Mohon tunggu...
yundari
yundari Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa tadris biologi 1

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kodifikasi Hadis Perkembangan dari Abad Ke II H sampai Sekarang

5 April 2022   20:21 Diperbarui: 5 April 2022   20:34 9367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Disusun oleh :

 Alda Maulida (211101080022)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

ABSTRAK

Hadist adalah sumber Hukum Islam kedua sesudah Al-Qur'an. Karena hadist menempati peringkat kedua sesudah Al-Qur'an, maka suatu kewajiban bagi kaum muslimin untuk mempelajarinya dan menaatinya. Tanpa mengetahui hadist, rasanya sulit untuk memahami ilmu-ilmu keislaman. 

Hadist bukanlah suatu hal yang baru bagi umat Islam masa kini, karena semenjak zaman Nabi Muhammad saw dikenal dengan nama hadist. Hadist adalah segala sesuatu yang dikutip pada Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir dan hal-ikhwalnya. 

Dalam tulisan singkat ini akan dibahas kodifikasi hadist dan perkembangannya dari abad ke II H-sampai sekarang. Akan tetapi, kita harus mengetahui terlebih dahulu pengertian kodifikasi dan bagaimana penulisan hadis pada masa Nabi. Untuk selanjutnya pembahasan mengenai kodifikasi hadist dan perkembangannya.

Kata Kunci: Hadist, Kodifikasi, Rasulullah

PEMBAHASAN 

 

A. Kodifikasi Hadist, dan Perkembangannya, Abad II H, III H, IV H, hingga Sekarang

 

1. Sejarah dan Perkembangan 

Kodifikasi dalam bahasa Arab disebut dengan al-tadwin yang mempunyai arti yakni menghimpun dan membentuk. Menurut istilah, kodifikasi yaitu penulisan dan pendataan hadist Nabi yang bersifat fundamental pada instruksi khalifah. Jadi secara keseluruhan kodifikasi hadist merupakan penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadist Rasulullah SAW yang dijalankan melalui instruksi dari khalifah Umar bin Abdul al-Aziz, khalifah ke delapan dari Bani Umayyah. 

Lalu kebijakan tersebut ditingkatkan oleh para ulama, hingga pada akhirnya  hadits tersebut dapat mencapai diberbagai daerah sampai pada masa hadist terbukukan dalam kitab hadist. Salah satu faktor yang melatarbelakangi munculnya kodifikasi hadist adalah banyak terdapat hadist palsu. Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abd al-Aziz kodifikasi hadits ini baru dimulai .

Seorang muhhadis mengatur segala cara untuk menjalankan tinjauan hadist dari sia-sisa sanad dan matan, sebelum akhirnya ditulis dalam sebuah kitab. Pada masa Rasulullah, hadist tidak ditulis secara resmi dikarenakan terdapat larangan. Muncul berbagai konflik ditengah masyarakat Islam awal yaitu setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Umar bin Khattab pada saat itu mengusulkan rancangan untuk mengkodifikasi Al-qur'an dengan penghafalan yang stabil, dan dengan upaya Usman bin Affan beberapa konflik yang ada pada masa itu dapat terselesaikan dengan penggabungan Al-qur'an dalam sebuah mushaf yang disebut dengan mushaf utsmani.

Kemudian pada metode pengkodifikasian hadist, sebagiannya bersumber pada hafalan dari para sahabat dengan meningkatkan fungsi menulis, guna mencatat segala aspek yang berasal dari Rasulullah SAW baik berbentuk, tindakan, dan ucapan. Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan, dan mengamalakan untuk kehidupan sehari-hari. 

Terdapat beberapa cara ketika Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadist kepada para sahabatnya, yaitu melalui majlis ilmu, diberbagai kesempatan ketika bertemu dengan para sahabat, dan berceramah. Terdapat tiga cara Nabi Muhammad menyampaikan hadistnya kepada para sahabat, yaitu dengan menyampaikan hadist menggunakan kata-kata, menyampaikan hadist menggunakan media tertulis, dan menyampaikan hadist dengan praktek secara langsung kepada para sahabat, pengertian ini menurut Muhammad Mustafa Azami. Ada beberapa sahabat yang banyak menerima hadist, yaitu sahabat yang masuk kedalam kelompok Al-Sabiqun al-Awwalun ( Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan Utsman bin Affan ), Ummahat al-mukminin ( Ummu Salamah dan Siti Aisyah ), sahabat yang meskipun belum lama bersama Nabi tetapi bersungguh-sungguh ( Abu Hurairah, Anas bin Malik,  dan Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar). 

Dari penjelasan tersebut dapat dinyatakan bahwa metode al-Khulafa al-Rasyidin mengenai periwayatan hadist terdapat empat bentuk, yaitu:

1. Pertama, seluruh khalifah menyetujui tentang pentingnya berhati-hati dalam periwayatan hadist.

2. Kedua, semuanya melarang untuk memperbanyak periwayatan hadist, terutama pada masa khalifah Umar ibn Khattab, ini bertujuan supaya periwayat selalu bersikap teliti dalam meriwayatkan hadist dan supaya perhatian masyarakat tidak berpaling dari al-Qur'an.

3. Ketiga, pengucapan sumpah ataupun penghadiran saksi bagi periwayat hadist merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadist. Periwayat yang dirasa memiliki kejujuran yang tinggi tidak dibebani kewajiban menyertakan sumpah atau pun saksi.

4. Keempat, dari semua khalifah yang telah meriwayatkan hadist, hanya tiga khalifah yang pertama (Abu Bakar, Umar, Usman) meriwayatkan hadist secara lisan, dan hanya Ali yang meriwayatkan hadist secara lisan dan tulisan.

Kodifikasi secara resmi dilakukan atas perintah khalifah, dengan melibatkan anggota yang ahli dibidangnya dan tidak untuk kepentingan pribadi seperti sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan hadist dari mereka yang mengafalnya di bawah bimbingan Gubernur Madinah dan Ulama Madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengarahkan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm  agar mengumpulkan hadist-hadist yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Ansari yang merupakan murid kepercayaan Aishah dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr. Beliau juga memberikan instruksi kepada Muhammad bin Shihab al-Zuri, yang menurutnyan adalah seorang yang lebih tau tentang hadist daripada orang lain. 

Mengingat pentingnya peran al-Zuri, para ulama pada masanya berpendapat bahwa akan banyak hadits yang hilang jika tanpa dia. Abu Bakar ibn Hazm berhasil mengumpulkan sejumlah hadist yang menurut para ulama dianggap belum lengkap. Sedangkan Ibn Shihab al-Zuhri berhasil mengumpulkan hadits yang dinilai lebih lengkap oleh para ulama'. Namun, kedua karya tabi'in ini hilang dan tidak dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Ada tiga poin utama Umar mengambil kebijakan ini, yaitu:

1. Pertama, beliau khawatir akan hilangnya hadist akibat meninggalnya salah seorang ulama di medan perang.

2. Kedua, beliau khawatir hadist asli dan hadist palsu akan tercampur.

3. Ketiga, dengan perluasan wilayah Islam, pada saat itu kemampuan tabi'in tidak sama, sehingga perlu adanya kodifikasi.

Umar bin Abd alAziz, sebagai khalifah yang memiliki tanggung jawab besar dalam urusan agama, memandang berbagai persoalan yang muncul akibat ketegangan politik selama bertahun-tahun dan perlunya mengambil tindakan segera. 

Mencegah hadist dari kehancuran dan kerusakan. Peran Umar bin Abd  Aziz juga dapat dijelaskan sebagai khalifah yang mengarahkan pencatatan hadist. Menurut beberapa riyawat, ia juga membahas hasit yang telah diringkas. Selain itu, ia memiliki beberapa kitab tentang hadist yang diterimanya. Periode kodifikasi hadist dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

1. Kodifikasi hadist  pribadi

Kodifikasi yang bersifat pribadi, bukan merupakan kebijakan resmi pemerintah dan dimulai pada zaman Rasul.

2. Kodifikasi Hadist Resmi Nabi

 Kodifikasi hadist secara resmi adalah pembuatan dan pengumpulan hadist-hadist atas perintah khalifah atau penguasa setempat dan disebarluaskan kepada masyarakat umum. 

Pada masa Umar bin Abdul Aziz, kodifikasi secara resmi menjadi kebijakan pemerintah baru dimulai. Dalam hal ini, kumpulan hadist merupakan kebijakan negara dan dinyatakan resmi karena ditujukan kepada gubernur dan ahli hadist. Pengutusan terjadi secara resmi dan massal kepada para gubernur untuk membukukan hadist oleh Umar ibn Abdul Aziz.

Umar ibn Abdul Aziz melakukan kebijakan untuk membukukan hadist secara resmi, yaitu:

a. Sebelum hadits dipisah menjadi beberapa lembar dan catatan .

b. Penulisan dan penyebarluasan hadist dari masa Nabi hingga masa sahabat tetap bersifat personal dan kolektif, dan terdapat perbedaan antar ulama dalam menerima hadist.

c. Meningkatkan kekuatan Islam diberbagai negara yang berdampak signifikan di tiga benua Asia, Afrika, dan sebagian Eropa.

d. Ada banyak hadist palsu.

Ulama terkenal saat itu, Muhammad Ibn Muslim Ibn Shihab alZuhri yang mencatat hadist di seluruh Madinah. Setelah keturunan Shihab al-Zuhri dan Abu Bakar ibn Hazm berakhir, muncul generasi berikutnya kemudian melanjutkan metode pembukuan pada pertengahan abad kedua. Pembukuan hadist terus berkelanjutan hingga akhir pemerintahan Bani Umayyah, namun situasi semakin sempurna ketika Bani Abbas datang sekitar pertengahan abad ke dua. Dengan muculnya kembali Imam Malik dan al-Muwatha' nya, Imam Syafi'I dan Musnadnya, Asar Imam Muhammad ibn Hasan al-Syabani menyusun hadist secara lengkap, dimulai dari Hadist Nabi dan diakhiri dengan kata-kata lainnya.

Sepeninggal Tabi'in, pada awal periode ke III H, para ulama berusaha menyunting kitab musnad  hadist nabi, salah satunya yaitu Abu Daud alTayalisi. Meski terpisah dari kata Sahabat dan Fatwa Tabi'in, hadist dalam kitab Musnad ini masih merupakan perpaduan antara hadist asli dan non-asli. Oleh sebab itu, pada pertengahan abad ke-3 H menyusun sebuah kitab dengan hadist asli. Sementara pada abad ke-4 dan ke-5 H merupakan masa pemeliharaan, penambahan, dan perakitan. 

Masa berikutnya, yaitu pada periode ke-7 hingga ke-8 H disenut periode pengumpulan dan pembukuan hadist secara sempurna. Saat ini, banyak pemimpin pemerintahan yang aktif di bidang hadist, salah satunya alBarquq. Selain itu, para ulama India juga berupaya  untuk mengoptimalkan kitab hadist. 

Di antaranya Ulumul Hadist karya alHakim. Demikian rangkaian  penulisan dan pengkodifikasian hadist sampai periode ke-12 H. hingga abad terakhir ini, tidak ada kegiatan yang berarti bagi para ulama di bidang hadist selain membaca, memahami, menafsir, dan memberikan penjelasan tentang hadist yang telah terkumpul sebelumnya.

Pada era pemerintahan khalifah Khulafa' alRashidun, ia mampu mencatat alquran secara sistematik, sehingga penguasa pemerintahan selanjutnya tidak lagi takut dengan tercampurnya alquran dengan hadist. Baru belakangan ini perhatian tertuju pada upaya mengamankan hadist, dan penyuntingannya usaha dan pemikiran yang serius. 

Pendapat memasukkan hadist nabi kedalam satu kitab pernah direncanakan oleh khalifah kedua yaitu Umar bin Khattab. Pengupayaan pertimbangan kepada para ulama dan mereka mengizinkannya.  Namun satu bulan kemudian Umar meminta hidayah kepada Allah dengan melaksanakan shalat istikharahdan akhirnya Umar mengurungkan niatnya. Dalam hal ini, dia tidak ingin melarang penulisan hadist, tetapi khawatir hal itu akan mengacaukan konsentrasi dan perhatian masyarakat muslim terhadap alquran.

Selain itu, kodifikasi dilakukan secara tepat dan teratur yang dilindungi oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, pemerintahan Bani Umayyah. Pada masa khalifah Umar, benar-benar mengemukakan perhatian dan tenaganya untuk menulis hadis. Beliau juga menulis hadistnya sendiri. Oleh karena itu, keinginan khalifah Umar bin Abdul Aziz, untuk menyusun hadis tersebut digambarkan dalam bentuk tertulis, kemudian dikrim keseluruh wilayah yang terdapat tempat untuk mengumpulkan hadist. Oleh karena itu, upaya diluar hadist nabi dikenal dengan kodifikasi hadist resmi.

Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi kodifikasi hadist secara resmi, di antaranya :

1. Adanya ketakutan akan hilangnya hadist dikarenakan wafatnya para penghafal, sehingga dibuat pembukuan secara menyeluruh.

2. Rasa ingin yang kuat untuk menjaga dan merawat  hadist dari hadist-hadist maudu' yang diciptakan oleh mereka yang mempertahankan idealisme dan madzhabnya.

3. Ketika terkumpulnya ayat alquran menumpuk di mushfaf, maka ada kekhawatiran bahwa hadis akan bercampur dengan alquran dan akan berangsur-angsur menghilang, membuka peluang bagi hadis untuk untuk dikodifikasikan secara formal.

Proses pencatatan dan pengkondifikasian hadist terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama. Hal ini terjadi karena adanya hadist perintah dan larangan menulis hadist.  Ada empat perbedaan yang bervariasi untuk menyepakati dua kelompok yang berbeda pendapat, yaitu:

1. Imam al-Bukhari mengatakan, hadist Abu Sa'id al-Khudriy adalah mauquf. Oleh karena itu, hadist yang diriwayatkannya tidak dapat digunakan sebagai dalil.

2. Larangan penulisan hadis berlaku pada periode awal Islam. Dikarenakan khawatir akan bercampurnya hadist dengan alquran.

3. Larangan penulisan hadist yang ditujukan kepada mereka yang memiliki ingatan yang kuat.

4. Larangan penulisan bersifat umum, akan tetapi kemampuan penulisan hadist khususnya diberikan kepada mereka yang dapat membaca dan menulis untuk menghindari kekeliruan dalam penulisan.

2. Kodifikasi Hadits 

1.) Kodifikasi hadist pada abad ke II H

Dalam penyusunannya, mereka masih memasukkan perkataan sahabat dan fatwa tabi'in di samping hadist dari Nabi Muhammad SAW. Di antara kitab hadist abad ke dua Hijriyah secara umum menarik perhatian para ulama adalah kitab al-muwatha' yang disusun oleh Imam Malik. Dalam kitab ini terdapat penjelasan dan ringkasannya, maka kitab ini yang paling terkenal dan telah menerima reaksi paling hangat dari para ulama. Mereka tidak memikirkan atau tidak sempat memilih hadist karena terlalu berambisi untuk mengumpulkan hadist sebanyak-banyaknya. Mereka tidak menjelaskan isi nash hadist berdasarkan kelompoknya. Oleh karena itu, karya ulama periode ke II H ini masih rancu antara hadits Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi'in. Akibatnya, kitab-kitab hadits tidak dipisahkan oleh para ulama antara  marfu', mauquf, dan maqtu', dan antara hadits yang sahih, hasan dan dhaif. Sedangkan, kitab-kitab hadits yang masyhur karya ulama abad ke II H antara lain :

1. alMuwaththa', kitab ini didirikan oleh alImam Malik. Dalam kitab ini menyimpan 1.726 rangkaian khabar dari nabi, sahabat dan juga Tabi'in. Khabar yang musnad sebanyak 600, mursal sebanyak 228, mauquf sebanyak 613 dan maqthu' sebanyak 285.

2. Musnadu alSyafi'ibnu Abi Ya'la, Muhammad bin Idris AsySyafi'I, dalam kitab ini alSyafi'i menuliskan seluruh hadist yang berada dalam kitab alUmm.

3. Mukhtalifu alHadist, karya Imam, beliau menjelaskan dalam kitab ini, cara menerima hadist sebagai hujjah dan menjelaskan perundingan hadist yang tampak bertentangan dengan yang lain.

2.) Kodifikasi hadist pada abad  ke III H 

Pada abad ke III  H ini, para ulamamengkodifikasi hadist dengan menggunakan metode baru yang berbeda dari yang diangkat oleh para ulama sebelumnya. Kodifikasi hadist pada awal hijriah adalah ditulis dengan metode shahifah-shahifah, dan mengandalkan hafalan para ulama. Pada periode ke II H, para ulama mengumpulkan dan mencatat hadist tanpa syarat. 

Pada awal periode ke III H, para ulama telah berhasil melakukan kodifikasi hadist yaitu dengan memisahkan hadist dari para nabi dan dari mengintegrasikan peribahasa sahabat dengan fatwa tabi'in, yang dikenal dengan musnad. Berbagai kitab hadist muncul pada abad ini membentuk diskusi antara hadist matan dan sanad. 

Metode ini dikenal dengan istilah pentashihan dan penyaringan hadist dengan standar tertentu, seperti yang telah diselenggarakan oleh alBukhari dan beberapa muridnya, sehingga hadist yang disusun termasuk hadist yang berproporsi atau dalam artian memiliki nilai yang bagus. Al- siba'i mengungkapkan bahwa setelah masa al-Bukhari pembuatan pembukuan dan pengumpulan hadist terhenti. Namun penyempurnaan dan pengembangan hadist mengalami peningkatan.

Tindakan para ulama besar pada periode ke III H telah menyunting tiga macam kitab hadist, yakni:

1. Kitab musnad merupakan kitab yang disusun berdasarkan nama sahabat periwayat berkaitan.

2. Kitab sunan merupakan kitab hadist yang menghimpun hadist Nabi, kemudiandisusun berdasarkan bab fiqhi dan jenis hadistnya tidak yang mawquf, kecuali hasan dan sahih.

3. Kitab al-Jami merupakan kumpulan hadist nabi, dan disusun menjadi beberapa bab yang berisi tentang topik. 

Pada masa ke III H ini para ahli hadist memusatkanperhatian pada kodifikasi hadist pada beberapa hal yang tidak dilakukan pada masa abad ke II H. Sudah dinyatakan dalam kasus sebelumnya bahwa pembukuan hadist masih tercampur antara hadist yang sahih, hasan, mauquf dan maudhu'. Beberapa cara untuk menjaga hadist pada periode  ke III Hijriyah ini yaitu sebagai berikut:

1, Pengelompokkan hadist marfu', mawquf, dan maudlu' yang palsu.

2. Hadist nabi, Asar sahabat dan ucapan Tabi'in dikelompokkan, dipisahkan, dan dibedakan.

3. Mengunjungi daerah perawi yang jauh dari kota.

4. Selama masa ini tidak hanya riwayat yang dikumpulkan, tetapi hadist juga dilestarikan, maka ditulislah ribuan buku yang mengenai hal ini.

5. Riwayat Maqbulah, mengumpulkan secara tersendiri dari buku-buku pada abad ke II dan diperiksa ulang kemudian disahkan kebenarannya.

6. Penyeleksian hadist shahih, hasan dan dhaif.

3.) Kodifikasi hadist pada abad ke IV H

a. Tindakan Periwayatan Hadist

Sebelum periode ini, pengumpulan disertai dengan pemeliharaan hadist, meskipun tidak sebanyak yang sebelumnya. Pada masa ini sebagian besar melakukan pengumpulan kitab yang terkonsentrasi hadits Nabi sebelumnya. Tindakan periwayatan hadits selama periode ini  dilakukan dengan memperoleh sertifikat dari guru.

b. Penyusunan Kitab Hadist Pada Periode IV H

Para ulama menetapkan karya-karya yang ada berupa kegiatan-kegiatan seperti verifikasi, penelitian, hafalan, dan penyelidikan sanad. Abad ke IV H adalah abad pemisah antara Mutaqaddimin dan Mutaakhirin, yang mereka berusaha mencari  hadits  sendiri menemui para sahabat atau tabi'in atau tabi' tabi'in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri. Upaya menyusun kitab hadist, mereka mengambil sedikit bagian dari kitab yang disusun oleh ulama' Mutaqaddim.  Beberapa dari mereka dapat menghafal ratusan ribu hadits yang telah dikodifikasikan, karena mereka bersaing untuk menghafal hadist. Istilah al-Hakim dan al-Hafiz, berasal dari periode ini.

4.) Kodifikasi hadist pada abad ke V H-sampai sekarang

Pada abad selanjutnya yaitu, peningkatan dan perbaikan bentuk penyusunan kitab hadist. Pada periode ini terjadi penghimpunan, penerbitan, pemeliharaan, dan penambahan. Maka munculah Kutub as-Sittah  dan  al-Musnad Ahmad bin Hambal serta al-Muwatha' Malik, para ulama berganti untuk membentuk kitab jawami', kitab syarah, mukhtasyar, menyusun kitab athraf dan jawa'id, dan juga melakukan takhrij, . Ibn Hibban al-Bissti, Ibn Huzaimah, dan al-Hakim an-Naisburiy merupakan ulama yang menyusun kitab-kitab hadits yang berisi tentang hadits shahih. Penyusunan kitab-kitab pada masa abad ke V H lebih memusat pada pengembangan beberapa variasi pembukuan terhadap kitab-kitab hadist yang sudah ada. Pada periode ini perkembangan hadist sudah cukup lama dari mulai abad ke V H  hingga sekarang disebut dengan abad modern.

PENUTUP

 

A. KESIMPULAN 

Sejarah hadist merupakan abad yang telah dilewati oleh hadist dari masa tumbuh kembang hingga saat ini. Hadist tersebut telah melalui enam periode dan sekarang berada pada periode ketujuh. 

Periode ketujuh yang dimaksud yaitu: pertama masa turunnya wahyu dan penyusunan hukum serta asas-asasnya dari awal Nabi saw diangkat menjadi Nabi dan Rasul samapi wafatnya pada tahun 11 H. Kedua, masa batasan riwayat, pada era  al Khulafa`al Rasyidun. Ketiga, periode perkembangan sejarah dan perlawanan mencari hadist dari kota ke kota, yaitu pada periode sahabat kecil dan tabiin besar. 

Keempat, periode pembukuan hadis, yaitu pada awal abad ke II H. Kelima, masa pentashihan hadist dan penyaringannya, yaitu pada awal hingga akhir abad ke III H. Keenam, periode menyeleksi kitab hadist dan penyuntingan kitab jami' khusus, pada awal penanggalan Hijriah abad ke IV H. Ketujuh, periode membuat syarah hadits, membuat kitab-kitab takhij, mengumpulkan hukum hadist dan membuat kitab jami' yang umum serta membahas hadist zawa'id, pada tahun 656 H hingga sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun