Kuperintahkan Mbak Hajar-khadamah kami membuatkan minum dan menyiapkan jajanan untuk putra Kang Zaki. Kutemani Hajar yang tengah repot membawa talam berisi toples dan gelas-gelas teh panas.
"Maaf ya aku baru tahu tentang musibah yang menimpa istrimu."
Aku tak sengaja mendengar obrolan mereka. Apa yang dimaksud Abah dengan musibah? Apa yang terjadi dengan Musyarofah? Dari tadi memang aku ingin menanyakan keberadaan perempuan itu. Kenapa ia tak ikut serta kemari.
"Tidak apa-apa, Bah. Ini adalah ujian untuk saya supaya menjadi orang yang lebih sabar."
Abah tersenyum. Aku dan Hajar hendak keluar kamar setelah mengangsurkan teh panas dan menata toples di atas meja. Kupersilahkan Kang Zaki dan putra kecilnya menikmati hidangan.
"Khurin."
Suara Abah menahanku. Aku tak jadi beranjak dan mengabulkan permintaan Abah untuk mendekat.
"Iya, Bah."
"Sini ngobrol bareng."
"Nggeh."
Aku duduk di samping Abah dengan dada berdebar-debar.Â
"Siapa nama anak ganteng ini?" Abah bertanya kepada Kang Zaki sambil mengelus pipi putra kecil lelaki bersarung kotak-kotak itu.