Mohon tunggu...
Yunita Rahma
Yunita Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Book Perkembangan Hukum Wakaf di Indonesia

11 Maret 2024   21:19 Diperbarui: 11 Maret 2024   21:20 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum mewakafkan harta benda, hendaknya dipertimbangkan terlebih dahulu.

Meminta pertimbangan seluruh ahli waris sebelum mewakafkan hartanya.

Wakaf dilakukan jika seluruh syaratnya sudah terpenuhi.

Wakaf dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ibnu Qudamah, salah satu ulama mazhab Hambali, menyatakan dalam kitabnya al-Mughn: “bila harta wakaf mengalami rusak parah sehingga tidak bisa memberikan manfaat sesuai peruntukannya, maka hendaknya dijual, barulah harga penjualannya digunakan untuk membeli barang lain yang akan membawa manfaat sesuai dengan tujuan wakaf dan barang yang dibeli tersebut diposisikan sebagai harta wakaf seperti semula”.

Pengaturan Wakaf Pada Masa Kolonial Belanda

Praktik wakaf umat Islam, khususnya kepemilikan tanah, sudah ada jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda tiba di Indonesia. Pada tanggal 31 Januari 1905, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pemerintahan No. 435 yang dimuat dalam Bijblad No. 6195/1905. Surat edaran ini berlaku untuk seluruh Jawa-Madura kecuali Surakarta-Yogyakarta. Tujuan dari terbantuknya surat ini adalah untuk memantau lahan tempat bangunan didirikan. Surat edaran ini tidak efektif karena tidak dilakukan oleh bupati bahkan ada perlawanan dari umat muslim.

Pemerintah kolonial kemudian menyadari ketidakefektifannya dengan menerbitkan surat edaran baru. Pada tanggal 4 Januari 1931, pemerintah mengeluarkan surat edaran Sekretaris Pemerintah Nomor 1361/ab yang termuat dalam Bijblade 1931 Nomor 12573. Masyarakat yang beragama Islam tetap menolak dengan alasan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum privat, karena wakaf merupakan pembagian harta pemilik dan itu ditarik dari peredaran. Hingga tahun 1934, surat edaran ini belum mengalami perubahan, bahkan pemerintah kolonial kembali menegaskan surat edaran sebelumnya dengan menerbitkan surat edaran tertanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A dan dimuat dalam Bijblad No. 13390.

Munculnya penolakan dari umat Islam mendesak pemerintah kolonial memperbaiki dan mengubah surat edaran tersebut. Empat tahun setelah surat edaran tahun 1931, pemerintah menyatakan surat edaran baru dari Sekretaris Pemerintah No. 1273/A tanggal 27 Mei 1935. Surat edaran terakhir ini mengalami perubahan penting karena untuk mewakafkan harta umat Islam tidaklah perlu meminta izin lagi tapi hanya perlu memberitahukan kepada bupati.

Pengaturan Wakaf Pasca Kemerdekaan

Pasca Indonesia merdeka, disertai dengan berdirinya Departemen Agama (Jawatan Urusan Agama) pada tanggal 3 Januari 1946, wakaf mulai menjadi kewenangan Departemen Agama. Selanjutnya berdasarkan surat edaran Departemen Agama (Jawatan Urusan Agama) Nomor 5/D/1956, urusan wakaf diserahkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA). pengaturan perwakafan setelah kemerdekaan dan hingga awal tahun 1960-an sebagian masih mengacu pada peraturan warisan pemerintah kolonial Belanda. Departemen Agama juga bertindak memperbaiki pengaturan di luar Jawa-Madura dan Yogyakarta-Surakarta yang sebelumnya tidak diatur oleh pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun