"Assalamualaikum, Ning," ucapnya sambil meletakkan oleh-oleh di dekat pintu.
"Wa-wa'alaikumsalam."
Ya Rabb, dia masih seperti yang dulu. Selalu terlihat rapi, bersih dan wangi. Selalu terlihat menawan. Anak kecil yang bersamanya sangat mirip dengannya. Jantungku kembali bertalu-talu. Perasaan untuknya yang sempat redup ditelan waktu, kini menjulang kokoh.
"Anaknya, Kang?" Kuberanikan diri bertanya meski harus menahan denyutan sakit dalam dada.
"Nggeh, Ning."
"Masyallah, anak soleh." Aku menghampirinya dan menowel pipi gembil itu.
"Pangestune, Ning."
Hening. Aku hanya tersenyum sambil mengamati anak kecil yang bergelayut manja di pangkuan ayahnya.
"Abah ada, Ning?"
Aku terdiam sesaat. Sejak setahun yang lalu, Abah sering sakit-sakitan. Mungkin karena sudah semakin sepuh. Tubuhnya rapuh, tak seenergik dulu.
"Abah di kamar, Kang. Sekarang sering sakit-sakitan. Monggo ke kamar saja kalau ingin ketemu."
Kupersilahkan dia bertemu langsung dengan Abah di kamar. Abah memang berpesan kalau ada orang-orang terdekat datang langsung saja masuk kamar.