mughn: “bila harta wakaf mengalami rusak parah sehingga tidak bisa memberikan manfaat sesuai peruntukannya, maka hendaknya dijual, barulah harga penjualannya digunakan untuk membeli barang lain yang akan membawa manfaat sesuai dengan tujuan wakaf dan barang yang dibeli tersebut diposisikan sebagai harta wakaf seperti semula”.
Pengaturan Wakaf Pada Masa Kolonial Belanda
Praktik wakaf umat Islam, khususnya kepemilikan tanah, sudah ada jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda tiba di Indonesia. Pada tanggal 31 Januari 1905, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pemerintahan No. 435 yang dimuat dalam Bijblad No. 6195/1905. Surat edaran ini berlaku untuk seluruh Jawa-Madura kecuali Surakarta-Yogyakarta. Tujuan dari terbantuknya surat ini adalah untuk memantau lahan tempat bangunan didirikan. Surat edaran ini tidak efektif karena tidak dilakukan oleh bupati bahkan ada perlawanan dari umat muslim.
Pemerintah kolonial kemudian menyadari ketidakefektifannya dengan menerbitkan surat edaran baru. Pada tanggal 4 Januari 1931, pemerintah mengeluarkan surat edaran Sekretaris Pemerintah Nomor 1361/ab yang termuat dalam Bijblade 1931 Nomor 12573. Masyarakat yang beragama Islam tetap menolak dengan alasan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum privat, karena wakaf merupakan pembagian harta pemilik dan itu ditarik dari peredaran. Hingga tahun 1934, surat edaran ini belum mengalami perubahan, bahkan pemerintah kolonial kembali menegaskan surat edaran sebelumnya dengan menerbitkan surat edaran tertanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A dan dimuat dalam Bijblad No. 13390.
Munculnya penolakan dari umat Islam mendesak pemerintah kolonial memperbaiki dan mengubah surat edaran tersebut. Empat tahun setelah surat edaran tahun 1931, pemerintah menyatakan surat edaran baru dari Sekretaris Pemerintah No. 1273/A tanggal 27 Mei 1935. Surat edaran terakhir ini mengalami perubahan penting karena untuk mewakafkan harta umat Islam tidaklah perlu meminta izin lagi tapi hanya perlu memberitahukan kepada bupati.
Pengaturan Wakaf Pasca Kemerdekaan
Pasca Indonesia merdeka, disertai dengan berdirinya Departemen Agama (Jawatan Urusan Agama) pada tanggal 3 Januari 1946, wakaf mulai menjadi kewenangan Departemen Agama. Selanjutnya berdasarkan surat edaran Departemen Agama (Jawatan Urusan Agama) Nomor 5/D/1956, urusan wakaf diserahkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA). pengaturan perwakafan setelah kemerdekaan dan hingga awal tahun 1960-an sebagian masih mengacu pada peraturan warisan pemerintah kolonial Belanda. Departemen Agama juga bertindak memperbaiki pengaturan di luar Jawa-Madura dan Yogyakarta-Surakarta yang sebelumnya tidak diatur oleh pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu.
Setelah Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia terus mengalami perkembangan, termasuk permasalahan yang berkaitan dengan pertanahan. Oleh karena itu, peraturan wakaf yang berasal dari pemerintahan kolonial semakin dipandang kurang memadai, oleh karena itu dalam kerangka reformasi hukum pertanahan, permasalahan terkait wakaf tanah mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Tahun 1960 merupakan tahun yang sangat bersejarah bagi perkara pertanahan di Indonesia. Karena pada tanggal 24 September 1960 lahir Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan UU Pokok Agraria.
Pengaturan Wakaf Setelah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
Pasca disahkannya PP Nomor 28 Tahun 1977, diterbitkanlah sejumlah peraturan pelaksanaan pada tahun tersebut hingga tahun-tahun berikutnya, antara lain:
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Tentang Perwakafan Tanah milik tertanggal 26 November 1977.
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, tertanggal 10 Januari 1978.
Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik, tertanggal 23 Januari 1978.
Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang kapada Kantor Wilayah Departegem Agama Provinsi/sederajat di Seluruh Indonesia untuk Mengangkat/memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep./D/75/1979 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik.
Agar pelaksanaannya dapat berjalan sesuai rencana, maka pemerintah telah mengeluarkan petunjuk umum ini kepada para gubernur dan kepala daerah pada Kementerian Agama di seluruh penjuru Indonesia untuk melangsungkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Peruntukan Tanah Milik dan Peraturan-Peraturan Internal dan peraturan Menteri Agama dengan semestinya. Namun Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik tidak mengatur perwakafan selain tanah. Seiring dengan perluasan wilayah hukum peradilan agama, urusan wakaf juga diurus melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kewenangan peradilan agama yang semula mengurusi bidang perkawinan, kemudian diperluas mencakup perkawinan, warisan, harta benda, wasiat, dan hibah.
Pengaturan Wakaf Setelah Berlakunya Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Pada tanggal 27 Oktober 2004, pemerintah mengeluarkan peraturan yang baru tentang wakaf, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Semua peraturan yang berhubungan dengan wakaf tetap diberlakukan sepanjang tidak berlawanan atau diubah dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini. Salah diantara yang ada perbedaan antara Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf atas tanah adalah cakupan yang lebih luas.
Dalam undang-undang ini jalan keluar sengketa dapat dipecahkan dengan musyawarah mufakat atau dengan bantuan pihak manapun melalui mediasi, arbitrase dan penyelesaian akhir ialah melalui pengadilan. Keadaan ini berbeda dengan perpu sebelumnya yang memandang pengadilan sebagai sarana utama penyelesaian perselisihan terkait wakaf.
Hal baru juga terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang tidak terdapat pada dua peraturan sebelumnya, seperti pembentukan badan baru yang disebut Dewan Wakaf Indonesia (BWI). Dengan berdirinya BWI, tugas-tugas terkait wakaf yang pada awalnya dilaksanakan oleh KUA menjadi otoritas BWI.
Hal-hal Baru dalam Aturan Wakaf di Indonesia
Hukum wakaf merupakan cabang hukum Islam yang paling penting karena terintegrasi dalam segala kehidupan keagamaan dan sosial ekonomi umat muslim. Wakaf adalah sumber daya ekonomi yang bisa dimajukan untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi. Pelaksanaan wakaf tak hanya terbatas pada kegiatan keagamaan dan sosial saja, namun bisa juga digunakan untuk pembangunan ekonomi makro. Tanah tersebut masih tetap merupakan tanah wakaf akan tetapi pendapatan yang dihasilkan dari tanah wakaf dapat dimanfaatkan bersama. Partisipasi negara, khususnya penyediaan fasilitas (utilitas) wakaf dan pengaturannya untuk mendorong dan motivasi optimalisasi tujuan dari wakaf. Hingga tahun 1990-an, Indonesia masih tidak memiliki peraturan hukum mengenai penggunaan wakaf untuk tujuan ekonomi tersebut. Pada dasarnya sudah tersedia dan diformalkan dengan dilaksanakannya pengaturan tentang wakaf tanah milik yang segera disusul dengan pengaturan tentang perwakafan pada umumnya yang terdapat dalam Buku III Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan pertimbangan tersebut kemudian dibentuk Undang-Undang Wakaf yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 42 tentang pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, diharapkan dapat menjadi arah pengembangan Wakaf ke depan yang mempunyai landasan hukum yang kokoh, khususnya adanya ketentuan hukum mengenai nazhir, wakif, dan wakaf.
Kesimpulan
Munculnya dan berkembangnya agama Islam di Indonesia bersamaan dengan praktik wakaf. Motivasi agama dan sosial mendorong masyarakat Islam untuk mewakafkan hartanya. Hingga masa kemerdekaan, pemerintah kolonial membuat peraturan wakaf baru pada tahun 1905. Peraturan wakaf terus berubah, diperbaiki, dan disesuaikan setelah kemerdekaan karena perkembangan dan praktik wakaf di masyarakat. Dimulai dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Kepemilikan Tanah Wakaf, yang diperbarui dan diperluas dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Hal ini menghasilkan Republik UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU RI No. 41 Tahun 2004.
Bibliography
Hamzani, Achmad Irwan. Perkembangan Wakaf di Indonesia. Brebes: Diya Media Group, 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H