Muhammad Zaki Afkar, atau biasa dipanggil Kang Zaki. Adalah salah satu Kang Ndalem andalan keluarga kami. Selain tanggap dengan pekerjaan domestik dan tugas-tugas pesantren, ia juga merangkap sebagai pengasuh Althaf-adik bungsuku yang masih TK.
Sifatnya yang sabar dan ngemong, membuat Althaf cocok dengannya. Dialah yang setiap sore mengantar Althaf ngaji di TPQ Al-Azhar milik Kyai Ghufron dekat dengan rumah. Wajah Althaf selalu riang setiap bersama Kang Zaki. Apalagi ketika dibonceng menggunakan sepeda motor butut Abah setiap pergi mengaji.
Dia memang maunya ngaji di TPQ karena bisa bertemu dengan banyak teman sebayanya. Padahal bisa mengaji di rumah bersama Abah, Ummi, aku atau kang-kang santri senior termasuk Kang Zaki.
Althaf menyebut Kang Zaki dengan sebutan Bodyguard. Entah darimana dia dapat istilah itu. Mungkin karena kebanyakan nonton superhero-superhero di televisi.
"Kang Bodigard, ayo temeni mainan!" Teriak Althaf dengan suara khasnya pada Kang Zaki setiap usai ngaji di TPQ.
"Oke siap, Gus."
Karena sering membantu mengasuh Althaf, jadilah kami sering tak sengaja berpapasan. Entah di dapur, di ruang tengah, atau di ruang tamu.
Cara dia memperlakukan Althaf menimbulkan perasaan absurd pada diriku. Setiap mereka bermain bersama, bercengkrama, saling tanya jawab hal-hal kecil membuat imajinasiku mengembara kemana-mana. Berkhayal jika saja Kang Zaki adalah suamiku, aku akan sangat beruntung mendapat lelaki yang ngemong dan sabar pada anak-anak kami. Kang Zaki tidak terlalu tampan, tapi dia mempunyai wajah yang tidak membosankan untuk dipandang.
"Nanti kalau Zaki boyong, siapa yang gantikan ya, Rin? Althaf cocoknya sama dia tok re," celetuk Ummah suatu hari. Ah benar, Kang Zaki sebentar lagi naik panggung wisuda 30 juz bil hifdzi.
"Memangnya setelah wisuda langsung boyong, Mah?" Tanyaku penasaran.
"Iya, kemarin dah rasan sama Ummah kalau bapaknya sudah terus mendesak dia untuk pulang, mengabdi di desa dan menikah."
Deg. Mendengar kata "menikah" membuatku resah. Apakah Kang Zaki sudah punya calon? Apakah dia sudah dijodohkan oleh Bapaknya? Siapa gerangan gadis desa yang sangat beruntung itu?
Setelah percakapan itu, siang malam aku terus saja kepikiran. Sulit tidur dan sulit berkonsentrasi. Berharap ada keajaiban menghampiri kami. Abah mau menjodohkanku dengan Kang Zaki. Sayangnya aku tak berani mengutarakan ini dengan Abah maupun Ummah.
Karena perasaan ini semakin hari semakin nyata, aku tergelitik dan memberanikan diri menulis sepucuk surat untuk Kang Zaki.
Kupanggil Musyarofah atau biasa dipanggil Opah-khadamah kepercayaan untuk memberikan surat itu diam-diam.
(Kang, aku mendengar sampean akan segera menikah setelah wisuda. Apakah itu benar? Apakah aku boleh tahu siapa calone sampean?)
Kulipat kertas ini menjadi segiempat dan kuulurkan pada Musyarofah-khadamah yang biasa memasak untuk kami.
"Mbak Opah, bisa minta tolong ndak?"
"Nggeh, Ning ?"
"Kasihkan ini ke Kang Zaki setelah dia jemput Althaf dari TPQ ya?"
Dahi Musyarofah berkerut menerima lipatan kertas dariku. Aku langsung menempelkan jari telunjuk di bibir tanda dia harus menjaga rahasia ini.
"Oke, Ning."
Senyum Musyarofah mengembang sambil mengacungkan jempol. Lalu memandangku dengan tersenyum genit. Sebenarnya aku malu, tapi mau bagaimana lagi. Daripada kupendam berlarut-larut aku sendiri yang sakit.
Esoknya waktu kutanyakan Musyarofah surat balasan dari Kang Zaki, hasilnya nihil. Suratku hanya dibaca saja. Sungguh aku jengkel.
"Kang Zaki malah terus mendesak saya buat ngasih tahu surat ini dari siapa gitu, Ning? Dia juga memperingatkan saya apakah ndak takut kalau ketahuan keamanan."
"Terus kamu bilang apa?"
"Ya saya diem saja. Hehehe. Wah kalau saya bilang dari jenengan yang ayu ini pasti sudah mumbul ke kahyangan dia."
Kami lalu tergelak bersama.
Kang Zaki selalu menolak menjawab surat dariku karena alasan takut jika saja ketahuan keamanan dan mendapat hukuman dari Pesantren. Ah, dia memang santri yang sami'na wa atho'na.
Tapi aku tak menyerah, aku terus saja mengirimi Kang Zaki surat lewat Musyarofah. Kuutarakan perasaanku melalui syair-syair indah Jalaluddin Rumi. Juga imbuhan pertanyaan apakah ia memang sudah ada yang punya. Aku sungguh penasaran akan hal ini. Kalau memang dia sudah ada yang punya aku akan mundur. Kalau belum, aku akan memberanikan diri mengutarakan ini kepada Abah.
Akhirnya senja itu, ketika murottal berdengung syahdu lewat speaker musola, Musyarofah tergopoh-gopoh menghampiriku. Memberikan sepucuk surat balasan dari Kang Zaki. Sampai di kamar, aku membukanya dengan tangan gemetar.
(Saya harap ini adalah yang terakhir sampean mengirimi saya surat. Saya akan menjawab pertanyaan sampean. Sebenarnya saya belum punya calon. Jika memang sampean menaruh hati kepada saya, mari kita ta'aruf dengan cara yang Allah ridloi. Kita sama-sama santri, tidak pantas jika berbalas surat dan melanggar peraturan pesantren seperti ini. Rumah sampean di mana? Nanti saya silaturahmi setelah acara wisuda.)
Nyes. Hatiku serasa dihujani salju. Jutaan kupu-kupu hinggap di jantungku. Bunga-bunga bermekaran di jiwaku. Jika punya sayap, mungkin aku sudah terbang ke langit ke tujuh. Malam ini akan kuberanikan diri nembung sama Ummah dan Abah.
Bakda isya' selepas ngimami santri putri, aku bergegas menemui Abah. Kukumpulkan kekuatan dan keberanian. Jantungku berdebar-debar.
Namun betapa kagetnya aku ketika mendapati seorang lelaki sedang duduk bersimpuh di hadapan Abah di ruang tengah. Lelaki itu tak lain adalah Kang Zaki. Wajahnya tertunduk. Aku berdiri terpaku di belakang buffet, menguping pembicaraan mereka.
"Apa benar kamu surat-suratan sama Musyarofah? Ini ada salah seorang santri yang lapor."
Jantungku bagai genderang perang. Semacam ada dentuman dahsyat di dalam sana. Keringat dingin bercucuran. Ya Allah, bagaimana ini? Siapa yang sudah melihat Opah memberikan suratku pada Kang Zaki?
"Eeem ... Mboten, Bah. Itu ada ...."
Kalimat Kang Zaki menggantung dan langsung dipotong oleh Abah. Mungkin dia juga sedang menahan grogi dan ketakutan sepertiku.
"Kamu kan sudah tahu kalau di pondok ndak boleh pacaran. Kalau kamu suka sama Musyarofah yo bilang sama aku. Wong aku juga dipasrahi sama bapakmu buat nyarikan jodoh."
Air mataku langsung menitik. Tanganku meremas-remas mukenaku. Aku terduduk lemas. Tulang-tulangku serasa lolos satu persatu. Dan menara kebahagiaan yang baru saja kubangun runtuh seketika ketika Abah berujar pada Kang Zaki, "Akan kunikahkan kamu sama Musyarofah nanti setelah Haflah Akhirussanah."
Ingin rasanya aku memberontak dan memberitahu Abah bahwa akulah yang mengirimi surat-surat itu tapi rasanya aku tak punya keberanian sama sekali. Sikap Abah yang tegas dan tak bisa dibantah membuatku merinding duluan.
 Aku memang tidak begitu dekat dengan Abah. Tawadzukku sama besarnya dengan para santri kepada Abah.
Sedangkan Ummah pasti akan menyerahkan segala sesuatu kepada Abah. Membayangkan Abah tahu bahwa aku sudah berani mengirimi lelaki sebuah surat, pasti beliau akan marah. Jangankan berani jujur, membayangkan bagaimana respon Abah nanti ketika aku mengutarakan kebenaran saja aku sudah ketakutan. Mengingat betapa tegasnya suara Abah pada Kang Zaki.
Pernikahan itu benar-benar terjadi. Pernikahan antara Musyarofah dan Kang Zaki. Setelah acara Haflah Akhirussanah, Abah berangkat mengakadkan mereka. Hanya aku yang tidak ikut dengan alasan tidak enak badan. Tak bisa kubayangkan kondisiku jika melihat lelaki yang kucintai mengucapkan akad nikah untuk wanita lain.
Tentang Musyarofah aku tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang ini. Karena sejak surat menyurat itu gempar dibicarakan, dia selalu menghindar setiap bertatap muka denganku. Betapa hancurnya aku saat ini.
Mengobati luka patah hati memang tidak mudah. Kuhibur diriku dan kusibukkan dengan aktifitas pesantren yang seabrek. Tapi ketika Althaf merengek meminta bertemu dengan Kang Zaki, aku tak kuasa membendung tangis. Kami sama-sama merindukan lelaki bermata teduh itu. Ah sudahlah, mungkin memang Kang Zaki sudah ditakdirkan berjodoh dengan Musyarofah.
Tak ada yang bisa menolak takdir. Begitu Abah yang harus rela melihatku berkali-kali gagal menikah. Abah yang mencoba menjodohkanku dengan putra teman-temannya selalu tidak berhasil. Aku hanya bisa pasrah dengan kehendak langit.
Waktu berlalu begitu cepat. Sudah tujuh tahun berlalu dan aku masih setia dengan perasaanku. Entah kenapa bayang Kang Zaki sangat sulit kumusnahkan. Berkali-kali aku bermimpi bertemu dengannya. Dan rupanya hari ini mimpiku menjadi kenyataan. Sosok itu datang bersilaturahmi dengan membawa seorang anak kecil berusia TK.
"Kang Zaki?"
"Assalamualaikum, Ning," ucapnya sambil meletakkan oleh-oleh di dekat pintu.
"Wa-wa'alaikumsalam."
Ya Rabb, dia masih seperti yang dulu. Selalu terlihat rapi, bersih dan wangi. Selalu terlihat menawan. Anak kecil yang bersamanya sangat mirip dengannya. Jantungku kembali bertalu-talu. Perasaan untuknya yang sempat redup ditelan waktu, kini menjulang kokoh.
"Anaknya, Kang?" Kuberanikan diri bertanya meski harus menahan denyutan sakit dalam dada.
"Nggeh, Ning."
"Masyallah, anak soleh." Aku menghampirinya dan menowel pipi gembil itu.
"Pangestune, Ning."
Hening. Aku hanya tersenyum sambil mengamati anak kecil yang bergelayut manja di pangkuan ayahnya.
"Abah ada, Ning?"
Aku terdiam sesaat. Sejak setahun yang lalu, Abah sering sakit-sakitan. Mungkin karena sudah semakin sepuh. Tubuhnya rapuh, tak seenergik dulu.
"Abah di kamar, Kang. Sekarang sering sakit-sakitan. Monggo ke kamar saja kalau ingin ketemu."
Kupersilahkan dia bertemu langsung dengan Abah di kamar. Abah memang berpesan kalau ada orang-orang terdekat datang langsung saja masuk kamar.
Kuperintahkan Mbak Hajar-khadamah kami membuatkan minum dan menyiapkan jajanan untuk putra Kang Zaki. Kutemani Hajar yang tengah repot membawa talam berisi toples dan gelas-gelas teh panas.
"Maaf ya aku baru tahu tentang musibah yang menimpa istrimu."
Aku tak sengaja mendengar obrolan mereka. Apa yang dimaksud Abah dengan musibah? Apa yang terjadi dengan Musyarofah? Dari tadi memang aku ingin menanyakan keberadaan perempuan itu. Kenapa ia tak ikut serta kemari.
"Tidak apa-apa, Bah. Ini adalah ujian untuk saya supaya menjadi orang yang lebih sabar."
Abah tersenyum. Aku dan Hajar hendak keluar kamar setelah mengangsurkan teh panas dan menata toples di atas meja. Kupersilahkan Kang Zaki dan putra kecilnya menikmati hidangan.
"Khurin."
Suara Abah menahanku. Aku tak jadi beranjak dan mengabulkan permintaan Abah untuk mendekat.
"Iya, Bah."
"Sini ngobrol bareng."
"Nggeh."
Aku duduk di samping Abah dengan dada berdebar-debar.Â
"Siapa nama anak ganteng ini?" Abah bertanya kepada Kang Zaki sambil mengelus pipi putra kecil lelaki bersarung kotak-kotak itu.
"Namanya Hussein, Bah. Maaf saya tafaulan sama jenengan. Menamakan anak saya seperti nama jenengan. Semoga menjadi alim seperti jenengan."
Abah terharu. Air mata luruh di pipinya.
"Inshallah, Nak. Lebih alim dan solih dari aku," kata Abah dengan mata berkaca-kaca. Bibir Kang Zaki menggumamkan amin lirih.
"Ayo diminum tehnya."
Aku berbicara pada Hussein. Dan mata jernih itu memandangku takjub.
"Ini jajannya."
Aku membukakan toples berisi manisan untuknya. Malu-malu, tangan imutnya mengambil makanan manis itu.
"Kasihan ya kecil-kecil ditinggal ibunya."
Ada perasaan perih ketika Abah mengucapkan itu. Maka kuberanikan bertanya apa yang terjadi dengan Musyarofah. Ternyata dia meninggal enam bulan yang lalu karena sakit kanker yang dideritanya. Aku ikut mengucapkan belasungkawa kepada Kang Zaki. Tak menyangka wanita yang setia melayani kami berumur pendek. Kutatap Hussein dengan perasaan nelangsa.
Hening. Abah kembali merapal wirid ke udara. Kang Zaki menunduk entah apa yang dipikirkannya. Mungkin teringat istri tercintanya.
"Apa kamu nggak mau nikah lagi? Anakmu masih kecil dan masih membutuhkan sosok seorang Ibu," ucap Abah memecah keheningan. Aku hanya mematung tanpa kata dan berperang dengan perasaan ambigu. Mencoba menepis pikiran konyol yang tiba-tiba bersarang dalam kepalaku.
"Saya tidak tahu, Bah."
Abah menghela napas. Seperti berpikir sesuatu dengan serius.
"Kamu mau ndak punya istri seperti Khurin?"
Sontak aku terperangah dan wajahku memanas. Aku juga tak tahu kenapa Abah bisa mengucapkan hal itu. Kutatap sekilas Kang Zaki dan aku menunduk dengan perasaan tak menentu.
"Nga-ngapunten, Bah. Apa sa-saya pantas?"
Kang Zaki tergagap menjawab pertanyaan Abah.
"Siapapun tidak akan tahu kapan ajal akan menjemput. Aku sudah sering sakit. Dan anak sulungku belum juga cocok dengan lelaki manapun. Apa kamu mau jadi suaminya?"
Ada benda berat yang menyangkut di tenggorokanku.Â
Dadaku sesak seperti menahan berkilo-kilo beban. Air mataku menyeruak. Aku beranjak dan keluar dengan air mata bercucuran. Bediri dengan dada kembang kempis di depan pintu luar kamar Abah. Masih bisa kudengar Kang Zaki terbata-bata menjawab tawaran Abah.
Dan inilah takdirku. Menikah dengan lelaki yang bertahun-tahun bertahta di hatiku.
Tak bisa kubendung air mataku ketika Kang Zaki mengucapkan akad nikah untukku. Untuk Khurin 'Ain.
Seperti permintaan Abah, Kang Zaki dan Hussein tinggal bersama kami untuk membantu tugas-tugas di pesantren. Althaf yang sudah beranjak remaja masih saja memanggilnya dengan sebutan Kang Bodyguard. Kami selalu tergelak mendengarnya.
Kuletakkan kardus-kardus berisi pakaian dan buku-buku dari rumah Kang Zaki. Hari ini kami resmi satu atap bersama Abah dan Ummah. Ketika memindah buku-buku dari kardus ke rak buku, Kang Zaki menemukan buku bersampul abu-abu yang sudah usang.
"Apa itu, Mas?"
"Seperti buku catatan."
Dan ketika ia buka, ia tampak terkejut sepertiku. Acara menata buku dan baju sejenak tertunda. Kami khusyuk membaca curahan hati Musyarofah di buku diarinya. Di situ tertulis ia berkali-kali meminta maaf karena selama ini tidak jujur bahwa wanita di dalam surat yang ia berikan untuk Kang Zaki adalah aku. Sepucuk surat yang sudah lusuh jatuh dari dalam lipatan diari. Itu adalah surat terakhirku untuk Kang Zaki. Aku memungutnya dengan perasaan malu.
"Jadi sampean yang menulis surat-surat itu?" Kang Zaki menatapku dengan tatapan haru dan tak percaya. Aku mengangguk.
Spontan Kang Zaki memelukku dan mengucap maaf berkali-kali. Kristal bening bergulir dari kedua netraku.
Alhamdulillah ya Allah. Alfatihah untuk Musyarofah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H